NovelToon NovelToon
Antara Air Dan Api

Antara Air Dan Api

Status: sedang berlangsung
Genre:Spiritual / Fantasi / Kultivasi Modern / Evolusi dan Mutasi / Cinta Beda Dunia / Pusaka Ajaib
Popularitas:200
Nilai: 5
Nama Author: Ahmad Syihab

novel fiksi yang menceritakan kehidupan air dan api yang tidak pernah bersatu

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ahmad Syihab, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bayangan yang Tertinggal

Langit malam telah sepenuhnya turun ketika mereka tiba di pos peristirahatan darurat yang dibangun di atas puing-puing bekas gedung penelitian. Cahaya lampu portabel memancar redup, menggantung rendah, menyorot wajah-wajah lelah yang mencoba tetap waspada.

Arel duduk bersandar pada dinding beton yang setengah runtuh. Tubuhnya masih menanggung efek perjalanan kembali dari dimensi gelap. Setiap kali ia memejamkan mata, serpihan hitam seakan berputar di belakang kelopak matanya, menyembulkan bisik-bisik samar yang membuatnya sulit bernapas.

Liora duduk di sampingnya sambil memeriksa perban di bahunya sendiri, yang kini sudah berganti dengan yang lebih bersih. Sementara Kael, seperti biasa, berkutat dengan perangkat yang ia rakit dari sisa-sisa peralatan laboratorium. Suara denting halus dari logam yang disentuh alat kecil di tangannya menjadi satu-satunya ritme yang mengisi keheningan.

Namun Arel tidak benar-benar mendengar apa pun. Pikiran itu masih terus mengulang satu hal:

Suara ayahnya.

Suara yang ia kira sudah hilang sejak bertahun-tahun lalu.

“Arel,” panggil Liora lembut, memecahkan lamunannya. “Bagaimana kepalamu?”

Arel menggeleng pelan. “Masih berdengung… tapi aku bisa mengatasinya.”

“Kau memaksakan diri lagi,” jawab Liora dengan helaan napas. “Dimensi itu nyaris menelanmu. Kau merasa pusing saja sudah untung.”

Arel tersenyum kecil, tapi tidak sepenuhnya tulus. “Aku pernah merasakan yang lebih buruk.”

“Tetap saja,” potong Liora, menatapnya tajam. “Kalau kau terus seperti ini, suatu hari kau benar-benar tidak akan kembali.”

Kael mendengus dari meja sementara yang ia susun dari dua peti. “Dan aku akan kehilangan satu-satunya orang yang bisa kuandalkan untuk bertarung dengan makhluk dimensi lain,” katanya dengan nada setengah bercanda namun jelas sungguh-sungguh.

Arel tidak membalas. Ia hanya menatap kedua rekannya itu dua orang yang hingga sekarang tetap bertahan di sisinya, meski dunia di sekitar mereka mulai runtuh oleh rahasia-rahasia lama.

Namun diamnya Arel membuat Liora semakin khawatir.

“Kau memikirkan sesuatu,” katanya.

Arel menunduk. “Aku mendengar suara.”

Liora langsung menegang. “Suara makhluk dari dalam?”

“Bukan,” jawab Arel cepat. “Sebelum retakan tertutup… aku mendengar suara ayahku.”

Kael menghentikan pekerjaannya. Liora langsung menatap Arel, raut wajahnya berubah antara terkejut dan khawatir.

“Ayahmu?” tanya Liora pelan. “Arel… kau tahu itu bisa jadi manipulasi dari entitas dalam dimensi itu.”

“Aku tahu,” Arel menatapnya lurus. “Tapi ini berbeda. Suara itu…” Ia menarik napas dalam, mencoba memilih kata yang tepat. “Itu suara yang sangat jernih. Dan ia memanggil namaku seperti… seperti ia tahu aku akan mendengarnya.”

Kael berdiri, menyilangkan tangan. “Kau pikir ayahmu terkoneksi ke dimensi gelap?”

“Dulu ia yang membuka jalurnya pertama kali,” jawab Arel lirih. “Dan tidak ada yang pernah menemukan tubuhnya.”

Keheningan kembali jatuh, kali ini lebih berat dari sebelumnya.

Liora menunduk, merenung. “Arel… kalau benar suaramu berasal darinya, berarti satu dari dua kemungkinan.” Ia menatapnya hati-hati. “Entah ayahmu masih hidup dan terperangkap di sana… atau…”

“…atau yang memanggilku itu bukan ayahku,” sambung Arel dengan suara pelan namun penuh tekanan. “Makhluk itu hanya meminjam suaranya.”

