Embun Nadhira Putri, 28 tahun, terjebak antara tuntutan pekerjaan dan desakan keluarganya untuk segera menikah. Ketika akhirnya mencoba aplikasi kencan, sebuah kesalahan kecil mengubah arah hidupnya—ia salah menyimpan nomor pria yang ia kenal.
Pesan yang seharusnya untuk orang lain justru terkirim kepada Langit Mahendra Atmaja, pria matang dan dewasa yang tidak pernah ia pikirkan akan ia temui. Yang awalnya salah nomor berubah menjadi percakapan hangat, lalu perlahan menjadi sesuatu yang jauh lebih berarti.
Di tengah tekanan keluarga terutama sang Mama, rutinitas yang melelahkan, dan rasa takut membuka hati, Embun menemukan seseorang yang hadir tanpa diminta.
Dan Langit menemukan seseorang yang membuatnya ingin tinggal lebih lama.
Terkadang takdir tidak datang mengetuk.
Kadang ia tersesat.
Kadang ia salah alamat.
Dan kali ini…
takdir menemukan Langit.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lacataya_, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 7 – Tiga Cangkir Kopi dan Satu Rahasia
Sore merayap turun perlahan, membawa warna jingga lembut yang memenuhi langit di antara gedung-gedung kota. Cahaya keemasan memantul di kaca jendela, menciptakan siluet daun-daun yang bergerak pelan diterpa angin. Udara mulai terasa damai—jenis ketenangan yang selalu datang di jam pulang kantor.
Di sudut sebuah kafe kecil yang sudah menjadi rumah kedua bagi mereka bertiga, mesin espresso berdengung rendah, dan aroma kopi panggang bercampur vanila memenuhi udara. Musik jazz lembut mengalun dari speaker — bukan terlalu keras, namun cukup untuk memberikan suasana hangat.
Embun tiba lebih dulu. Ia duduk di bangku sudut favorit mereka, yang menghadap langsung ke jendela besar. Rambutnya digelung seadanya, beberapa helai jatuh di sisi wajah, membuatnya terlihat lebih lembut daripada biasanya. Blazer kerja masih melekat di tubuhnya—ia belum sempat melepasnya sejak turun dari ojek online tadi.
Di depannya, segelas es kopi susu mulai mencair. Embun memutar sedotan pelan-pelan, menggigiti ujungnya sambil memandangi HP di atas meja—berusaha tampak santai, padahal jantungnya masih sibuk kerja lembur karena suara “Mr. Don’t Know” yang terus terngiang di kepala.
Ia menarik napas. “Kenapa hidup gue kayak drama jam tujuh…”
Belum sempat ia melanjutkan lamunan, pintu kafe berdering lembut. Tapi suaranya kalah oleh teriakan seseorang.
“EMBUUUNNNN!!!”
Teriakan itu bukan sekadar panggilan—itu deklarasi kedatangan seorang Lona.
Embun terlonjak kecil, hampir tersedak es kopi sendiri. “Ya Tuhan, Lona…” katanya sambil terbatuk-pelan. “Volume lo bisa ngalahin alarm kantor yang suka error itu.”
Lona berjalan cepat ke arahnya, rambut panjangnya bergoyang seirama langkahnya. Ia menurunkan totebag besar yang isinya entah kenapa selalu terlihat berat, lalu duduk dengan gaya dramatis seperti habis lari marathon… padahal tadi cuma dari pintu ke meja.
“GILA GUE DEG-DEGAN!!” seru Lona sambil menepuk dada sendiri. “Cepet! Mana HP lo, gue mau liat chat-nya. Cerita dari awal. Dari A. Dari akar masalahnya!”
Embun mendengus sambil tertawa. “Baru dateng udah kayak reporter kriminal.”
Namun sebelum ia sempat menjawab lebih panjang, seorang perempuan lain muncul dari belakang Lona—lebih tenang, lebih diam, tapi senyum tipisnya sangat on brand.
