Untuk menghindari perjodohan, mahasiswa populer bernama Juan menyewa Yuni, mahasiswi cerdas yang butuh uang, untuk menjadi pacar pura-puranya. Mereka membuat kontrak dengan aturan jelas, termasuk "dilarang baper". Namun, saat mereka terus berakting mesra di kampus dan di depan keluarga Juan, batas antara kepura-puraan dan perasaan nyata mulai kabur, memaksa mereka menghadapi cinta yang tidak ada dalam skenario.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon SineenArena, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 29: Vonis Akhir Oma
Bab 29: Vonis Akhir Oma
Pagi hari di Puncak.
Matahari bersinar terang, membakar sisa-sisa kabut semalam hingga tak berbekas.
Langit biru bersih tanpa awan, seolah-olah alam sedang merayakan berakhirnya drama di Vila Adhitama.
Atau mungkin, hanya memberi jeda sebelum badai berikutnya.
Koper-koper sudah berjejer rapi di teras depan, siap dimasukkan ke bagasi mobil oleh pelayan yang bekerja dalam diam.
Deretan mobil mewah di halaman depan mulai berkurang.
Om Pras dan Tante Lisa sudah pergi sejam lalu dengan Porsche kuning mereka.
Alasannya ada meeting golf mendadak dengan klien penting.
Tapi Yuni tahu, mereka cuma tidak mau terjebak macet.
Clarissa juga sudah pergi.
Subuh-subuh sekali.
Tanpa pamit pada Yuni.
Hanya meninggalkan lirikan tajam penuh dendam saat berpapasan di lorong sarapan tadi pagi.
Lirikan yang berjanji: Ini belum selesai.
Kini tinggal Juan, Yuni, Pak Adhitama, Bu Linda, dan Oma.
Berdiri di teras depan yang megah.
Di bawah naungan pilar-pilar putih raksasa.
Momen perpisahan.
Yuni merasa seperti terdakwa yang berdiri di depan mimbar hakim, menunggu palu diketuk.
Vonis bebas atau hukuman mati.
Dia sudah menanggalkan gaun malam mahalnya.
Kembali mengenakan "seragam" aslinya.
Celana jeans biru tua yang nyaman dan kemeja putih sederhana. Sepatu kets putih.
Kembali ke mode "Yuni si Mahasiswi Biasa".
Tapi rasanya berbeda.
Kulitnya terasa lebih tebal. Punggungnya lebih tegak.
Dia bukan lagi gadis yang gemetar saat masuk gerbang ini dua hari lalu.
Pak Adhitama mendekat.
Dia sudah rapi dengan setelan jas kerjanya, siap kembali memimpin imperium bisnis.
Dia menepuk bahu Juan keras.
Tepukan laki-laki. Solid.
"Proyekmu, selesaikan," katanya singkat.
"Jangan bikin malu nama belakangmu."
"Siap, Yah," jawab Juan tegas.
Lalu Pak Adhitama menoleh. Menatap Yuni.
Tatapannya masih berat, tapi tidak lagi menghimpit.
"Artikel itu," kata Pak Adhitama.
"Saya sudah suruh sekretaris saya riset lebih lanjut tentang krisis semikonduktor itu. Analisismu masuk akal. Strategis."
"Belajar lagi. Baca lagi."
"Jangan cuma baca puisi senja yang cengeng."
"Dunia butuh orang yang bisa melihat pola, bukan cuma yang bisa meratap."
Itu pujian.
Dalam bahasa Pak Adhitama yang kaku dan pelit apresiasi, itu adalah pujian tertinggi setara medali emas.
Yuni tersenyum tulus.
"Terima kasih, Om. Saya akan ingat."
Bu Linda melangkah maju.
Aroma parfum floral yang mahal menguar darinya.
Dia memeluk Yuni.
Kali ini, pelukannya sedikit lebih erat dari saat kedatangan.
Sedikit.
Ada kehangatan yang nyata di sana, bukan sekadar formalitas cipika-cipiki.
"Hati-hati di jalan, Sayang. Nanti Tante kirimin hampers cookies buat ibu kamu di kampung."
"Yang low sugar, khusus resep Tante."
"Titip salam ya. Bilang Tante Linda salut sama ibu kamu. Dia berhasil didik anak perempuan yang tangguh."
Yuni tersenyum sopan.
"Terima kasih, Tante. Ibu pasti senang."
(Dalam hati Yuni tahu, ibunya lebih butuh uang tunai daripada kue kering mahal, tapi niatnya yang dihitung).
Lalu, giliran Oma.
Bos Terakhir.
Oma duduk di kursi rotan di teras.
Seperti ratu di singgasananya.
Memegang tongkat eboninya dengan kedua tangan.
Matanya tertutup kacamata hitam besar, menyembunyikan ekspresinya yang tidak terbaca.
Juan dan Yuni mendekat.
Berdiri berdampingan di hadapan wanita tua itu.
"Oma, kami pamit," kata Juan.
Dia menunduk, mencium tangan keriput itu dengan takzim.
"Jaga kesehatan, Oma."
Oma mengangguk pelan.
