NovelToon NovelToon
Embun Di Balik Kain Sutra

Embun Di Balik Kain Sutra

Status: sedang berlangsung
Genre:Fantasi Timur / Cinta Terlarang / Romansa pedesaan
Popularitas:563
Nilai: 5
Nama Author: S. N. Aida

Di Desa Awan Jingga—desa terpencil yang menyimpan legenda tentang “Pengikat Takdir”—tinggal seorang gadis penenun bernama Mei Lan. Ia dikenal lembut, tapi menyimpan luka masa lalu dan tekanan adat untuk segera menikah.

Suatu hari, desa kedatangan pria asing bernama Rho Jian, mantan pengawal istana yang melarikan diri dari kehidupan lamanya. Jian tinggal di rumah bekas gudang padi di dekat hutan bambu—tempat orang-orang jarang berani mendekat.

Sejak pertemuan pertama yang tidak disengaja di sungai berembun, Mei Lan dan Jian terhubung oleh rasa sunyi yang sama.
Namun kedekatan mereka dianggap tabu—terlebih karena Jian menyimpan rahasia gelap: ia membawa tanda “Pengkhianat Istana”.

Hubungan mereka berkembang dari saling menjaga… hingga saling mendambakan.
Tetapi ketika desa diguncang serangkaian kejadian misterius, masa lalu Jian kembali menghantui, dan Mei Lan harus memilih: mengikuti adat atau mengikuti hatinya yang berdegup untuk pria terlarang.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon S. N. Aida, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 16 — Luka di Dada Jian

​Momen hampir-cium di bawah cahaya lentera yang melayang telah meninggalkan luka yang lebih dalam daripada jarak itu sendiri. Mei Lan kini tahu pasti: Jian mencintainya, dan ia menggunakan rasa sakit dari penolakan itu sebagai pertahanan terakhirnya. Ia tidak lagi marah, tetapi ia dipenuhi oleh rasa tekad—ia harus menghancurkan tembok pertahanan itu.

​Kain sutra untuk Nyonya Liu kini sudah hampir mencapai dua pertiga penyelesaian. Dalam tiga hari lagi, Mei Lan yakin ia akan menyelesaikannya.

​Karena tidak ada pasokan air bersih di gudang rempah-rempah mereka, Jian dan Mei Lan harus kembali mengambil risiko di sumur umum. Untuk menghindari pengawasan Tuan Yu, mereka memilih waktu yang sangat pagi, saat kabut pagi masih melayang di gang-gang gelap Kota Bayangan.

​Pagi itu, mereka bergerak dalam keheningan yang dingin. Mereka berhasil mengambil air tanpa insiden, tetapi saat kembali, Jian merasa tubuhnya kotor dan lengket setelah berhari-hari bersembunyi tanpa mandi yang layak.

​“Aku harus membersihkan diri,” kata Jian, suaranya parau. “Aku tidak bisa menghadapi Nyonya Liu dengan bau keringat buronan.”

​Mei Lan mengangguk. Mereka tidak bisa menggunakan sumur untuk mandi. Jian memutuskan untuk pergi ke sungai kecil yang mengalir di belakang tembok kota yang lama, sebuah tempat yang biasanya digunakan oleh para penyamak kulit. Itu adalah tempat kotor, tetapi tersembunyi.

​“Kau tinggal di sini. Jangan ada yang tahu kita terpisah,” perintah Jian.

​“Tidak,” balas Mei Lan, berdiri tegak. “Saya akan ikut.”

​Jian menatapnya. “Jangan keras kepala, Mei Lan. Itu berbahaya.”

​“Saya tahu itu berbahaya,” kata Mei Lan. “Tapi saya tidak akan membiarkan Kau pergi sendiri. Kita adalah benang yang teranyam, Jian. Saya ikut.”

​Jian tahu ia tidak akan menang. Ia mengangguk dengan desahan panjang.

​Mereka menyelinap keluar dari Jaringan Bawah Tanah, melewati reruntuhan tembok batu, dan mencapai sungai kecil yang berbau lumpur. Di pagi hari yang dingin, tempat itu benar-benar sepi.

​Jian bergerak ke balik sekelompok besar semak willow yang merunduk, yang berfungsi sebagai penyaringan visual.

​“Tunggu di sana,” kata Jian, menunjuk ke batu besar yang jaraknya cukup jauh.

​Mei Lan duduk di batu itu, matanya tertuju pada semak-semak. Ia bisa mendengar suara air bergolak saat Jian melepaskan pakaiannya dan masuk ke sungai yang dangkal.

