Ini adalah kisah wanita bernama Ratih, yang pulang dari merantau tiga tahun yang lalu, dia berniat ingin memberi kejutan pada neneknya yang tinggal disana, namun tanpa dia ketahui desa itu adalah awal dari kisah yang akan merubah seluruh hidup nya
bagaimana kisah selanjutnya, ayok kita baca
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon pena biru123, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 16
Keheningan yang dingin, bukan dari goa alami, tetapi dari bekas keberadaan Sang Penguasa, menekan mereka. Api unggun kini tampak kecil dan ragu-ragu. Kael sudah hilang.
Wijaya segera berdiri tegak, membiarkan Aria membalut lukanya dengan cepat. Ia melirik Ratih, matanya penuh kekhawatiran.
"Kita tidak akan tidur," kata Wijaya, suaranya rendah dan serius. "Tidak setelah ini. Ratih benar, kita harus menyusun rencana. Tapi pertama-tama..." Ia menoleh ke Artefak Penjaga Geli. "Bolu, kau merasakan apa tadi? Jelaskan detailnya."
Bolu, yang tadi sempat merengek kedinginan, kini duduk tegak di bahu Dara, wajah beruang batunya tampak jauh dari kata lucu.
"Aku... aku tidak tahu," cicitnya, suaranya yang melengking kini bergetar. "Aku ini Artefak Geli! Aku seharusnya peka terhadap energi gelap tapi ini, aku malah kecolongan, hingga kita kehilangan keil! " Ia menggeleng. "Ini bukan gelap. Ini seperti energi yang lebih pekat, bahkan kekuatanku tak mampu mendeteksinya, Tidak ada kehangatan, tidak ada kehidupan, hanya... ruang hampa yang dingin. Itu adalah energi yang menghabiskan, bukan yang membakar."
Dara memeluk Bolu, memberikan kehangatan padanya. "Kalau begitu, dia bukan 'kekuatan kegelapan' yang biasa?" Beo dara.
"Dia adalah kebalikan dari Sang Penjaga, Dara," Ratih menjelaskan, menatap liontinnya yang masih berdenyut lemah. "Nenek bilang Penjaga menjaga kehangatan hidup. Penguasa ini..."
"Penguasa itu mengambilnya," Aria menyelesaikan, mencengkeram belati kembarnya. Jari-jarinya memutih karena tekanan. "Dia mengambil segalanya. Termasuk Kael." Ucap nya dengan wajah sedih dan purtasi.
Ratih mengangguk. "Dia menginginkan Api Merah. Tapi Kael... Kenapa dia mengambil Kael? Kael hanyalah bidak Sang Wadah."
"Mungkin untuk memancing kita?" usul Jaya, menggosok-gosok tangannya di dekat api. "Atau mungkin... Kael adalah kunci untuk sesuatu yang lain."
Tiba-tiba, Bolu meronta di pelukan Dara. "Tunggu! Suara! Aku mendengar suara!"
Semua orang didalam goa merasa tegang. Wijaya langsung menarik belatinya, posisinya siap bertarung.
"Aku tidak suka ini, Ratih," bisik Aria, matanya memindai kegelapan di luar gua. "Tidak ada lagi kabut. Dia mungkin ada di sini."
"Bukan suara dari luar!" seru Bolu, wajah batunya memerah karena mengerahkan energi. "Ini di dalam kepalaku! Dingin sekali... dia... dia memanggilku."
Ratih berlutut di hadapan Bolu. "Siapa yang memanggilmu, Bolu?"
"Bukan aku! Itu Kael! Dia... dia mengirimkan pesan!" Bolu bergetar. "Dia kedinginan, Ratih! Sangat dingin! Dan dia bilang..."
Bolu tiba-tiba diam, matanya melebar seperti kelereng kaca. Ia menunjuk ke suatu sudut gua yang gelap, di mana air menetes dari langit-langit.