Lalu dia menoleh ke arah Yuni.
Kepalanya miring sedikit. Menunggu.
Yuni maju selangkah.
Meraih tangan Oma. Mencium punggung tangannya.
Tangan itu dingin, tapi kering. Kulitnya tipis seperti kertas tua yang berharga.
Wangi minyak kayu putih dan melati.
"Yuni," panggil Oma.
Suaranya serak.
"Iya, Oma?"
Oma melepaskan tangannya.
Perlahan, dia membuka kacamata hitamnya.
Melipatnya.
Mata kelabunya yang tajam menatap lurus ke mata Yuni.
Tanpa penghalang.
"Sepuluh persen," kata Oma.
Yuni menahan napas.
Dia ingat percakapan di bukit kemarin pagi. Tentang peluangnya melawan Clarissa.
"Kamu ambil sepuluh persen itu."
"Dan kamu tambah jadi dua puluh."
"Mungkin tiga puluh."
Sudut bibir Oma berkedut. Sebuah senyum tipis yang langka.
"Kamu bukan bunga plastik yang cantik tapi kosong."
"Kamu bunga liar."
"Tumbuh di tanah keras. Berduri. Tahan banting. Susah mati."
"Keluarga ini butuh itu. Darah baru yang kuat."
Oma menunjuk Juan dengan dagunya.
"Jaga cucu saya."
"Dia manja. Dia keras kepala. Dia kadang bodoh."
"Tapi kalau dia sudah pilih satu, dia nggak akan lepas."
"Persis Kakeknya."
"Jangan kecewakan dia."
"Dan jangan kecewakan saya."
Itu restu.
Restu bersyarat. Restu yang berat.
Tapi tetap saja... restu.
Dari wanita paling sulit di keluarga Adhitama.
"Baik, Oma," bisik Yuni.
Matanya terasa panas. Ada air mata yang mendesak keluar, tapi dia menahannya.
"Saya akan ingat."
Oma mengibaskan tangannya. Mengusir.
"Sudah. Pergi sana."
"Jalanan macet kalau siang. Saya mau istirahat."
Oma memakai kacamata hitamnya lagi.
Menutup kembali akses ke perasaannya.
Juan dan Yuni mundur.
Berjalan menuju mobil coupe abu-abu yang sudah menunggu dengan mesin menyala.
Juan membukakan pintu untuk Yuni.
Menutupnya pelan. Blam.
Lalu dia memutar, masuk ke kursi pengemudi.
Juan menatap Yuni sejenak.
Ada kelegaan luar biasa di wajahnya.
"Siap pulang?"
Yuni mengangguk.
"Siap."
Juan menginjak gas.
Mobil melaju keluar dari gerbang besi raksasa yang terbuka otomatis.
Meninggalkan pelataran paving block yang mewah.
Meninggalkan Vila Adhitama yang megah di belakang.
Meninggalkan neraka indah itu.
Yuni melihat ke kaca spion samping.
Vila putih itu semakin kecil ditelan jarak dan pepohonan.
Oma masih duduk di teras.
Sendirian.
Diam seperti patung.
Seperti penjaga gerbang yang kesepian.
Yuni bersandar di jok kulit yang empuk.
Tubuhnya lemas seketika.
Adrenalinnya habis terkuras.
Seperti balon yang kempes.
"Kita berhasil," kata Juan pelan.
Suaranya penuh ketidakpercayaan.
Tangannya mencengkeram setir, buku-buku jarinya memutih.
"Oma suka kamu."
"Ayah terkesan sama kamu."
"Bahkan Mama mulai luluh dan kirim kue."
"Clarissa... well, dia kabur."
"Misi sukses besar. Di luar ekspektasi."
Yuni menatap jalanan Puncak yang berkelok.
Pohon-pohon pinus berlarian mundur di luar jendela.
"Iya," jawab Yuni.
Suaranya datar.
"Sukses."
Tapi anehnya, hatinya terasa kosong.
Sukses berarti selesai.
Sukses berarti kontrak ini berjalan lancar menuju titik akhir.
Tidak ada alasan untuk memperpanjang sandiwara.
Tidak ada alasan untuk bertahan lebih lama.
Dan akhir berarti... perpisahan.
Juan menyalakan radio mobil.
Lagu jazz instrumental mengalun lembut.
Lagu yang sama saat mereka berangkat dua hari lalu.
Tapi rasanya berbeda.
Dulu lagu itu terdengar asing, mewah, dan berjarak.
Sekarang, lagu itu terdengar... sedih. Melankolis.
Juan tidak menggandeng tangan Yuni di perjalanan pulang ini.
Tangannya tetap di setir.
Atau mungkin dia juga sedang bergulat dengan pikirannya sendiri.
Tentang pertanyaan yang dia bisikkan di lantai dansa tadi malam.
Gimana kalau ini bukan cuma pekerjaan?
Pertanyaan yang belum terjawab.
Pertanyaan yang menggantung di udara kabin mobil yang dingin.
Dan mungkin, tidak akan pernah berani mereka jawab.
Hingga kontrak ini selesai.