​Mei Lan memalingkan wajahnya, membiarkan Jian membersihkan diri. Ia mendengarkan suara Jian menyiram air dingin ke tubuhnya, suara desahan yang tertekan karena rasa sakit akibat luka di rusuk yang belum sembuh total.

​Tiba-tiba, ia mendengar suara yang sangat keras dan mengganggu. Bukan suara prajurit, melainkan suara gesekan batu.

​Mei Lan melompat. Ia melihat sepasang angsa liar yang sedang bertarung di dekat air, berteriak dan beradu sayap, menggesekkan batu-batu di sungai. Gerakan mereka telah menarik perhatian mata burung di atas.

​“Jian! Burung di atas!” teriak Mei Lan.

​Jian tersentak. Ia berdiri di sungai, tubuhnya basah kuyup, siap untuk bergerak. Saat ia berbalik untuk meraih pakaiannya yang diletakkan di tanah, saat itulah Mei Lan melihatnya.

​Itu bukan luka lama yang ia obati di rusuk. Itu adalah luka yang jauh lebih besar, lebih parah, dan lebih tua—bekas luka yang membentang dari bahu kirinya, melintasi tulang belikat, hingga ke sisi kanannya. Bekas luka itu lebar, bergerigi, dan terlihat seolah-olah kulitnya dicabik-cabik oleh cakar binatang buas yang besar. Luka itu sudah sembuh, tetapi jaringan parutnya begitu padat sehingga terlihat seperti peta yang dipenuhi penderitaan.

​Jian, menyadari dirinya terbuka, dengan cepat meraih jubahnya dan menutupinya. Matanya yang tajam menatap Mei Lan dengan rasa malu dan amarah yang luar biasa.

​“Kau tidak seharusnya melihat itu,” desis Jian, suaranya dalam dan mengancam.

​Mei Lan tidak bergeming. Ia tidak takut. Ia melihat rasa sakit, rasa malu, dan keputusasaan di mata Jian. Ia melangkah maju, mendekatinya.

​“Siapa yang melakukan ini padamu, Jian?” tanya Mei Lan, suaranya nyaris berbisik.

​“Itu tidak penting,” jawab Jian, membuang muka. “Itu adalah masa lalu. Pergi.”

​Mei Lan mengabaikan perintahnya. Ia mendekat, tangannya terangkat. Jian tegang, siap untuk menangkis. Ia tidak ingin disentuh di luka itu.

​Namun, Mei Lan tidak menangkis. Jari-jari penenun itu, yang terlatih untuk kelembutan sutra, perlahan dan sangat hati-hati menyentuh bekas luka yang dingin itu.

​Sentuhan itu lembut, tanpa penghakiman, penuh dengan belas kasih murni.

​Jian merasakan sentuhan itu seperti sengatan listrik. Seluruh tubuhnya menegang, tetapi yang mengejutkan, ia tidak mendorong Mei Lan menjauh. Ia merasakan nyeri yang membakar di luka itu, tetapi nyeri itu cepat digantikan oleh kehangatan yang asing.

​“Ini bukan luka prajurit,” bisik Mei Lan, air mata menggenang di matanya. “Ini adalah siksaan. Ini… adalah pengkhianatan.”

​Jian tersentak. Ia tahu Mei Lan telah melihat kebenaran yang mengerikan. Ia tahu tidak ada lagi gunanya bersembunyi. Keintiman dari sentuhan itu lebih kuat daripada bentengnya.

​Ia berbalik perlahan, meraih tangan Mei Lan yang menyentuh lukanya, dan menggenggamnya.

​“Aku—aku bukan prajurit gagal,” bisik Jian, matanya menatap air sungai yang tenang. “Aku adalah komandan terbaik di bawah Kekaisaran. Aku adalah Bayangan Singa. Aku bertugas melindungi putra mahkota.”

​Mei Lan menahan napas. Jian adalah Jenderal? Komandan Pasukan Elit Kekaisaran?

​Jian menarik napas dalam-dalam. “Ketika aku menemukan putra mahkota berencana mengkhianati ayahnya, Kaisar, dan menjual informasi militer itu kepada Kekaisaran Utara untuk mendapatkan takhta, aku... aku bertindak. Aku mencuri informasi itu, dan aku mencoba mengeksposnya.”

​“Dan luka ini…?” tanya Mei Lan.