"Dia bilang... dia ada di Lembah Bayangan yang yang bergema. Itu adalah nama tempat yang buruk, kan? Tapi dia bilang, kita harus cepat. Penguasa itu akan mengubahnya menjadi... sesuatu yang lain."
Pesan Kael, meskipun tidak jelas, memberikan mereka tujuan. Lembah Bayangan yang bergema.
Wijaya membuka tasnya dan mengeluarkan sebuah peta kulit tua, bergambar detail yang rumit, yang diturunkan dari generasi Pemburu.
"Lembah Bayangan yang bergema ," gumamnya, jari telunjuknya menyusuri simbol-simbol kuno. "Itu tempat yang berbahaya, Ratih. Cerita lama bilang, itu adalah tempat di mana makhluk kegelapan pergi untuk... bersembunyi. Atau untuk diubah menjadi yang terburuk. Itu di belakang Pegunungan Kaca, perjalanan empat hari dari sini."
"Empat hari terlalu lama," kata Ratih, hatinya mencelos. Dia menoleh ke Jaya. "Jaya, bisakah kita mempersingkatnya?"
Jaya, yang selama ini diam dan serius, menghela napas. "Dengan sihir navigasiku, mungkin dua hari. Tapi itu melewati Sarang Serigala Es. Kita akan masuk ke wilayah yang tidak kita kenal."
"Tidak ada waktu untuk khawatir," sela Aria, suaranya tegas. "Kael butuh kita. Aku akan ikut."
Dara memandang Aria, tersenyum kecil. "Aww, lihat. Sudah mulai bucin (budak cinta) ke Kael si kabut menyebalkan."
Aria tersentak. Wajahnya yang biasanya kaku memerah, dan dia menggerutu. "Aku hanya tidak ingin melihat siapa pun kembali menjadi boneka! Itu menyebalkan! Dan kael hanya teman ku, kami tak punya hubungan apapun, dan stop menggodaku dara"
Wijaya, meskipun situasinya tegang, terkekeh pelan. "Tenang, Aria. Kami hanya senang melihatmu bicara lebih dari tiga kata. Itu bagus untuk jiwamu."
Ratih tersenyum. Ikatan itu kembali. Walau dia telah Kehilangan neneknya, dan serangan Sang Penguasa, serta hilangnya Kael, semua itu hanya membuat mereka semakin dekat.
"Dara benar," kata Ratih, menatap Jaya dan Wijaya. "Kita akan bergerak. Tapi Dara, kau harus kembali."
Dara menggeleng kuat-kuat, rambutnya tergerai. "Tidak. Aku sudah bilang. Aku punya keluarga di sini sekarang. Dan Bolu—" Ia mencubit pipi batu Bolu. "—Bolu butuh aku untuk memeluknya agar dia tidak kedinginan. Lagipula, aku yang akan bawa makanan. Kalian mau makan apa di jalan?"
Ratih tersentuh. "Baiklah. Tapi kita harus sangat, sangat berhati-hati. Sang Penguasa sudah tahu di mana kita. Mulai sekarang, kita berburu tanpa jeda."
Mereka mulai mengemas, meninggalkan kelelahan mereka di belakang. Tiba-tiba, Bolu berteriak.
"Tunggu! Aku dengar lagi! Pesan Kael!"
Semua orang kembali tegang.
"Dia bilang... dia bilang... 'Jika kalian melihat laba-laba yang menari, kalian jangan mendekat, atau bersuara , atau dia akan tahu!'"
Semua orang saling pandang, bingung.
"Laba-laba menari?" ulang Jaya. "Lembah Bayangan yang bergema, semua sangat misterius"
"Itu mungkin jebakan," bisik Wijaya. "Sesuatu yang berhubungan dengan Kael."
Ratih mengangguk, jantungnya berdebar kencang. Itu adalah horor yang aneh, menakutkan, dan... Mengancam kita "
"Baiklah," kata Ratih, berdiri. Liontinnya berkobar, api birunya menyala kembali. "Dua hari perjalanan kita ke Lembah Bayangan yang bergema, Tidak ada yang boleh terpisah. Mari kita cari tahu apa yang ingin diubah oleh Sang Penguasa dari Kael."
