Nadia mengira melarikan diri adalah jalan keluar setelah ia terbangun di hotel mewah, hamil, dan membawa benih dari Bramantyo Dirgantara—seorang CEO berkuasa yang sudah beristri. Ia menolak uang bayaran pria itu, tetapi ia tidak bisa menolak takdir yang tumbuh di rahimnya.
Saat kabar kehamilan itu bocor, Bramantyo tidak ragu. Ia menculik Nadia, mengurungnya di sebuah rumah terpencil di tengah hutan, mengubahnya menjadi simpanan yang terpenjara demi mengamankan ahli warisnya.
Ketika Bramantyo dihadapkan pada ancaman perceraian dan kehancuran reputasi, ia mengajukan keputusan dingin: ia akan menceraikan istrinya dan menikahi Nadia. Pernikahan ini bukanlah cinta, melainkan kontrak kejam yang mengangkat Nadia .
‼️warning‼️
jangan mengcopy saya cape mikir soalnya heheh
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Celyzia Putri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 16
Bramantyo terpaku, jantungnya berdegup kencang hingga terasa sakit. Melihat Arka adalah seperti melihat cermin masa kecilnya sendiri—rahang itu, sorot mata itu. Penyesalan yang selama tiga tahun ini membakar jiwanya kini meledak menjadi obsesi baru yang lebih gila.
Bramantyo tidak akan membiarkan Nadia pergi lagi.
"Nadia... aku tidak peduli pada saham itu. Ambillah semuanya, ambil seluruh perusahaanku jika itu yang kau mau," suara Bramantyo serak, ia mencoba melangkah mendekat namun Nadia segera menarik Arka ke belakang tubuhnya.
"Jangan mendekat, Tuan Dirgantara," desis Nadia tajam. "Kami di sini hanya untuk urusan bisnis."
Bramantyo berhenti. Ia melihat ketakutan dan kebencian yang murni di mata Nadia. Ia sadar bahwa cara kekerasan tidak akan berhasil lagi. Maka, ia mulai menjalankan rencana .
Bramantyo secara rahasia membeli gedung apartemen tempat Nadia tinggal di Jakarta. Ia memecat seluruh staf keamanan Nadia dan menggantinya dengan orang-orang terbaiknya tanpa Nadia sadari. Nadia mengira ia bebas, padahal ia sedang tinggal di dalam "kotak" yang dibangun Bramantyo dengan kenyamanan luar biasa.
Bramantyo tahu kunci utama Nadia adalah Arka. Suatu sore, saat Nadia sedang rapat di kantor, Bramantyo mencegat pengasuh Arka di taman bermain. Bukan dengan ancaman, tapi dengan kelembutan yang tak terduga.
Bramantyo berlutut di depan Arka, membawa sebuah kincir angin kertas baru—persis seperti yang ia simpan dulu.
"Hai, jagoan. Kau tahu siapa aku?" tanya Bramantyo lembut.
Arka menatap kincir itu, lalu menatap pria di depannya. "Kata Bunda, jangan bicara dengan orang asing."
"Aku bukan orang asing," Bramantyo tersenyum sedih. "Aku adalah orang yang bertugas menjaga Bunda agar tidak menangis lagi.
Nadia mulai menyadari ada yang aneh. Semua proyek bisnisnya berjalan terlalu lancar. Vendor-vendor besar yang dulu menolaknya tiba-tiba datang menawarkan kerja sama dengan harga murah. Ia tahu ini adalah ulah Bramantyo.
Puncaknya adalah ketika Arka tiba-tiba jatuh sakit—demam tinggi yang tidak turun-turun. Di tengah kepanikan Nadia di rumah sakit, Bramantyo muncul bukan sebagai CEO, tapi sebagai seorang ayah yang sigap. Ia membawa tim dokter spesialis terbaik dari Singapura dalam hitungan jam.
Saat Arka sudah tertidur setelah melewati masa kritis, Nadia terduduk lemas di kursi tunggu rumah sakit. Bramantyo datang membawa secangkir kopi hangat, sama seperti yang dilakukan Adrian dulu, tapi kali ini terasa lebih berat dan nyata.
"Pergilah, Bram. Aku tidak butuh bantuanmu," ucap Nadia tanpa tenaga.
"Kau butuh aku, Nadia. Arka butuh aku," Bramantyo duduk di lantai di depan kursi Nadia, ia tidak peduli dengan setelan jas mahalnya yang kotor. "Kau bisa membenciku sampai mati, kau bisa mengambil seluruh hartaku, tapi kau tidak bisa menghapus fakta bahwa darahku mengalir di nadinya."
Bramantyo meraih tangan Nadia, kali ini ia tidak mencengkeramnya, tapi menggenggamnya dengan gemetar.
"Aku sudah membunuh Larasati. Aku sudah mengusir Adrian. Aku sudah menghancurkan keluargaku sendiri yang menghinamu. Aku tidak punya apa-apa lagi selain kalian berdua," bisik Bramantyo. "Jika kau tidak mau kembali karena cinta, kembalilah karena kau ingin melihatku tersiksa menjadi pelayanmu seumur hidup. Pakai aku, Nadia. Gunakan kekuasaanku untuk apa pun yang kau mau, asalkan aku bisa melihat kalian setiap hari."
Nadia menatap Bramantyo. Ia melihat seorang pria yang sudah hancur, namun masih memiliki sisa kegilaan untuk memilikinya.