Bia.
Dengan rambut hitam panjang yang diikat dan hoodie oversized, Bia datang tanpa suara. Ia menarik kursi, duduk… dan langsung membuka jaket serta menaruh tote bagnya di kursi kosong tanpa repot-repot drama.
“Sorry telat,” ucapnya singkat. “Ada macet… sama Lona yang berisik di telepon.”
Lona mendelik. “Gue cuma excited!”
“Lo excited tiap hari,” jawab Bia dengan datar, tapi ada senyum kecil di sudut bibirnya.
Keduanya duduk. Dan seperti biasa, meja kecil kafe itu langsung terasa seperti ruang aman yang cuma mereka bertiga punya.
Embun bermain-main dengan sedotan, menatap dua sahabatnya yang kini fokus penuh pada dirinya.
“Jadi…” katanya pelan sambil menaruh HP di tengah meja. “Kalian mau yang versi pendek atau versi lengkap sampe gue malu sendiri?”
Lona langsung angkat tangan. “Versi lengkap!”
Bia mengangguk elegan. “Versi lengkap. Dengan detail suara, ekspresi, dan kronologi jam.”
Embun menunduk sambil tertawa, pipinya memerah. “Gue tau lo bakal bilang begitu.”
Lona bersorak kecil. “YES! Oke, mulai dari sini dulu…” Ia meraih gelas es kopinya sendiri yang baru diletakkan barista. “Apa yang sebenernya terjadi… setelah lo salah kirim voice note itu??”
Embun mengambil napas panjang. Memandangi kedua sahabatnya. Dan entah kenapa… merasa tenang.
Kemudian Embun mulai menceritakan seluruh pengalamannya dari awal—sebuah cerita yang bahkan ia sendiri belum percaya bisa terjadi dalam hidupnya. Ia memulai dari keputusan impulsifnya beberapa hari lalu, ketika rasa jenuh bertumpuk: pekerjaan yang menuntut presisi, Mama Raina yang terus-menerus melakukan kampanye pernikahan, dan perasaan kosong yang pelan-pelan membesar tanpa ia sadari ditambah Lona dan Bia yang terus terusan memintanya untuk mendownload aplikasi dating itu. Dalam kondisi setengah lelah dan setengah pasrah, ia akhirnya menekan tombol unduh pada sebuah aplikasi dating, menganggapnya hanya sebagai hiburan sementara untuk mengalihkan pikiran.
Namun ternyata, dunia maya itu lebih cepat merespons daripada dugaan Embun. Belum sehari ia memasang foto dan mengisi profilnya secara sederhana, dua match muncul hampir bersamaan, masing-masing dengan gaya dan energi yang berbeda. Ari—dengan chat ringan, absurd, dan penuh selingan humor aneh—dan Dion, seorang pria berwibawa dengan pilihan kata yang rapi dan nada bicara yang hangat. Mereka bertiga mulai saling bertukar pesan di dalam aplikasi, dan interaksi itu berkembang jauh lebih cepat dari yang Embun bayangkan. Satu memberikan tawa, satu menawarkan ketenangan, dan keduanya mulai memenuhi ruang kecil dalam hidupnya.
Lalu datanglah kejadian malam itu—momen yang kemudian menjadi bumbu utama drama pribadinya. Saat mereka sedang saling mengobrol, Ari tiba-tiba mengusulkan untuk melanjutkan percakapan di aplikasi hijau, alasan klasik agar komunikasi lebih lancar dan tidak terikat pada aplikasi dating. Tanpa banyak pikir, ia memberikan nomor ponselnya. Embun tentu saja menuruti, bermaksud menyimpan kontak itu dan melanjutkan cerita mereka.
Tapi di sinilah takdir mulai bermain. Entah karena lelah, gugup, atau sekadar kelalaian jari, Embun salah memasukkan satu angka saat menyimpan nomor Ari. Ia tidak sadar. Ia hanya menekan tombol simpan, lalu—masih tanpa ragu—mengirim sebuah voice note panjang untuk menanggapi obrolan sebelumnya.