Perjalanan Dimulai. Mereka keluar dari gua, berjalan menyusuri kegelapan hutan yang kini terasa lebih dingin dan sunyi.
Udara menjadi sangat dingin, meskipun tidak ada hujan. Setiap embusan napas mengeluarkan kabut tebal, yang menghilang secepat ia terbentuk. Rasa dingin ini menusuk tulang, dingin yang dibawa oleh Sang Penguasa.
Wijaya memimpin, mereka mengikuti navigasi Jaya. Mereka berjalan dalam keheningan yang tegang, hanya suara gesekan sepatu dan napas yang sesekali terdengar.
Saat malam tiba, mereka berhenti sejenak untuk istirahat singkat di bawah pohon tua yang besar.
"Dingin sekali," bisik Dara, menggigil, meskipun ia mengenakan jubah tebal.
Tiba-tiba, Jaya menunjuk ke atas, wajahnya pucat.
"Lihat!"
Di dahan pohon di atas mereka, ada sesuatu yang bergerak. Itu bukan laba-laba, tetapi sesuatu yang lain.
Itu adalah bayangan yang bergerak.
Bayangan itu membentuk-bentukan yang aneh, memilin dan berputar, seolah-olah bayangan itu memiliki kehidupannya sendiri. Bayangan itu menari-nari, membentuk siluet yang samar-samar, kemudian menghilang, hanya untuk muncul kembali dalam bentuk yang lebih mengganggu: siluet seorang wanita tua dengan mata melotot.
Ratih segera mengeluarkan liontinnya. "Bayangan Sang Penguasa!"
"Jangan lihat matanya!" seru Aria.
Bayangan wanita tua itu tiba-tiba mengulurkan tangan ke arah mereka. Mereka merasakan dorongan dingin yang tiba-tiba, seolah-olah jiwa mereka dicengkeram.
"Aku tahu kau datang, Api Merah," bisikan dari bayangan tersebut, "Aku akan menyiapkan sambutan yang hangat... atau lebih tepatnya, hingga kau akan lupa arah pulang ".
Bayangan itu mulai berputar semakin cepat, dan dari tarian itu, muncullah sesuatu yang lain. Sesuatu yang besar dan bertaring mata ya memerah. Ia mulai merangkak turun, mengeluarkan bunyi gesekan dari suara seperti dengkuran panjang, dan lolongan yang memekakkan.
"Kita harus lari!" teriak Wijaya, menarik Ratih.
Mereka berlari tanpa menoleh ke belakang, dinginnya bayangan menusuk punggung mereka.
"Bolu! Apakah itu laba-laba menari?!" Dara terengah-engah.
"TIDAK TAHU! ITU seperti monster darah" teriak bolu.
"Kenapa kau berteriak, Bolu?!" Ratih memaksakan diri.
"Aku hanya menjawab pertanyaan dara, dan aku juga refleks" sahutnya terengah-engah.
Mereka terus berlari, didorong oleh teror dan suara tawa yang aneh, sampai mereka mencapai celah sempit di antara bebatuan.
Mereka menyelinap masuk, dan Ratih segera menutup celah dengan perisai api birunya.
Saat mereka berhenti untuk mengatur napas, mereka menyadari bahwa mereka telah tersesat. Di depan mereka, bukannya bebatuan, ada kabut tebal yang dingin, berputar-putar.
" Tapi dibalik kabut itu, sesuatu yang menakjubkan menanti mereka. Permohonan buah-buahan yang membeku, dan salju yang turun hanya di wilayah itu, kabut didepan mereka seolah pembatas antara dua musim
" Ini adalah lembah para serigala berada, serigala putih " jelas bolu pada mereka yang kini tengah menatap takjub tempat itu.