Kael berjalan mendekat. “Apa pun yang terjadi, kita tidak bisa mengambil risiko. Kita butuh data tambahan.”

Arel menolak. “Tidak. Kita harus mencari tahu. Jika ada kemungkinan bahwa ayahku.”

“Tidak.” Liora berdiri, menatap Arel tajam. “Kau baru kembali dari neraka itu. Kau nyaris mati. Dan sekarang kau ingin kembali hanya karena suara yang mungkin bukan suara ayahmu?”

“Liora…”

“Kau tahu aku peduli padamu, Arel. Tapi ini sudah melewati batas.”

Arel terdiam. Tidak ada kata-kata yang bisa ia keluarkan untuk membantah, karena sebagian dirinya tahu Liora benar. Tetapi sesuatu di dalam dirinya, sebuah dorongan yang sudah lama ia tekan, kini mendesak kuat.

Jika memang itu suara ayahnya…

Ia tidak bisa mengabaikannya.

Perasaan Liora terus memburu jawabannya, tetapi Kael justru menatap Arel dengan lebih objektif.

“Kalau begitu,” kata Kael akhirnya, “kita pastikan dulu satu hal: apakah retakan itu benar-benar tertutup sepenuhnya.”

Liora memutar kepala ke arah Kael. “Kau tidak serius.”

“Aku sangat serius,” jawab Kael tanpa menatapnya. “Jika retakan itu benar-benar tertutup, maka suara itu hanyalah manipulasi mental. Kita bisa mengesampingkannya dan memastikan Arel istirahat.”

“Dan jika tidak?” tanya Arel.

Kael menatapnya. “Kalau ada celah tersisa, sekecil apa pun… berarti kita harus menghadapi fakta bahwa ada sesuatu di balik dimensi itu yang mengincarmu.”

---

Beberapa jam kemudian, mereka bertiga berdiri kembali di lokasi retakan yang telah tertutup. Cahaya matahari pagi mulai memancar perlahan, membuat daerah itu tampak seperti hamparan lahan tandus yang kembali tenang.

Namun bagi Arel, tempat itu seperti luka yang belum sembuh.

Kael memasang alat pemindai yang ia modifikasi sepanjang malam. Cahaya hijau dari layar kecilnya berkelebat cepat.

Liora berdiri paling dekat dengan Arel, seolah bersiap melindunginya dari kemungkinan terburuk.

“Bagaimana?” tanya Arel.

Kael mengetuk layar beberapa kali. Lalu memicingkan mata. “Ada sesuatu.”

Liora langsung menegang. “Tidak mungkin. Batu inti itu menutup retakan sepenuhnya.”

“Secara fisik, iya.” Kael menunjuk grafik yang bergerak naik turun. “Tapi ada residu energi yang tidak wajar. Seperti… seseorang atau sesuatu mencoba mengirim sinyal dari sisi lain.”

Arel menahan napas. “Sinyal… berupa suara?”

“Bisa jadi,” jawab Kael serius. “Energi ini menempel pada gelombang mental. Sangat mirip dengan pola transmisi yang…” Ia berhenti, menatap Arel seolah takut menyelesaikan kalimat.

“Dulu dipakai ayahmu sebelum ia menghilang.”

Liora membeku. “Kael… jangan mulai.”

Tapi Arel sudah merasakannya. Getaran aneh itu. Sensasi dingin di belakang tengkuknya. Sebuah panggilan samar yang kembali mengetuk pikirannya, seperti tirai tipis yang berdesir tertiup angin.

Arel… dengarkan…

Ia meremas kepalanya. “Suara itu lagi.”

Liora langsung memegang bahunya. “Fokus padaku. Jangan dengarkan apa pun dari sana.”

Arel memejamkan mata, menahan getaran suara itu, tapi semakin ia menolak, semakin suara itu mendesak masuk.

Arel… ini ayahmu… dengarkan aku…

Tidak.

Tidak boleh.

Arel membuka mata, napasnya terengah. “Aku harus tahu apa yang sebenarnya terjadi.”

Liora menatapnya dengan emosi bercampur takut, marah, sedih. “Dan kalau suara itu jebakan? Kalau itu makhluk yang meminjam suara ayahmu untuk memancingmu kembali?”

Arel menatapnya. “Kalau memang ayahku masih hidup, aku tidak bisa diam.”

Liora memalingkan wajah, rahangnya mengeras. “Aku tahu kau akan mengatakan itu.”

