NovelToon NovelToon
Senandung Hening Di Lembah Bintang

Senandung Hening Di Lembah Bintang

Status: sedang berlangsung
Genre:Wanita Karir / Romansa Fantasi
Popularitas:321
Nilai: 5
Nama Author:

Berada di titik jenuh nya dalam pekerjaan Kania memutuskan resign dari pekerjaan dan menetap ke sebuah desa. Di mana di desa tersebut ada rumah peninggalan sang Kakek yang sudah lama Kania tinggalkan. Di desa tersebutlah Kania merasakan kedamaian dan ketenangan hati. Dan di desa itu jugalah, Kania bertemu dengan seorang, Bara.

16

Pagi ini, Kania sudah siap dengan pakaian larinya. Ia keluar rumah dan melihat Bara sudah menunggunya. Bara juga sudah siap dengan pakaian larinya, membawa dua botol air—satu untuknya, satu untuk Kania.

Bara tersenyum hangat. “Pagi, Kani. Hari ini ijinkan aku menemanimu lari pagi. Aku harus memastikan kamu tidak lari keluar jalur.”

Kania tertawa. “Aku tidak melarikan diri lagi, karena sudah di stempel basah oleh seseorang.”

Kania melangkah lebih dulu, kemudian bara mengikuti. Mereka mulai berlari bersama. Bara yang lebih terbiasa dengan jalur perbukitan, berlari dengan kecepatan stabil. Kania, meskipun biasa lari, sedikit kesulitan saat menemui tanjakan.

Kania terengah-engah berkata. “Tanjakan ini…selalu terasa lebih berat daripada yang kuingat.!”

Bara berlari santai di samping Kania. “Tanjakan ini adalah cerminan hidup kita, Kani. Berat di awal, tapi pemandangannya di atas sangat setimpal.”

Saat Kania mulai melambat di pertengahan tanjakan, Bara tidak menyuruhnya cepat. Ia justru melakukan hal yang sama; memberikan dukungan yang dibutuhkan.

Bara mengulurkan tangan ke belakang Kania. Kania menyambut tangan Bara. Bara tidak menariknya, tetapi membiarkan tangannya menjadi penopang yang stabil. Mereka melanjutkan lari, bergandengan tangan, menaklukan tanjakan itu bersama-sama.

Sesampainya di puncak bukit, di antara pohon kopi tua, mereka berhenti. Kania menarik napas lega.

“Terima kasih. Aku tidak akan sampai ke sini secepat itu tanpamu.”

Bara menyerahkan botol air ke Kania. “Aku akan selalu bersamamu, melewati segala macam kesulitan yang akan kita temui di depan nantinya.”

Kania tersenyum. “Terima kasih, mas.”

Bara kemudian memeluk Kania dari belakang, menikmati pemandangan kabut pagi yang menyelimuti kebun kopi.

“Lihat, Kani. Pemandangan dari sini selalu terlihat indah. Sekarang, ayo kita lari lagi. Kita harus segera kembali, aku harus membuka kedai..dan mungkin..Radit akan datang lagi.”

Kania tertawa lebar. “Jangan sebut nama Radit lagi, mas. Aku masih malu.”

Mereka berdua tertawa dan mulai berlari lagi menuruni bukit. Lari pagi itu bukan hanya rutinitas fisik, melainkan konfirmasi bahwa mereka sudah menemukan ritme mereka.

Bara dan Kania berjalan santai memasuki halaman rumah Kania. Keduanya tampak segar, meskipun berkeringat. Bara memegang tangan Kania, tidak ingin melepaskannya.

Kania mengambil napas dalam-dalam. “Udaranya bersih sekali ya, mas. Rasanya lari pagi kali ini jauh lebih baik daripada kemarin-marin. Kenapa ya, mas?”

Bara tersenyum, mencium punggung tangan Kania. “Karena ada mas yang menemani”

Kania tersenyum sambil membuka pintu rumahnya. Kania ingin segera mandi dan memulai hari dengan semangat baru. “Aku gerah, mau mandi dulu, mas. Lalu melanjutkan kerjaan yang sempat tertunda.” Terang Kania.

Bara tahu Kania juga harus menyelesaikan pekerjaannya. Bara tidak mencoba untuk menahan Kania lebih lama lagi. “Baiklah. Aku akan segera ke kedai kopi. Mungkin meminum kopi sambil memikirkanmu.”

Tepat sebelum Kania masuk, Bara menahannya. Menatap Kania dengan intens. “Kani, nanti malam kita kencan ya. Aku akan menjemputmu tepat saat bintang paling terang muncul. Jangan lupa, pakai pakaian yang membuatmu merasa paling cantik.”

Kania tertawa. “Ini ajakan kencan pertama darimu. Baiklah, Tuan Bara. Aku akan berdandan dan memakai pakaian yang paling cantik yang kubawa dari kota.”

Bara mendekat, memeluk Kania erat-erat. Pelukan ini terasa berbeda—penuh kepastian, tanpa ada kecemasan berarti. Bara kemudian berbisik pelan. “Sampai nanti, ya.” Bara kemudian mencium Kania dengan cepat di bibir.

“Aku sudah tidak sabar lagi menanti malam tiba.” Ucap Kania malu.

Kania masuk kerumahnya dengan hati yang bahagia. Bara berdiri di depan pintu beberapa saat, tersenyum lebar. Ia kemudian berbalik dan kembali ke kedai, siap menghadapi sisa hari sebelum nanti malam pergi berkencan dengan Kania.

Malam hari hampir tiba. Kania sudah berdiri di depan lemarinya yang terbuka, yang berisi pakaian yang dibawanya dari kota. Kania terlihat sibuk memilih baju yang terlihat cantik dan pas untuk kencan bersama Bara. Ada 3 pakaian yang dipilihnya dari beberapa pakaian yang layak untuk dipakai kencan.