Voice note itu, ternyata, mendarat di ponsel seseorang yang sama sekali tidak ia kenal.
Yang lebih mengejutkan lagi, pria asing itu membalas.
Tidak dengan marah, bukan pula dengan kebingungan berlebihan, tetapi dengan respons tenang yang justru membuat Embun semakin malu sekaligus penasaran. Dari kesalahan sesederhana satu angka nomor ponsel, percakapan baru pun terbuka, membuat Embun larut dalam obrolan yang sama sekali tidak ia rencanakan.
Ia bahkan baru menyadari setelahnya bahwa nomor Ari yang asli tidak pernah tersimpan di ponselnya.
Pada akhirnya, apa yang awalnya hanya rasa iseng kecil berubah menjadi rangkaian kejadian yang membuat hidupnya mendadak lebih ramai—dua pria dari aplikasi dating dan seorang pria asing yang muncul tanpa disengaja. Semua karena sebuah jempol yang salah menekan, dan takdir yang tampaknya punya selera humor yang unik.
Embun menghela napas panjang sebelum akhirnya mengangkat kepalanya dan menatap kedua sahabatnya yang sudah menunggu dengan antusias. Cahaya hangat dari lampu gantung kafe jatuh lembut di wajahnya, membuat pipinya yang merona terlihat semakin jelas.
Ia menutup wajahnya dengan kedua tangan, lalu bersandar ke kursi.
“Jadi … semuanya berawal dari salah kirim,” ujarnya pelan, tapi penuh drama. “Harusnya voice note itu buat Ari. Tapi karena gue salah masukin satu digit waktu nyimpen nomor… ya jatuhnya ke orang RANDOM yang gue bahkan nggak kenal.”
Lona tidak menunggu sedetik pun. Dia langsung menepuk meja dengan keras—sampai gelas es coklatnya bergetar.
“OH. MY. GOD.” serunya. “Bun! Itu tuh plot film rom-com yang biasanya cuma ada di Netflix kategori unexpected love!!”
Embun hanya bisa terkekeh malu sambil memutar sedotan es kopinya. Aroma kopi dan vanila menguap tipis dari gelas, menenangkan sedikit gemuruh di dadanya.
Bia akhirnya ikut bicara, suaranya tenang seperti biasa, tapi mata jenakanya jelas penuh rasa ingin tahu. “Terus… orangnya bales?”
Embun mengangguk kecil. “Bales. Dan suaranya itu, gimana ya…” ia menatap ke meja sambil menahan malu. “…seksinya tuh bukan yang dibuat-buat. Kayak… nyantai tapi dalem. Pertama dia bilang gini: ‘Aku nggak pernah ikut audisi Indonesian Idol.’”
Bia menahan tawa.
Lona langsung menjerit kecil sambil memeluk dirinya sendiri. “ANJIR! DIA LUCU BANGET! Bun, itu jenis humor yang bikin hati gue meleleh!”
Embun mengusap wajahnya. “La gue pas denger itu panik bukan main. Gue langsung minta maaf, bilang salah kirim, pura-pura nggak kenal… pokoknya acting-nya total. Tapi dia malah jawab santai: ‘Tenang, aku udah komitmen buat amnesia selektif.’”
Lona mematung sepersekian detik sebelum langsung mengambil HP Embun tanpa izin, jemarinya lincah membuka detail chat dan menekan voice note yang semalam dikirim pria itu.
Suara bariton ringan terdengar. Hangat. Tenang. Sedikit serak. Sedikit playful.
Lona langsung menutup mulut sambil terlompat kecil. “ANJIRRR… SUARANYA SEKSIII banget, Bun,” katanya terlalu keras hingga beberapa orang menoleh.
