NovelToon NovelToon
Lantai Tujuh Tidak Pernah Ada

Lantai Tujuh Tidak Pernah Ada

Status: sedang berlangsung
Genre:Horor / Misteri
Popularitas:386
Nilai: 5
Nama Author: Siti Nuraida

SMA Adhirana dikenal sebagai sekolah elit dengan reputasi sempurna — tapi di balik tembok megahnya, beredar satu rumor yang gak pernah dibahas secara terbuka: “Lantai Tujuh.”

Katanya, gedung utama sekolah itu cuma punya enam lantai. Tapi beberapa siswa bersumpah pernah menekan tombol “7” di lift... dan tiba di lantai yang tidak tercatat di denah mana pun.

Lantai itu selalu berubah-ubah. Kadang berupa ruang kelas kosong dengan bau darah, kadang koridor panjang penuh loker berkarat. Tapi yang pasti — siapa pun yang masuk ke lantai tujuh selalu kembali dengan ingatan yang terpotong, atau malah tidak kembali sama sekali.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Siti Nuraida, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 16 — Pertemuan Tengah Malam

Aula Utama SMA Adhirana adalah ruang yang megah, dirancang untuk upacara dan perayaan. Namun, di tengah malam, di bawah cahaya lampu darurat yang suram, aula itu terasa seperti panggung kosong yang menanti drama terakhir. Reina dan Naya melangkah masuk. Langit-langit tinggi memantulkan keheningan yang tebal.

Daren Kurniawan sudah menunggu.

Dia berdiri di tengah panggung kayu, di bawah lambang sekolah yang besar. Dia tidak mengenakan seragam, hanya kaus hitam dan celana jeans, membuatnya terlihat lebih rentan, lebih seperti remaja yang kelelahan daripada Ketua OSIS yang sempurna.

“Aku tahu kamu akan datang, Reina,” sapa Daren. Suaranya tidak lagi tenang, melainkan dipenuhi keputusasaan yang dingin. Ia menatap Reina, mengabaikan Naya.

Naya tetap berdiri di dekat pintu masuk, sebagai pengawas yang gemetar.

Reina berjalan maju, berhenti tepat di tepi panggung, jarak mereka sekitar sepuluh meter. Di tangannya, ia memegang hard disk ‘Mirror Room’ seperti perisai.

“Aku sudah melihat rekamannya, Daren,” kata Reina, suaranya mantap, memotong ketegangan. “Aku tahu tentang Project L7. Aku tahu tentang Rhea Wijaya.”

Daren menutup mata sejenak. Ketika dia membukanya, ada kepahitan yang jelas di matanya. “Rhea. Nama yang sudah lama tidak kudengar.”

“Kamu bilang kamu membunuhnya. Kamu bilang kamu mendorongnya. Itu bohong. Itu adalah ilusi rasa bersalah yang kamu buat untuk menghentikan Aksa!” tuduh Reina.

Daren tertawa kecil, tawa tanpa humor yang menyakitkan. “Bohong? Itu bukan bohong, Reina. Itu Kebenaran yang Diterima. Aku memang tidak mendorongnya hingga jatuh. Aku mendorongnya secara emosional. Aku mendorongnya masuk ke dalam kubah itu, aku nggak melarangnya. Aku cemburu. Aku ingin dia berhenti jadi yang terbaik. Rasa bersalahku lah yang membuat lantai itu punya bahan bakar untuk hidup.”

Reina menggeleng. “Kamu nggak salah. Rhea tenggelam dalam dosanya sendiri. Tapi itu bukan rahasia terbesar. Rahasia terbesarmu adalah Kamu dan Aksa bekerja sama untuk menahan Lantai Tujuh, dan kamu gagal.”

Daren terdiam. Ia menyadari Reina sudah melihat semuanya.

“Aksa bilang kamu kurban yang ia eksploitasi.

Jurnalnya bilang kamu pemicu karena kamu rentan. Tapi aku tahu sekarang. Kamu bukan kurban. Kamu adalah Pembangkit Listriknya,” Reina menuding. “Kamu menahan Lantai Tujuh dengan menekan semua rasa bersalahmu selama lima tahun, untuk mencegahnya menelan seluruh sekolah!”

“Itu benar,” Daren mengaku, suaranya pecah. “Setelah Rhea hilang di sana, Aksa menyadari kengerian yang ia ciptakan. Lantai Tujuh menjadi sadar—dia menyerap Rhea. Aksa mencoba menutupnya. Dia memasukkan kode stabilitas di Lift Pertama dan Lift Gedung Lama. Tapi kode itu butuh energi konstan.”

“Energi itu adalah rasa bersalahmu,” sambung Reina.