Pertama ada dress maxi berbunga. Melihat pantulan nya di cermin. “Ini terlalu feminim. Terlalu tipis dan tidak cocok untuk kencan yang entah Bara akan membawaku kemana”

Kedua gaun rajut berwarna terracotta, yang panjangnya sampai mata kaki. Tebal, bisa menahan udara malam yang dingin. “Kurasa ini cocok.”

Pilihan terakhir. Sweater cashmere lembut dan celana khaki. “Ini juga oke sih”

Bingung menentukan pilihan, Kania mengambil ponselnya dan mengirim ketiga foto opsi pakaian tersebut ke Dini.

Kania

“Dini! Butuh bantuan, mana yang paling bagus?”

Balasan langsung di terima Kania.

Dini

“Semuanya bagus, mbak, kelihatan cantik sekali. Memang mbak Kania mau kemana sih?”

Kania

“Kencan”

‘’Please kasih masukan, aku bingung, mau pilih yang mana?”

Dini

“Gaun rajut, tapi pakai sweater foto yang ketiga. Pasti mbak Kania terlihat mempesona.”

Kania

“Thanks, Din.”

Sudah di tetapkan, Kania akan memakai gaun rajut berwarna terracotta dan sweater berbahan cashmere. Masih di depan cermin Kania menyanggul rambutnya sedikit ke atas, membuat lehernya terlihat jenjang. Ia memakai riasan tipis dan memakai pewarna bibir.

Kania kini sudah siap. Kania hanya tinggal menunggu Bara datang menjemputnya.

Bara tiba di rumah Kania. Bara memakai kemeja lengan panjang berwarna putih bersih yang digulung sebatas siku. Untuk bawahannya, Bara memakai celana chino berwarna navy. Dan membawa jaket denim gelap yang disampirkan di bahunya, dan memakai jam tangan kulit sederhana.

Kania ternyata sudah menunggu Bara di teras, mengenakan gaun rajut sederhana yang membuatnya tampak bersinar di bawah cahaya lampu teras.

Bara terpukau melihat tampilan Kania. “Kamu sangat cantik sekali, Kani! Beruntung sekali aku bisa berkencan dengan wanita secantik dirimu.”

Pipi Kania bertambah merah karena tersipu malu. “Kamu juga terlihat tampan, mas. Terlihat berbeda, seperti bukan mas Bara yang kukenal.”

“Karena ini kencan pertama kita, ayo, Kani.”

Bara membawa Kania bukan ke kedai, melainkan ke jalur setapak tersembunyi, menanjak ke arah bukit yang lebih tinggi dari kebun kopi. Tempat itu adalah puncak kecil yang ditumbuhi rerumputan, dengan pemandangan langsung ke langit malam yang luas dan desa di bawah.

“Woaahhh..Tempat ini indah sekali, mas Bara! Kita belum pernah kesini ya?”

“Ini tempat kakek Tirta biasa melihat bintang. Dia bilang, dari sini, kamu bisa melihat seluruh kehidupanmu, dan menyusun rencana tanpa gangguan dari dunia. Dan dia benar.”

Bara membentangkan jaket denim nya di atas rumput. Mereka berdua duduk berdekatan.

“Mas, saat aku melihatmu dan mbak Laras, aku berpikir, aku tidak akan pernah bisa menjadi bagian dari duniamu.”

Bara lalu memegang tangan Kania. “Kani, aku tidak bisa melepaskan Laras sepenuhnya. Dalam artian, dia tetap temanku, aku, Radit, dan Laras, sudah tumbuh bersama dari kecil di desa ini. Aku tidak bisa melepaskan mereka, seperti aku tidak bisa melepaskan desa ini. Tapi, yang perlu kamu tahu, Kani. Aku hanya mencintaimu. Kamu adalah masa depan yang kuimpikan.”

Kania tersentuh dengan perkataan Bara, dalam hati, dia percaya pada keteguhan hati Bara, karena memilihnya. Di atas mereka, bimasakti terlihat jelas, memancarkan cahaya luar biasa.

“Mas, aku janji tidak akan membiarkan pertemananmu dan mbak Laras menjadi alasan keraguanku.”

Bara tersenyum. “Aku juga berjanji, akan selalu menjadi tangan yang menopangmu, baik di saat di tanjakan lari, maupun di tanjakan masa depan kita nanti. Kita tidak akan lagi menjadi dua orang yang terpisah.”

Bara mengeluarkan sebuah benda kecil dari sakunya—bukan cincin, melainkan liontin perak berbentuk biji kopi yang sederhana.

“Ini sebagai tanda, Kani. Tanda bahwa hatiku, dan hidupku, sudah kuserahkan padamu. Maukah kamu menerimanya?”

Air mata Kania mengalir. Ia mengangguk. “Ya mas, aku mau.” Bisik Kania. Bara lalu memasangkan liontin itu di leher Kania.

Bara kemudian menarik Kania mendekat dirinya. Di bawah taburan bintang, dengan pemandangan rumah-rumah desa yang damai di bawah, mereka berbagi ciuman panjang dan lembut. Kencan itu berakhir dengan Bara dan Kania pulang bergandengan tangan, siap untuk memulai babak baru di kehidupan mereka.

1
Yuri/Yuriko
Aku merasa terseret ke dalam cerita ini, tak bisa berhenti membaca.
My little Kibo: Terima kasih kak sudah menikmati cerita ini 🙏
total 1 replies
Starling04
Membuatku terhanyut.
My little Kibo: Terima kasih kak 🙏
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!