Embun buru-buru menutup mulut Lona. “SSSTTT! Lo mau gue mati malu di kafe ini?!”
Bia yang sejak tadi menahan diri akhirnya tertawa pelan. Tawanya pelan tapi tulus—jenis tawa yang hanya keluar saat ia benar-benar terhibur.
“Lucu juga, ya,” katanya lembut. “Tapi… lo beneran nggak penasaran dia siapa?”
Embun menggigit sedotannya seperti anak kecil memikirkan PR. “Kepo. Banget. Tapi gue takut. Gue bahkan nggak tahu nama aslinya siapa. Nomornya nggak gue simpan… gue keburu malu duluan.”
Lona mendengkus dramatis, seolah mendengar sesuatu yang amat tidak masuk akal. “Mbun, ini tuh tanda-tanda semesta lagi ngelempar plot twist ke hidup lo,” katanya sambil menunjuk Embun dengan sedotan kosong seperti menunjuk terdakwa. “Percaya deh… cowok itu potensial bikin lo move on.”
“Move on dari siapa?” tanya Bia datar, tapi senyum kecilnya memancarkan godaan klasik seorang sahabat.
“Dari SI MANTAN ITU,” jawab Lona cepat. “yang bikin Mbun trauma cinta lima tahun lalu dan bikin hidupnya kayak jalan lurus tanpa tikungan.”
Embun menatap keluar jendela. Sinar lampu kota mulai memantul di kaca, menari halus di pandangan matanya. Ada sesuatu yang lembut namun belum terdefinisi di sana—campuran takut dan harap yang muncul bersamaan.
“Gue nggak tau, Lon…” suara Embun mengecil. “Kadang gue masih takut buka hati lagi. Tapi anehnya, cowok itu… cuma dari salah nomor aja… tapi bisa bikin gue deg-degan lagi.”
Kata-katanya menggantung di udara, larut dalam musik jazz lembut yang mengalun dari speaker.
Untuk pertama kalinya sore itu, Lona tidak bercanda. Ia mencondongkan tubuh, memandang Embun dengan serius. “Bun, hidup lo terlalu lurus. Sekali-kali… biarin semesta ngacak nomor lo.”
Bia melirik ke mereka berdua dan tersenyum—senyum kecil yang hangat, tulus, dan jarang muncul. “Kadang jodoh datang dari hal yang nggak pernah kita rencanakan.”
Lona mengangguk cepat. “Kayak… salah ketik satu digit nomor. Mungkin Tuhan lagi iseng pas nyamain kode area lo sama dia.”
Embun tertawa kecil—tawa yang pertama kali terdengar benar-benar ringan. Ia mengangkat gelas kopinya. “Kalau gitu… gue minum dulu buat menenangkan diri sebelum hidup gue resmi berubah jadi sinetron digital.”
Ketiganya tertawa bersamaan, suara mereka menyatu dengan suasana hangat kafe itu—dan untuk sesaat, Embun merasa ringan. Lebih ringan dari beberapa tahun terakhir.
**
Malam itu, langit tampak lembut. Jakarta baru saja diguyur hujan, menyisakan aroma tanah basah yang bercampur wangi sabun cuci tangan dari kafe yang masih menempel di jemari Embun. Dia baru sampai rumah, menyalakan lampu kamar, lalu menjatuhkan tubuhnya ke kasur single kesayangan.
Kaus putih yang dipakainya sudah agak kusut, dan rambutnya berantakan akibat helm. Tapi bibirnya masih menyimpan sisa senyum dari obrolan kafe barusan.
“Kayaknya Lona bener deh, semesta lagi iseng banget sama hidup gue,” gumamnya sambil membuka ponsel.
Notifikasi dari aplikasi dating muncul di layar. Ada pesan baru — bukan dari Ari atau Dion, tapi dari nomor yang belum dikasih nama.
Nomor si “salah kirim”. Embun menggigit bibir, sedikit ragu, tapi jempolnya tetap membuka pesan itu.
