Cinta sejati terkadang membuat seseorang bodoh karena dibutakan akal sehat nya. Namun sebuah perkawinan yang suci selayaknya diperjuangkan jika suami memang pantas dipertahankan. Terlepas pernah melakukan kesalahan dan mengecewakan seorang istri.
Ikuti kisah novel ini dengan judul
ISTRI YANG DIPOLIGAMI
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Naim Nurbanah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 8
Umar baru saja sampai di rumah kontrakan Airin, langkah kakinya pelan namun jantungnya berdebar tak menentu. Di depan pintu, Nay sudah menunggu dengan wajah yang sulit ditebak. Matanya sesekali menyipit, bibirnya merengut tipis seperti menahan sesuatu. Umar mengerutkan alis, hati kecilnya mulai bergejolak.
“Kenapa Nay tampak seperti itu?” gumamnya dalam hati.
Mungkinkah dia sudah lama menunggu dan mulai kesal karena Umar terlambat? Atau malah khawatir akan sesuatu yang Umar sendiri belum tahu? Bayangan-bayangan buruk memenuhi pikirannya, terutama soal Citra, wanita yang sudah dijodohkan orang tuanya sejak lama.
Rasa takut menyeruak, membayangkan Nay cemburu buta atau merasa terancam kalau sampai tahu semua ini. Umar menelan ludah, tangannya sedikit gemetar saat berusaha menarik napas dalam-dalam dan menenangkan hatinya. Ia harus kuat, setidaknya untuk malam ini.
Umar menegakkan punggung, menarik napas dalam-dalam seolah mengumpulkan keberanian yang sempat meredup dalam hatinya. "
"Tidak, aku harus lebih percaya diri," pikirnya.
"Nay tahu aku mencintainya. Kita sudah melewati begitu banyak bersama. Kalau nanti dia tanya soal Citra, aku akan jujur, menjelaskan semuanya. Aku harus berjuang demi hubungan ini, apapun rintangannya."
Dengan langkah mantap, Umar melangkah menghampiri Nay yang sedang berdiri di depan pintu rumah Airin. Senyum tipis tergurat di bibirnya saat ia menatap Nay, lalu dengan lembut berkata,
“Nay, maaf sudah membuatmu menunggu lama.” Matanya mencari-cari tanda ampun di wajah Nay. Nay membalas dengan senyum canggung, berusaha menyembunyikan kegalauannya yang tersimpan rapat.
“Tidak apa-apa, Mas,” ujarnya pelan, nada suaranya sedikit bergetar.
Umar duduk di teras, memandang Nay yang sedang mengambil tas dan menutup pintu rumah kontrakan Airin. Di bawah pot bunga depan rumah itu, ia melihat kunci kecil yang sudah disembunyikan sesuai instruksi Airin. Sebuah kepercayaan kecil yang harus mereka jaga bersama. Di balik semua itu, tekad Umar menguat; ia tak akan membiarkan apapun memisahkan dirinya dan Nay.
"Kamu belum makan, kan, Nay?" Umar menatap Nay dengan senyum lembut, matanya penuh harap.
"Ayo, kita cari makan dulu, baru lanjut ke acara pengkaderan. Malam ini, setelah penutupan, aku ingin ajak kamu jalan-jalan keliling Jakarta. Besok pagi, aku antar kamu ke Semarang. Aku juga ingin sekalian bertemu Bapak dan Ibu."
Umar menarik napas dalam, wajahnya sedikit serius tapi tetap hangat. "Sejujurnya, aku ingin mereka tahu kalau aku benar-benar serius mau menikah sama kamu, Nay."
Nay terdiam, matanya menatap jauh ke depan, seolah mencoba membaca maksud di balik kata-kata itu. Hatinya dipenuhi tanya yang sulit dijawab. Apakah ini tulus? Apakah Umar memang layak dipercaya?
