“Satu malam, satu kesalahan … tapi justru mengikat takdir yang tak bisa dihindari.”
Elena yang sakit hati akibat pengkhianat suaminya. Mencoba membalas dendam dengan mencari pelampiasan ke klub malam.
Dia menghabiskan waktu bersama pria yang dia anggap gigolo. Hanya untuk kesenangan dan dilupakan dalam satu malam.
Tapi bagaimana jadinya jika pria itu muncul lagi dalam hidup Elena bukan sebagai teman tidur tapi sebagai bos barunya di kantor. Dan yang lebih mengejutkan bagi Elena, ternyata Axel adalah sepupu dari suaminya Aldy.
Axel tahu betul siapa Elena dan malam yang telah mereka habiskan bersama. Elena yang ingin melupakan semua tak bisa menghindari pertemuan yang tak terduga ini.
Axel lalu berusaha menarik Elena dalam permainan yang lebih berbahaya, bukan hanya sekedar teman tidur berstatus gigolo.
Apakah Elena akan menerima permainan Axel sebagai media balas dendam pada suaminya ataukah akan ada harapan yang lain dalam hubungan mereka?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon mama reni, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab Tiga Puluh Dua
"Oh, udah pagi aja," ucap Aldi sambil menguap. Dia tidur di kursi tadi malam. Tak mau pulang ke apartemen. Aldi bangun dan berjalan menuju ruang inap sang istri.
Matahari baru saja merayap naik ketika lorong rumah sakit mulai terasa hidup. Suara langkah kaki para perawat terdengar mondar-mandir, aroma antiseptik semakin menyengat. Di dalam ruang Mawar 203, Axel duduk di kursi samping ranjang Elena, kepalanya bersandar pada tangan yang masih menggenggam tangan wanita itu.
Elena baru saja terlelap kembali setelah semalaman matanya sulit terpejam. Axel yang sempat terkantuk-kantuk pun tetap setia berada di sisinya.
Pintu ruangan berderit pelan. Aldi masuk, wajahnya tampak lelah, rambutnya sedikit berantakan. Matanya merah karena kurang tidur.
Axel menegakkan tubuhnya, tatapannya langsung tertuju pada Aldi. Ketegangan langsung terasa memenuhi ruangan.
"Aku cuma mau mengganti pakaian dan pulang sebentar," ujar Aldi datar, berusaha menghindari kontak mata terlalu lama dengan Axel.
Axel tidak menjawab. Ia hanya memperhatikan Aldi, memastikan gerak-geriknya. Saat Aldi sudah selesai merapikan beberapa barang di loker dan hendak keluar ruangan, Axel membuka suara.
"Pastikan kau kembali tepat waktu kalau memang mau menjaga Elena. Aku tak mau Elena sendirian," ucap Axel dingin.
Aldi mendengus. "Kau pikir kau siapa mengatur aku?"
"Orang yang berusaha membuat Elena aman," balas Axel cepat.
Aldi hanya menatap sekilas, lalu melangkah keluar. Namun, begitu pintu menutup, Axel segera mengambil ponselnya.
"Rendi, siapkan mobil. Kita pindahkan Elena sekarang juga," ucap Axel cepat.
"Baik, Pak," jawab Rendi tanpa banyak tanya.
Axel menatap Elena yang masih tidur. Wajahnya terlihat tenang untuk pertama kalinya sejak semalam. Axel mendekat, mengusap rambut wanita itu dengan lembut. Dia mengecup keningnya pelan.
"Aku nggak akan biarkan kamu terus-terusan di tempat yang bikin kamu cemas, Lena," bisik Axel.
Rendi mengurus semua administrasi rumah sakit. Dia juga langsung memesan kamar untuk Elena.
Beberapa menit kemudian, perawat masuk untuk membantu Axel memindahkan Elena. Mereka bergerak cepat namun hati-hati. Axel sendiri yang mengangkat barang-barang Elena. Dalam waktu kurang dari satu jam, Elena sudah dipindahkan ke rumah sakit lain yang lebih kecil tapi cukup bersih dan nyaman. Letaknya sedikit jauh dan sepi dari keramaian hiruk pikuk. Axel sengaja memilih rumah sakit itu supaya tidak mudah ditemukan oleh Aldi.
Tadi saat memindahkan Elena, wanita itu sempat terbangun dan bingung. Axel lalu mengatakan semua rencananya dan beruntung wanita itu tak keberatan.
Setelah memastikan Elena berada di ruang perawatan baru, Axel berdiri di depan jendela, menelepon seseorang.
"Pastikan Aldi tidak tahu keberadaan Elena," ucap Axel tegas.
"Siap, Pak."
Axel menghela napas panjang. Wajahnya masih tegang, tapi sedikit lega karena Elena kini lebih aman.
Beberapa jam kemudian, Axel sudah berada di ruang kerjanya di kantor. Wajahnya kembali dingin dan profesional. Ia duduk di balik meja, menatap tumpukan dokumen di depannya.
"Suruh Aldi datang ke sini. Dan panggil juga Lisa," perintah Axel pada sekretarisnya.
