NovelToon NovelToon
LUKA YANG KEMBALI

LUKA YANG KEMBALI

Status: tamat
Genre:Teen Angst / CEO / Action / Percintaan Konglomerat / Cinta Seiring Waktu / Cintapertama / Tamat
Popularitas:112
Nilai: 5
Nama Author: Dri Andri

SINOPSIS
Laura Christina telah menyimpan perasaan pada Julian Mahardika sejak mereka kuliah—sepuluh tahun yang terasa seperti selamanya. Julian, pria yang membangun tembok tinggi di sekitar hatinya setelah tragedi masa lalu, tidak pernah menyadari cinta diam-diam Laura. Ketika kehidupan membawa mereka kembali bersama dalam proyek berbahaya yang melibatkan konspirasi, pengkhianatan, dan ancaman maut, Laura harus memilih: tetap bersembunyi di balik senyumnya atau mengambil risiko kehilangan segalanya—termasuk nyawanya—untuk pria yang bahkan tidak tahu dia ada.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dri Andri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 13: MALAM YANG BERBAHAYA

Adrian mengawal Laura kembali ke apartemennya dengan dua security tambahan. Perjalanan yang biasanya Laura lalui sendirian dengan pikiran melayang-layang, kali ini terasa berbeda. Ada mobil lain yang mengikuti dari belakang—bagian dari protokol keamanan yang Julian atur. Laura merasa seperti orang penting yang dilindungi, tapi juga seperti tahanan yang diawasi.

Di apartemennya, Laura mulai mengemas dengan tangan yang masih sedikit gemetar. Pakaian untuk beberapa hari, toiletries, laptop, dokumen-dokumen penting. Setiap barang yang dia masukkan ke koper terasa seperti langkah menuju sesuatu yang tidak bisa dia tarik kembali.

Tinggal di rumah Julian. Satu atap dengan pria yang sudah sepuluh tahun menghuni setiap sudut hatinya.

"Miss Laura, sebaiknya kita berangkat sebelum terlalu malam," ujar Adrian dari pintu kamar, sopan tapi tegas. "Untuk keamanan."

Laura mengangguk, menarik resleting kopernya. Tapi sebelum keluar, dia mengirim pesan ke Nia.

Laura: Ni, aku akan tinggal di tempat Julian untuk sementara. Ada ancaman dari kompetitornya. Jangan khawatir, aku aman.

Balasan Nia datang hampir instant.

Nia: WHAT?! Kamu tinggal di rumah JULIAN?! Laura, kita perlu bicara SEKARANG.

Laura: Nanti aku jelasin. Ini urusan keamanan. Tolong percaya aku.

Nia: Aku percaya kamu. Tapi aku tidak percaya hatimu bisa bertahan tinggal serumah dengannya. Lau, hati-hati. Jaga dirimu. Terutama hatimu.

Laura menatap pesan Nia dengan dadanya sesak. Nia benar. Bahaya fisik dari Leon mungkin nyata, tapi bahaya emosional dari tinggal dekat Julian? Itu ancaman yang jauh lebih menakutkan.

Apartemen Julian terletak di gedung mewah di kawasan elite Jakarta Selatan. Lantai tiga puluh lima, dengan pemandangan kota yang spektakuler. Adrian mengantar Laura masuk menggunakan kartu akses khusus, melewati lobby yang dijaga ketat, naik lift pribadi yang langsung terhubung ke apartemen Julian.

Pintu apartemen terbuka otomatis setelah Adrian scan kartu. Laura melangkah masuk dan langsung terpesona.

Apartemen ini luas—sangat luas untuk seorang lelaki lajang. Interior modern dengan dominasi warna abu-abu, hitam, dan putih. Jendela besar dari lantai hingga langit-langit membingkai pemandangan Jakarta yang berkelap-kelip. Furnitur minimalis tapi berkelas. Semuanya tertata rapi, bersih, nyaris steril.

Tidak ada sentuhan personal. Tidak ada foto keluarga, tidak ada kenang-kenangan, tidak ada apapun yang menunjukkan bahwa tempat ini dihuni oleh manusia dengan kehidupan dan masa lalu.

Hanya tembok-tembok dingin yang Julian bangun, bahkan di rumahnya sendiri.

"Kamar tamu ada di koridor sebelah kanan, pintu kedua," jelas Adrian. "Kamar mandi dalam. Mr. Julian sudah pesan untuk siapkan semua keperluan Miss Laura. Kalau ada yang kurang, bilang saja."

"Terima kasih, Adrian."

Adrian mengangguk. "Saya dan tim akan stand by di lobby. Kalau ada apa-apa, tekan tombol panic button di samping tempat tidur. Kami akan langsung naik. Mr. Julian akan sampai sekitar jam sembilan malam."

Setelah Adrian pergi, Laura sendirian di apartemen yang terasa terlalu besar dan terlalu sunyi ini. Dia menarik kopernya ke kamar tamu—kamar yang ternyata lebih luas dari kamar utama di apartemennya sendiri. Tempat tidur king size dengan seprai putih bersih, lemari besar, meja kerja, bahkan sofa kecil di sudut.

Laura duduk di tepi tempat tidur, memeluk dirinya sendiri. Kenyataan mulai menghantam dengan keras. Dia di sini. Di rumah Julian. Akan tidur di sini. Akan bangun pagi di sini. Akan berbagi ruang dengan pria yang membuat jantungnya berdebar setiap kali berada di ruangan yang sama.

Bagaimana dia bisa bertahan?

Ponselnya berdering. Julian.

"Laura? Kamu sudah sampai?"

"Sudah. Adrian sudah tunjukkan kamarku."