Setelah beberapa detik, Nay akhirnya membuka suara dengan lembut, "Tapi mas, kamu benar-benar serius mau kenalin aku ke orang tua kamu, ya?"
Umar mengangguk cepat tanpa ragu, senyumnya makin mengembang, seperti meyakinkan bahwa semuanya adalah kenyataan.
Umar menatap Nay dengan mata yang berbinar, suaranya penuh semangat saat berkata,
"Iya, Nay! Aku ingin mereka tahu aku sudah punya calon istri pilihan sendiri." Namun, kening Nay berkerut tanpa sadar. Ada getaran aneh di balik suara Umar yang membuat dadanya sesak.
Dalam hati, Nay bergumam, "Apa sebenarnya yang sedang dia tutupi?" Tatapannya tak lepas dari Umar, mencoba membaca maksud tersembunyi.
"Mungkin saja calon itu bukan dari pilihannya sendiri, tapi keputusan orang tuanya? Kenapa dia nggak bilang dari tadi?" Pikirnya makin bingung, perasaan penasaran dan curiga mulai merayapi pikirannya.
Tiba-tiba, Umar memecah keheningan, menepuk pundak Nay. "Ayo, jangan bengong terus! Kita cari makan dulu!" katanya sambil membuka pintu mobil. Nay mengikutinya, masuk ke dalam mobil yang sudah siap melaju.
"Soto Betawi favoritku, Nay. Kamu pasti suka. Rasanya pas banget di lidah,"
Umar mengalihkan topik sambil memegang setir, matanya sesekali melirik jalan dengan kecepatan yang santai. Di balik senyum Umar, Nay masih menyimpan tanya, menunggu waktu yang tepat untuk mengungkap kebenaran..
Setelah menghabiskan mangkuk soto Betawi, Umar mengajak Nay duduk di mobil sebelum melaju menuju pinggiran kota tempat pengkaderan berlangsung. Beberapa menit perjalanan membuat Nay menatap keluar jendela, wajahnya tenang tapi ada sedikit kebosanan yang bersembunyi di balik senyum tipisnya. Saat mereka sampai, pintu aula terbuka dan Adam, mahasiswa andalan dosen Umar, langsung melangkah keluar dengan wajah cerah.
"Selamat siang, Pak Umar. Siang, Bu Nay," sapa Adam ramah sambil mengulurkan tangan, matanya berbinar penuh semangat. Umar hanya mengangguk pelan, senyumnya nyaris tersembunyi di balik kumisnya yang tipis. Kontras dengan Adam, Nay cepat membalas dengan senyum hangat yang tulus.
"Nay, aku langsung ke dalam dulu, ya. Kamu bisa tunggu di sini," kata Umar cepat, matanya sudah tertuju pada pintu aula.
Tanpa menunggu balasan, pria itu melangkah masuk dengan langkah pasti, mempersiapkan diri untuk sesi materi berikutnya. Nay hanya mengangguk, duduk di bangku dekat pintu dengan tangan menyilang, sementara Adam tetap di sampingnya, setia menemani dengan senyum penuh semangat yang tak pernah surut.
Nay duduk santai di bangku taman kampus, sembari sesekali melempar senyum pada Adam, temannya yang juga mahasiswa sekaligus murid dosen Umar. Tiba-tiba, seorang wanita cantik dan anggun melangkah mendekat. Citra, mahasiswi kedokteran yang sebentar lagi akan menyandang gelar dokter, berdiri tepat di depan Nay dengan wajah serius. Matanya tajam menatap langsung ke wajah Nay, membuat jantungnya berdebar sedikit lebih kencang.
"Ada sesuatu yang harus aku bicarakan sama kamu, Nay," katanya pelan tapi tegas, seolah kata-katanya berat dan penting. Nay tak bisa menahan rasa penasarannya; entah mengapa, pembicaraan ini terasa seperti akan mengubah arah hidupnya.