“Tepat. Aksa menjadikanku Penjaga Reputasi, karena dia tahu aku akan melakukan apa saja untuk menjaga citra sekolah, dan itu berarti menekan emosiku secara total. Setiap kali aku hampir mengakui rasa bersalahku, Lantai Tujuh bergetar. Dia akan mengambil jiwaku. Aksa mengorbankan dirinya dengan harapan pertukaran jiwanya bisa menutup Lantai Tujuh selamanya.”

“Tapi gagal,” kata Reina. “Lantai Tujuh mengambil jiwanya, tapi sistemnya masih berjalan. Dia mengambil Zio, menukar jiwanya dengan Zio yang lain.”

Daren menatap Reina dengan penyesalan yang mendalam. “Dan sekarang, dia ingin kamu. Karena kamu yang paling bersalah. Kamu yang membawa Zio. Kamu yang mengharapkan Aksa menghilang.”

Reina merasakan pengakuan dosa terbesarnya menusuknya kembali. Ia memegang jurnal Aksa di depan Daren.

“Aku tahu. Aku yang paling bersalah di sini. Tapi aku akan mengakhirinya. Aku adalah Exit yang Aksa siapkan. Aku akan mengakui dosaku di sana,” kata Reina, nadanya penuh tekad.

“Tidak, Reina. Dengarkan aku,” Daren melangkah turun dari panggung, mendekati Reina. Matanya memohon.

“Aksa salah. Dia membuat mesin waktu, dan dia juga membuat pintu keluar. Tapi dia tidak mengerti satu hal tentang Lantai Tujuh. Lantai itu menuntut lebih dari sekadar rasa bersalah.”

“Lalu apa?”

Daren menatap hard disk di tangan Reina. “Rekaman itu… apakah kamu melihat siapa yang benar-benar menciptakan Lantai Tujuh? Siapa yang merangkai kode dan void tersier itu?”

“Aksa dan Rhea.”

“Salah. Aksa membuat prototipe fisiknya. Tapi yang menulis kode kesadaran itu, yang menanamkan ide 'penebusan' ke dalam sistem, yang membuat Lantai Tujai menjadi cermin yang hidup—adalah Rhea.”

Daren menegaskan. “Rhea bukan korban. Dia adalah Pengendali Utama Lantai Tujuh. Dia memasukkan dirinya sendiri ke sana. Dia ingin menyingkirkan rasa bersalah semua orang di sekolah ini, dengan menyerapnya ke dalam dirinya sendiri. Tapi lantai itu malah menelan dirinya, menjadikannya 'suara' dan 'kesadaran' dimensi itu.”

Reina terdiam. Ini mengubah seluruh narasi. Rhea bukan kurban yang hilang. Rhea adalah pemimpin sekte yang mencoba membersihkan dosa.

“Dia ingin menjadi pahlawan. Dia ingin membersihkan kami semua. Dia ingin menyelamatkan kami dari tekanan perfeksionisme,” Daren berbisik. “Dan dia masih hidup di sana, Reina.”

“Apa maksudmu?”

“Rhea masih hidup di sana, menunggumu,” ulang Daren. “Dia ingin kamu masuk ke sana, bukan untuk menyelamatkan Aksa. Tapi untuk menggantikan tempatnya.”

Daren menunjuk ke Lantai Tujuh. “Lantai itu tidak bisa hidup tanpa administrator. Aksa adalah penahan sementara. Daren Kurniawan adalah baterai. Dan kamu, Reina Laksana, adalah Exit yang sempurna—karena rasa bersalahmu kepada Aksa adalah energi yang sangat murni. Rhea ingin kamu menggantikan posisinya sebagai kesadaran yang baru.”

Reina memundurkan langkah, ngeri. Rasa bersalahnya sendiri telah menjadi jebakan yang dipersiapkan oleh Aksa, dan kini dituntut oleh Rhea.

Ia melihat ke arah Naya, yang terlihat sangat ketakutan.

Reina menatap Daren. Kemarahan murni menguasai dirinya. Daren telah menyembunyikan kebenaran ini selama bertahun-tahun, membiarkan orang lain menderita.

Reina mengangkat tangannya dan menampar Daren sekuat tenaga. Suara tamparan itu menggema keras di aula yang kosong.

Daren tersentak. Dia memegang pipinya, tapi tidak menunjukkan perlawanan.

“Kamu pembohong! Kamu pengecut!” teriak Reina, air matanya bercampur dengan amarah.

Daren menurunkan tangannya dari pipi. Ia menatap Reina, tatapannya kini kosong dan dingin, seolah tamparan itu telah membebaskannya dari tekanan emosi.

“Aku tahu, Reina,” kata Daren pelan. “Tapi jika kamu ingin menyelamatkan Aksa dan Zio—dan Naya—kamu harus masuk ke sana, kamu harus mengakui dosamu, dan kamu harus mengalahkan Rhea. Karena Rhea masih hidup, dan dia tahu rahasia terbesar yang Aksa sembunyikan darimu.”

“Rahasia apa?”

“Rahasia bahwa Aksa tidak ingin kamu kembali.”

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!