"Bagus." Ada jeda, lalu Julian bersuara lagi, lebih lembut. "Kamu makan malam belum?"

"Belum. Tapi aku tidak lapar."

"Laura, kamu harus makan. Ada makanan di kulkas. Atau mau aku pesan delivery?"

"Tidak usah repot. Aku akan cari sendiri nanti."

Hening sejenak. Laura bisa mendengar suara orang-orang dan mesin di latar belakang—Julian masih di kantor atau mungkin di tempat lain.

"Aku akan usahakan pulang secepatnya," ujar Julian. "Tapi mungkin masih satu atau dua jam lagi. Kunci pintunya otomatis, tidak bisa dibuka dari luar tanpa kartu akses. Kamu aman di sana."

"Julian—" Laura memaksa dirinya menyebut namanya tanpa embel-embel, mengikuti bagaimana Julian memanggilnya tadi. "Terima kasih. Untuk semuanya."

"Tidak perlu berterima kasih," jawab Julian, suaranya hangat dengan cara yang membuat dada Laura sesak. "Ini yang seharusnya aku lakukan."

Setelah telepon berakhir, Laura memaksa dirinya untuk mandi dan mengganti pakaian. Air hangat sedikit menenangkan otot-ototnya yang tegang, tapi tidak bisa menghilangkan kecemasan yang menggerogoti.

Dia mengenakan piyama sederhana—celana panjang dan kaos lengan panjang—lalu keluar ke ruang utama. Perutnya mulai terasa lapar meski dia tidak ingin mengakuinya.

Di dapur yang modern dan lengkap, Laura membuka kulkas. Ternyata sudah diisi dengan berbagai makanan—buah-buahan segar, sayuran, daging, susu, jus. Ada juga beberapa container makanan siap saji yang terlihat baru dibeli hari ini.

Julian mempersiapkan semua ini untuknya.

Laura mengambil salah satu container—nasi hainan dengan ayam, makanan favoritnya. Bagaimana Julian tahu? Atau ini kebetulan?

Dia memanaskan makanan dan makan di meja makan besar yang terasa terlalu sepi untuk satu orang. Sambil makan, matanya menelusuri apartemen. Semua terlalu rapi, terlalu bersih. Tidak ada tanda-tanda kehidupan nyata di sini.

Apakah Julian benar-benar tinggal di sini? Atau ini hanya tempat dia tidur setelah hari yang panjang, sebelum kembali membangun tembok-temboknya?

Setelah makan, Laura mencuci piring—lebih karena butuh sesuatu untuk dilakukan daripada karena harus. Lalu dia duduk di sofa besar menghadap jendela, menatap kota Jakarta yang berkelap-kelip di bawah. Dari ketinggian ini, semua terlihat indah. Lampu-lampu seperti bintang di bumi, gerakan mobil seperti aliran cahaya.

Tapi Laura tahu di balik keindahan itu, ada bahaya. Ada Leon dan orang-orangnya yang mungkin sedang merencanakan serangan berikutnya.

Suara pintu apartemen terbuka membuat Laura terlonjak. Dia berbalik dan melihat Julian masuk—masih dengan kemeja kerja yang sedikit kusut, wajah yang terlihat lelah, tapi matanya langsung mencari Laura.

Saat mata mereka bertemu, sesuatu di ekspresi Julian melunak. Bahu yang tegang sedikit rileks, rahang yang kencang sedikit mengendur.

"Kamu belum tidur," ujarnya, menutup pintu dan melepas sepatu.

"Belum bisa tidur," jawab Laura jujur.

Julian berjalan mendekat, duduk di sofa yang sama tapi menjaga jarak sopan antara mereka. "Masih shock karena kejadian tadi?"

Laura mengangguk. "Aku tidak pernah dibuat takut seperti itu sebelumnya. Melihat pisau itu, mendengar ancaman itu—aku merasa... sangat tidak berdaya."

Tangan Julian bergerak seolah ingin menyentuh Laura, tapi dia menahannya. "Maafkan aku. Ini salahku. Kamu terlibat dalam masalah ini karena aku."

"Ini bukan salahmu, Julian. Ini Leon yang—"

"Tapi Leon mengancam kamu karena dia tahu kamu penting bagiku," potong Julian, matanya menatap Laura dengan intensitas yang membuat napas Laura tertahan. "Dia tahu kalau dia menyakiti kamu, dia menyakiti aku. Dan dia benar."

Laura merasakan jantungnya berdebar sangat keras. "Kenapa? Kenapa aku penting bagimu?"

Julian diam panjang, menatapnya dengan tatapan yang penuh konflik. Bibirnya terbuka, menutup, terbuka lagi. Seolah berperang dengan dirinya sendiri tentang apa yang harus dikatakan.

Tapi sebelum dia bisa menjawab, ponselnya berdering. Dia melirik layar dan ekspresinya mengeras.

"Maudy," gumamnya.

Dan seperti selalu, nama itu seperti air dingin yang disiramkan ke moment mereka. Laura menunduk, menatap tangannya sendiri yang terkepal di pangkuan.

"Angkat saja," ujarnya datar. "Dia pasti khawatir kenapa kamu belum pulang."

"Laura—"

"Aku akan ke kamar. Selamat malam, Julian."

Laura berdiri dan berjalan cepat ke kamarnya sebelum air matanya jatuh. Di balik pintu kamar yang tertutup, dia bersandar dan mendengar suara Julian yang samar menjawab telepon Maudy dengan nada lelah.

Ini akan menjadi sangat sulit. Jauh lebih sulit daripada yang Laura bayangkan.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!