Di kejauhan, terdengar suara dosen Umar yang sedang mengisi materi keorganisasian di aula. Meskipun materi sudah berjalan, perhatian Nay sulit beralih, apalagi setelah kehadiran Citra yang tampak serius itu. Adam pun menyadari perubahan di wajah Nay, menatapnya dengan pertanyaan tak terucap. Nay tahu, apa pun yang akan diungkap Citra takkan sekadar basa-basi biasa.
Dalam benak Nay, berbagai pertanyaan berkecamuk tanpa henti. Matanya berkedip cepat, mencoba menangkap setiap bayang kemungkinan.
"Apa ini soal organisasi? Atau ada masalah besar yang harus kami hadapi segera? Atau malah sesuatu yang berhubungan dengan hidupku sendiri?" pikir Nay sambil menghela napas pelan.
Ia menutup mata sejenak, berusaha menenangkan hati yang mulai bergejolak. Namun, di balik semua keraguan itu, ia memilih untuk fokus, membuka telinga dan hati agar bisa benar-benar mendengar apa yang hendak diucapkan Citra. Baginya, kedatangan Citra tak mungkin tanpa alasan kuat. Ini pasti penting, sesuatu yang berakar pada kepentingan bersama.
Nay menggenggam tangan di pangkuannya erat-erat, menyiapkan diri untuk menghadapi apapun yang akan datang, sebagai pribadi sekaligus bagian dari komunitas yang dia sayangi.
Sementara itu, Adam menatap tajam ke arah bola mata Nay, mencoba mengurai makna di balik sorot itu. Alisnya sedikit berkerut, tanda pikirannya sedang bekerja keras. Sebagai mahasiswa yang tak mudah melewatkan detail, ia merasa ada sesuatu yang tak beres di antara Citra, Nay, dan Umar. Hatinya berdebar tak karuan. Ada getar aneh yang seolah mengisyaratkan masalah serius, mungkin terkait sebuah cinta segitiga rumit yang tersembunyi di balik senyum dan diam mereka. Adam menggigit bibir bawah, mencoba memahami misteri yang mulai membayang di benaknya..
Adam menatap Citra dengan penuh tanda tanya. Wajahnya yang biasanya cerah kini terlihat membeku, seolah ada bayang-bayang ketidaksukaan yang sulit dia pahami.
"Kenapa Citra bisa sebegitu cemburunya?" batin Adam, dadanya berdebar aneh. Dia tahu desas-desus tentang Nay, si pacar dosen muda Umar, tapi hatinya belum bisa menerima itu begitu saja.
Adam mengerutkan kening, bayangan hubungan rumit yang selama ini tak pernah ia duga mulai memenuhi pikirannya.
"Apakah mungkin Umar juga menyimpan rasa pada Citra?" gumamnya lirih, mencoba melawan rasa ragu yang semakin menyesakkan.
Tangannya mengusap wajah, mencoba menenangkan gelisah yang menggerogoti.
"Semoga ini cuma salah paham, mereka cuma teman biasa," dia berbisik, suaranya nyaris tenggelam dalam keheningan.
Di tengah riuhnya kampus dan tumpukan tugas yang menanti, Adam merasa pikirannya bercabang-cabang, lelah mencoba menyusun potongan teka-teki yang terasa semakin rumit. Namun ada sesuatu yang mengganjal di hatinya, sebuah keresahan yang tak bisa ia abaikan, membuatnya terus menerus mencari jawaban yang mungkin tak segera datang..
"Adam menyunggingkan senyum sinis, matanya tajam mengamati gerak-gerik Nay dan Citra yang duduk berdua di depan aula. Mereka tampak serius berbincang, tubuhnya berdekatan tapi tak berani menatap lurus.
“Kalau tebakan gue benar... kasihan juga Bu Nay,” batin Adam, suara kecil di kepalanya mengusik. Ada getir yang menyelinap, campur aduk antara penasaran dan kepuasan tersembunyi.