"Jika aku kembali," suara Nadia dingin, "Kau bukan lagi suamiku. Kau adalah pengawalku. Kau tidak punya hak atas tempat tidurku, dan kau tidak punya hak untuk mengatur hidupku. Kau hanya boleh menjadi 'bayangan' bagi Arka."
Bramantyo menunduk, mencium ujung sepatu Nadia dengan penuh pengabdian yang mengerikan. "Apapun, Nadia. Selama kau dan Arka berada dalam jangkauan tanganku, aku akan menjadi apa pun yang kau perintahkan."
Bramantyo berhasil membawa mereka kembali ke istananya, namun kali ini dinamika kekuasaan telah berbalik. Nadia adalah sang penguasa, dan Bramantyo adalah pengabdi yang rela melakukan dosa apa pun demi senyuman tipis istrinya.
Kehidupan di dalam penthouse megah itu perlahan berubah. Jika dulu atmosfernya dipenuhi dengan ketakutan dan paksaan, kini suasana berganti menjadi keheningan yang penuh kehati-hatian. Bramantyo benar-benar membuktikan ucapannya; ia menjadi sosok yang sangat rendah hati di hadapan Nadia dan Arka.
Bramantyo mulai merubah rutinitasnya secara total. Pria yang biasanya gila kerja itu kini selalu berada di rumah sebelum Arka bangun tidur. Ia tidak berani memaksakan kehadirannya, namun ia selalu ada di sana.
Setiap pagi, Bramantyo menyiapkan sarapan untuk Arka dengan tangannya sendiri—hal yang tidak pernah ia lakukan seumur hidupnya. Ia belajar cara membuat roti lapis berbentuk kartun favorit Arka hanya agar bisa melihat anaknya itu tersenyum.
Nadia sering memerhatikan dari kejauhan. Ia melihat bagaimana Bramantyo duduk di lantai ruang bermain, membiarkan Arka menaiki punggungnya seolah-olah ia bukan salah satu pria paling berpengaruh di negeri ini.
"Bunda, lihat! Kakak Besar ini kuat sekali," seru Arka sambil tertawa lepas. Arka memanggil Bramantyo dengan sebutan "Kakak Besar" karena Nadia belum mengizinkannya memanggil "Ayah".
Mendengar sebutan itu, Bramantyo hanya tersenyum getir namun tulus. Ia tahu itu adalah hukuman sekaligus pengingat tentang kincir angin di taman dua puluh tahun lalu.
Nadia mulai luluh, meski tembok pertahanannya masih tegak. Suatu malam, ia mendapati Bramantyo tertidur di sofa depan kamar Arka. Pria itu menolak tidur di kamar utama yang mewah, ia lebih memilih menjaga pintu kamar anaknya sepanjang malam.
Nadia mendekat dan menyelimuti Bramantyo dengan sebuah selimut. Bramantyo terbangun dan terkejut melihat Nadia berada di depannya dengan tatapan yang tidak sedingin biasanya.
"Kenapa kau tidak tidur di kamar tamu yang lebih layak?" tanya Nadia pelan.
"Aku takut jika aku memejamkan mata di tempat yang jauh, saat aku bangun, kalian sudah menghilang lagi," jawab Bramantyo dengan suara serak. "Berada di sini, mendengar napas Arka dari balik pintu, adalah satu-satunya cara aku bisa merasa tenang."
Nadia terdiam. Ia melihat kelelahan yang luar biasa di mata Bramantyo. "Anak itu... dia mulai sering menanyakan siapa ayahnya. Aku tidak bisa selamanya membohonginya."
Mata Bramantyo berkaca-kaca. "Aku akan menunggu sampai kau merasa aku layak disebut sebagai ayahnya, Nadia. Meskipun itu butuh waktu seumur hidupku."
Beberapa minggu kemudian, untuk pertama kalinya, mereka pergi keluar sebagai sebuah keluarga kecil. Bramantyo menyewa seluruh area taman bermain agar Arka bisa bermain dengan bebas tanpa gangguan media atau musuh bisnis.
Di bawah sinar matahari sore, mereka bertiga duduk di rumput. Arka berlari ke sana kemari membawa kincir angin kertas yang baru. Bramantyo sesekali membantu Arka saat ia terjatuh, lalu kembali duduk di samping Nadia.
"Terima kasih sudah memberiku kesempatan ini, Nadia," ucap Bramantyo tulus.
Nadia menatap Arka yang sedang tertawa, lalu beralih ke Bramantyo. "Aku melakukannya untuk Arka. Dia berhak memiliki sosok yang menjaganya. Tapi jangan pernah lupa, Bram... satu saja kesalahan, satu saja kebohongan, aku akan membawanya pergi ke tempat yang tidak akan pernah bisa kau temukan."
Bramantyo mengangguk mantap. "Aku tidak akan menyia-nyiakan kesempatan terakhir ini."
Namun, di tengah kedamaian yang mulai tumbuh, bayang-bayang masa lalu tidak pernah benar-benar pergi. Di sebuah hotel mewah di London, Adrian sedang menatap foto kebersamaan Bramantyo, Nadia, dan Arka di taman bermain tersebut melalui ponselnya.
Seseorang dari keluarga besar Dirgantara meneleponnya. "Bramantyo sudah lemah, Adrian. Dia membiarkan wanita itu menguasai saham kita. Jika kita tidak bertindak sekarang, kita akan kehilangan segalanya."
Adrian menyesap minumannya, matanya berkilat penuh rencana jahat. "Biarkan mereka bahagia sebentar lagi. Semakin tinggi mereka terbang, semakin sakit saat aku menjatuhkan mereka nanti. Siapkan tiketku ke Jakarta."