Mr. Don't Know : Jadi... salah kirim lagi atau ini upaya pendekatan terselubung?
Embun menatap layar beberapa detik, sebelum akhirnya tertawa kecil. “Gila, nih orang timing-nya selalu pas.”
Dia membalas.
Embun: Tenang, kali ini bukan salah kirim. Tapi jangan GR juga, ya.
Balasan datang cepat.
Mr. Don't Know: Syukurlah. Gue udah siap kalau semesta mau lembur, tapi kasihan malaikat catatan kerjaannya dobel.
Embun terkekeh, menutup wajah dengan bantal. Chat dengan pria ini terasa… beda.
Entah kenapa, ringan, tapi hangat. Kayak ngobrol di warung kopi pinggir jalan tanpa harus peduli muka siapa di seberang.
Embun: Lo sarkas banget, tapi sopan. Aneh juga.
Mr. Don't Know : Ya minimal sopan. Gue kan bukan SPG kartu kredit.
Embun spontan tertawa lepas. “Astaga… dia ini siapa sih?”
Di sisi lain layar, percakapan dengan dua match lain sejak siang tadi terasa basi. Dion cuma balas pesan terakhirnya dengan emotikon 👍. Ari? Sejak tukeran nomor, malah makin jarang muncul — pesannya pendek-pendek dan formal, kayak lagi interview.
Embun mendesah kecil, lalu kembali mengetik ke si nomor misterius itu.
Embun: Gue jadi penasaran, lo kerja di mana sih? Soalnya gaya ngomong lo kayak orang yang tiap hari debat sama dunia.
Mr. Don't Know : Gue kerja di tempat yang bikin orang susah tidur.
Embun: Kedengerannya kayak dukun insomnia.
Mr. Don't Know : Nggak jauh-jauh lah.
Embun menatap layar ponselnya lama, tersenyum tanpa sadar. Suasana kamarnya hanya diterangi lampu meja kecil, dan dari luar, terdengar suara jangkrik samar.
Tiba-tiba pintu kamar diketuk pelan. Suara lembut tapi tegas menyusul dari luar. “Embun? Mama boleh masuk?”
Embun langsung duduk tegak. “Masuk, Ma.”
Mama Raina melangkah masuk sambil membawa segelas susu hangat. Wajahnya lembut, tapi matanya jeli — seperti biasa. Begitu melihat putrinya tersenyum ke layar ponsel, alisnya langsung naik.
“Kamu kok senyum-senyum kayak habis dapet THR?”
Embun menutup ponsel cepat-cepat. “Bukan THR, Ma. Tapi mungkin… Tanda Harapan Rapuh.”
Mama Raina mengerutkan dahi, lalu tertawa kecil sambil menggeleng. “Kamu ini makin lama makin aneh. Tapi gapapa, asal jangan rapuhnya kebablasan.”
Embun tersenyum, menerima gelas susu itu. “Siap, Ma.”
Setelah ibunya keluar, Embun kembali menatap layar. Chat terakhir dari si pria misterius masih belum dibalas. Dia mengetik pelan.
Embun: Eh, by the way… gue baru sadar, kita udah chat banyak tapi belum tahu nama masing-masing.
Titik-titik pengetikan muncul di layar. Lalu balasan datang:
Mr. Don't Know : Mungkin itu bagian paling menariknya.
Embun terdiam sebentar, lalu tersenyum kecil, ia memutuskan menyudahi chatan itu untuk hari ini. Sedangkan saat ini, ada sesuatu yang hangat di dadanya — bukan deg-degan yang heboh, tapi tenang. Aneh dan Nyaman.
Dia meletakkan ponsel di meja samping kasur dan berbisik pelan sebelum menutup mata, “Ari sama Doni aja belum bikin deg-degan, kok yang salah nomor malah bisa bikin jantung aku jumpalitan gini sih!”
**
tbc