Tak lama kemudian, Lisa masuk terlebih dahulu. Wajahnya terlihat gugup, tangannya menggenggam tas erat-erat.
"Selamat Pagi, Pak Axel," sapa Lisa pelan.
Axel menatapnya tajam. "Duduk."
Lisa menurut, duduk di kursi depan meja Axel. Jantungnya berdegup cepat.
"Lisa, kamu tahu kenapa aku panggil kamu ke sini?" suara Axel terdengar datar tapi menusuk.
Lisa menunduk. "Saya … saya bisa jelaskan semuanya, Pak."
"Aku nggak perlu penjelasanmu," potong Axel cepat. "Kau sudah membuat nama perusahaan ini buruk dengan kelakuanmu. Foto-foto kalian beredar. Kamu tahu betul apa dampaknya bagi reputasi perusahaan."
Lisa menggigit bibir bawahnya, matanya mulai berkaca-kaca. Dia tak pernah memikirkan akan berdampak begini karena yang dia tahu, Aldi ponakannya si pemilik perusahaan. Jadi dia akan aman.
"Aku sudah membuat keputusan," lanjut Axel sambil mengambil sebuah map dari laci. "Ini surat penghentian kerja untukmu. Mulai hari ini, kau tidak lagi bekerja di sini."
Lisa mendongak, terkejut. "Pak Axel, mohon … saya butuh pekerjaan ini."
"Kau butuh pekerjaan? Harusnya kau pikirkan itu sebelum menghancurkan rumah tangga sahabatmu sendiri," ucap Axel dingin. "Ambil surat ini dan keluar dari ruangan saya."
Lisa menggenggam surat itu dengan tangan gemetar. Ia bangkit perlahan, menatap Axel sejenak, lalu pergi dengan langkah berat.
Pintu baru saja tertutup, kini giliran Aldi masuk. Wajahnya terlihat tegang, tatapannya langsung menusuk Axel.
"Kau pindahkan Elena ke mana?" tanya Aldi tanpa basa-basi.
Sebelum ke kantor, dia tadi mampir ke rumah sakit. Aldi sangat terkejut mengetahui kalau istrinya telah dipindahkan ke rumah sakit lain.
Axel tidak menjawab. Ia hanya mengeluarkan sebuah amplop lain dari laci dan meletakkannya di meja.
"Apa ini?" tanya Aldi curiga.
"Surat cerai," jawab Axel singkat.
Aldi terbelalak. "Apa?! Siapa kau, seenaknya memerintahku? Ini urusan rumah tangga aku dan Elena!"
"Urusanmu dengan Elena sudah kelewatan," balas Axel, nadanya tegas. "Dia sudah jelas-jelas tidak mau melihatmu. Dan aku akan pastikan dia mendapatkan kebebasannya."
Aldi tertawa pendek, sarkastis. "Kau pikir aku akan menandatangani ini? Tidak akan pernah!"
Axel menarik napas dalam, lalu mengambil sebuah berkas tebal. Ia melemparkannya ke meja hingga menimbulkan bunyi keras.
"Apa ini?" Aldi meraih berkas itu, matanya bergerak cepat membaca halaman-halaman di dalamnya. Wajahnya mendadak pucat.
"Itu hasil audit internal," ucap Axel pelan namun tajam. "Semua penyelewengan keuangan yang kamu lakukan selama dua tahun terakhir tercatat di situ. Semua bukti sudah lengkap. Kalau aku mau, aku bisa menyerahkannya ke pihak berwajib hari ini juga."
Aldi mengepalkan tangan. "Kau mengancam aku?"
"Anggap saja aku memberimu pilihan," jawab Axel dingin. "Tandatangani surat cerai itu, atau aku serahkan berkas ini ke polisi. Dan percayalah, Aldi, kau akan kehilangan lebih dari sekadar Elena. Kau bisa kehilangan kebebasanmu."
Ruangan itu terasa semakin panas. Aldi terdiam beberapa detik. Tangannya meremas kertas di tangannya.
"Aku … aku butuh waktu," gumam Aldi akhirnya.
"Kau punya waktu sampai besok pagi," kata Axel tegas. "Lewat dari itu, aku tak akan ragu mengambil langkah hukum."
Aldi menatap Axel dengan sorot mata penuh kebencian. "Kau pikir kau pahlawan? Kau cuma sepupu yang terlalu ikut campur."
"Aku ikut campur karena aku peduli pada Elena. Sesuatu yang seharusnya kau lakukan dari dulu," balas Axel tajam.
Aldi membanting berkas itu ke meja, lalu berbalik meninggalkan ruangan tanpa berkata-kata lagi.
Axel terdiam beberapa saat setelah pintu tertutup. Napasnya masih memburu.
Tangannya menggenggam surat cerai itu erat-erat. Ia menatap jendela besar kantornya. Langit di luar tampak mendung, seolah ikut mencerminkan suasana hatinya.
"Besok segalanya harus selesai," gumam Axel pada dirinya sendiri.
Aldi jdinya sdh jatuh tertimpa tangga pulak
Jelas sudah siapa di sinibybg tidak bisa menghamili pasangan nya 😂😂😂😂