Kael menutup alat pemindaian. “Aku punya satu cara untuk memverifikasinya. Tapi ini berbahaya.”

Arel menatapnya penuh harap. “Apa itu?”

Kael menunjuk ke alat berbentuk lingkaran berukuran kecil di tangannya perangkat yang belum pernah Arel lihat sebelumnya.

“Ini pengikat resonansi mental. Jika energi dari suara itu cocok dengan rekaman gelombang otak ayahmu yang tersisa di data lama… maka kita bisa memastikan apakah itu benar-benar dia.”

Arel merasakan jantungnya berdetak lebih cepat. “Kau punya rekaman itu?”

Kael mengangguk pelan. “Aku menyimpannya. Untuk berjaga-jaga.”

Liora mengusap wajahnya. “Ini gila…”

“Tapi ini satu-satunya cara,” kata Kael tegas.

Arel langsung mengulurkan tangan. “Lakukan.”

Kael menatapnya dengan keterikatan yang tidak biasanya muncul dari sosok yang sering terlihat sinis itu. “Sekali alat ini diaktifkan, suara itu akan menembus lebih jelas. Kalau itu makhluk gelap, ia bisa menyerang pikiranmu langsung.”

“Aku akan menahannya,” jawab Arel mantap.

Liora menatap Arel kosong, seperti menyerah pada keputusan yang ia tak nyaman menerimanya. “Baiklah,” bisiknya. “Tapi aku tetap di sini bersamamu.”

Arel menatapnya. Ada sesuatu yang ingin ia katakan, tapi kata-kata itu tertahan di tenggorokannya.

Kael menempatkan perangkat itu di pelipis Arel.

“Siap?”

Arel mengangguk.

Kael menekan tombol aktivasi.

---

Dunia Arel berubah seketika.

Suara-suara yang tadinya samar kini menjadi jelas seperti seseorang berbisik tepat di belakangnya. Ada gema, ada nada retak, tetapi ada juga kehangatan… kehangatan yang tak ia rasakan sejak ia kehilangan ayahnya.

Arel… putraku…

Arel terkejut. “Ayah?”

Liora mencengkeram lengan Arel. “Arel! Fokus!”

Namun Arel tak mampu. Air mata membasahi matanya begitu saja.

Suara itu terus berlanjut.

Kau harus berhati-hati… mereka mencarimu… aku mencoba menahan mereka… tapi waktuku hampir habis…

Kael menatap grafik yang melonjak tajam. “Energinya cocok! Polanya… 80% identik dengan gelombang otak ayahmu!”

Liora memekik. “Itu tidak mungkin!”

Arel… dengarkan ayah… ada sesuatu yang lebih besar dari retakan itu… sesuatu yang harus kau temukan sebelum mereka menemukanku…

Arel menggigit bibirnya sampai terasa logam darah. “Ayah… di mana kau…?”

Namun sebelum suara itu menjawab…

Suara lain muncul. Suara berat. Gelap. Berlapis.

SELESAIKAN. BANGUNKAN.

Tanah di sekitar mereka bergetar.

Perangkat pengikat resonansi Kael mengeluarkan bunyi mendesis keras. Grafiknya melonjak liar.

“Arel! Putuskan koneksinya!” teriak Kael.

Liora menggerakkan tangan untuk menarik perangkat itu, tetapi terlambat.

Suara ayah Arel berhenti mendadak.

Digantikan hanya oleh satu kata yang menggema dari kedalaman yang tak seharusnya berbicara pada dunia manusia.

BANGUNKAN DIA.

Energi meledak.

Perangkat Kael pecah.

Arel terjatuh ke tanah, napas tersengal.

Tanah di bawah bekas retakan mulai berpendar merah.

Kael mundur dengan ketakutan.

Liora meraih Arel, memeluknya. “Arel! Dengarkan aku! Kau sadar?”

Arel membuka mata perlahan.

Namun kali ini… ada sesuatu yang berbeda pada tatapannya.

Bukan karena ia tidak sadar.

Bukan karena ia terpengaruh dimensi gelap.

Tetapi karena kini ia menyadari sesuatu sesuatu yang jauh lebih berbahaya dari retakan itu sendiri.

“Ayahku…” bisiknya dengan suara gemetar.

“…ia masih hidup.”

Ia menatap Liora.

“…dan mereka sedang mencarinya.”

Di belakang mereka, tanah kembali bergetar.

Seperti sesuatu di bawah sana… sedang mencoba bangun.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!