​“Putra mahkota menyiksa saya secara pribadi,” kata Jian, suaranya datar, tanpa emosi, tetapi rasa sakit di baliknya begitu nyata. “Dia ingin aku memberitahu di mana informasi itu. Ketika aku menolak, dia menggunakan cambuk kulit naga. Itu… adalah hadiah pengkhianatannya kepadaku. Mereka membiarkanku mati di sel.”

​Jian menatap Mei Lan, matanya penuh dengan rasa bersalah yang dalam. “Aku tidak mati, Mei Lan. Aku melarikan diri, dan aku menjadi bayangan. Aku bukan hanya buronan Istana. Aku adalah orang yang dihukum mati oleh putra mahkota. Mereka akan mencariku hingga ke ujung dunia. Tuan Yu adalah Bayangan Istana, anak buah kepercayaanku. Mereka mengejarku karena aku tahu kebenaran yang bisa menghancurkan Kekaisaran dari dalam.”

​Rahasia itu akhirnya terungkap. Mei Lan tidak hanya berlari bersama seorang buronan; ia berlari dengan rahasia yang bisa menggulingkan dinasti.

​Mei Lan tidak menunjukkan rasa takut. Sebaliknya, tangannya yang masih memegang bekas luka Jian, bergerak ke lehernya, dan ia memeluk Jian erat-erat.

​“Kau tidak sendirian, Jian,” bisik Mei Lan, menempelkan pipinya yang dingin ke kulit basah Jian. “Mereka tidak menghancurkanmu. Mereka hanya mengubahmu menjadi bayangan yang lebih kuat. Kita akan mengantarkan rahasia itu, dan kita akan bebas.”

​Pelukan itu adalah momen keintiman emosional yang jauh lebih dalam daripada ciuman apa pun. Itu adalah penerimaan total atas masa lalu Jian, atas pengkhianatan, dan atas rasa sakit.

​Jian balas memeluk Mei Lan, tubuhnya gemetar. Ia tidak menangis, tetapi ia membiarkan air sungai membasuh air matanya yang tidak tertumpahkan. Ia membiarkan kehangatan Mei Lan masuk, menghancurkan benteng pertahanannya sepenuhnya.

​Ia tahu, sekarang tidak ada jalan kembali. Mei Lan telah menenun dirinya sepenuhnya ke dalam benang takdir Jian.

​Setelah Jian selesai mandi, mereka kembali ke gudang rempah-rempah dalam keheningan yang berbeda. Keheningan itu kini penuh dengan pengertian dan kepastian. Jarak itu hilang.

​Mei Lan kembali ke alat tenunnya. Ia bekerja dengan kecepatan dan fokus yang luar biasa. Ia tahu waktu mereka semakin sempit. Tuan Yu ada di kota, dan ia mencari Bayangan Singa—Jenderal Rho Jian.

​Jian duduk di dekatnya, tidak lagi membelakangi. Ia mengawasi Mei Lan. Ia mengamati pergerakan benang, keindahan yang muncul dari kesabaran dan tekad Mei Lan.

​Kain sutra itu tampak seperti langit malam—dalam, kaya, dan dipenuhi bintang-bintang yang halus. Mei Lan menenun seluruh penderitaan dan cintanya ke dalamnya.

​Jian tahu, kain ini akan membebaskan mereka. Tetapi bahkan jika mereka bebas dari Nyonya Liu, mereka masih harus menghadapi Tuan Yu dan Kekaisaran.

​Mei Lan menyelesaikan benang emas terakhir pada motif naga tersembunyi. Ia memotong benangnya.

​“Selesai,” kata Mei Lan, suaranya tenang.

​Jian berjalan ke arahnya. Ia menyentuh sutra itu, merasakan kelembutan yang mematikan.

​“Ini adalah kain terbaik yang pernah kulihat,” kata Jian, jujur.

​Mei Lan menatap Jian. “Sekarang, kita harus menghadapi Nyonya Liu. Dan kemudian, kita harus lari.”

​Ia tidak meminta Jian untuk tetap tinggal. Ia tidak memohon. Ia hanya menyatakan fakta. Mereka harus lari bersama, memikul beban rahasia dan cinta mereka. Jarak itu telah hilang, dan mereka sekarang adalah satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan.

1
Rustina Mulyawati
Bagus ceritanya... 👍 Saling suport yuk!
marmota_FEBB
Ga tahan nih, thor. Endingnya bikin kecut ati 😭.
Kyoya Hibari
Endingnya puas. 🎉
Curtis
Makin ngerti hidup. 🤔
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!