Nolan seorang sarjana fisioterapi yg memiliki mimpi menjadi seperti ayahnya seorang dokter hebat yg berhasil menyelamatkan banyak nyawa.
Tetapi dalam prosesnya banyak masalah muncul hingga akhirnya Nolan kehilangan kedua orang tuanya dan harus berjuang bertahan hidup bersama adiknya.
Disaat situasi yg putus asa, orang yg tidak pernah terpikirkan olehnya datang dan memberi secercah harapan.
Sebuah jalan baru yg memungkinkan Nolan untuk mengubah kehidupannya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon PenjagaMalam, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 16 Tiga jalan yg saling berpotongan
Suara gemerisik angin malam Jakarta menghempas tubuh Nolan yg sedang duduk di depan klinik memikirkan situasi Karisa. Pikirannya kalut. Sudah hampir seminggu sejak Karisa tidak ada kabar, tidak ada jawaban, bahkan nomor pribadinya pun tidak aktif.
Tepat saat itu, sebuah mobil berhenti tepat di depan Klinik. Dinda dengan gaun malam yg indah turun, mendekati Nolan dan tanpa basa basi menyerahkan beberapa foto pada Nolan.
"Apa yg kulakukan pada mu sudah cukup untuk membuat mu menderita, aku tidak ingin ada wanita lain yg menyakiti hati mu seperti yg ku lakukan."
Nolan menatap kosong pada foto foto yg Dinda berikan padanya. Di sana terlihat foto Karisa sedang duduk di kafe bersama pria tampan, tersenyum manis lalu di akhir foto, Nolan melihat Karisa pergi bersama pria itu ke hotel bintang lima di pusat kota yg terkenal sebagai tempat pejabat pejabat menikmati malam mereka bersama artis artis terkenal.
Emosinya bergolak sesaat sebelum dia melepaskan semuanya, menghela nafas tak berdaya lalu berkata pada Dinda. "Terima kasih."
Dinda tersenyum. "Aku akan pergi ke luar negeri, memulai hidup baru jadi ini akan jadi terakhir kalinya kita bertemu."
"Semoga kamu mendapatkan kebahagian dengan hidup baru mu."
"Begitu juga dengan mu, Nolan."
Di Tempat Lain – Sebuah Gudang Tua
Langkah kaki Karisa terdengar menggema saat ia menyusup ke dalam sebuah gudang tua yang terletak tidak jauh dari markas lama keluarga Prasetyo. Elvin berjalan di belakangnya, matanya menyala lembut dengan sihir deteksi dari dunianya.
Karisa memeriksa peta yang sebelumnya dia akses secara diam-diam dari server rumah sakit. “Ini salah satu tempat distribusi obat keluarga Prasetyo… tapi catatan pengiriman dan persediaannya tidak sinkron.”
Elvin berjongkok, menyentuh lantai. Aura ungu pekat naik dari celah lantai seperti kabut.
“Energi ini… sangat mirip dengan apa yang menghancurkan desa di dunia asalku. Aryo tak hanya bermain dengan kekuatan terlarang, dia sudah melanggar batas dimensi.”
Karisa melirik Elvin. “Apa kekuatan ini bisa dikendalikan?”
Elvin tersenyum tipis. “Hanya oleh mereka yang rela mengorbankan segalanya… termasuk dirinya sendiri.”
Dengan satu hentakan tangan, Elvin mengaktifkan kekuatan sihirnya. Cahaya biru menyapu gudang, menampilkan simbol-simbol misterius yang tertulis di dinding dan siluet laboratorium bawah tanah tersembunyi.
Karisa menahan napas. “Kita harus masuk ke bawah.”
Elvin menatapnya dalam-dalam. “Tetap di belakang, sesuatu bisa saja terjadi."
“Jangan anggap aku wanita yang perlu diselamatkan. Aku di sini karena aku ingin,” jawab Karisa tajam.
Elvin terkekeh kecil. “Dan itulah alasan kenapa aku kagum padamu.”
Fasilitas Rahasia – Lorong Bawah Tanah
Langkah Karisa dan Elvin bergaung pelan saat mereka turun melalui tangga besi menuju ruang bawah tanah. Suhu di bawah menurun drastis. Bau besi dan darah memenuhi udara.
Mereka tiba di sebuah lorong bercahaya remang. Tabung-tabung reaktor berdiri kokoh di sepanjang dinding, berisi cairan gelap berputar perlahan.
Karisa melihat layar terminal yang menunjukkan nama-nama: Proyek X-41, Subjek Uji: H01–H12…
“Elvin…” bisik Karisa. “Ayahku bukan korban pertama.”
Elvin memeriksa salah satu tabung. Di dalamnya, sisa tubuh manusia yang sudah membusuk terombang-ambing dalam cairan hitam. Aura kematian begitu kental.
Dia menggertakkan gigi. “Aryo ingin menggunakan energi jahat ini untuk membangkitkan tubuh yg sudah mati, mengendalikannya untuk membuat pasukan mayat hidup.”
Mereka menyalakan kamera tersembunyi yang terhubung ke komputer di sisi lorong.
Rekaman muncul.
Aryo sedang berbicara kepada para teknisi.
“Kematian ayah Karisa adalah bukti bahwa energi X-41 bisa memutus ikatan emosional manusia. Target selanjutnya adalah sistem kepercayaan publik. Hancurkan reputasi Nolan, dan kita lihat bagaimana mereka bertahan tanpa pahlawan."
Wajah Karisa menegang. “Dia membunuh ayahku… hanya untuk menjatuhkan Nolan."
Lorong bawah tanah yang lembab dan bergetar itu tampak seperti nadi dunia yang berdetak dengan energi jahat. Karisa dan Elvin berdiri di hadapan terminal utama. Di belakang mereka, siluet-siluet tabung reaktor menyala pelan dengan warna ungu gelap yang membuat udara terasa semakin sesak.
“Data ini tidak hanya bukti, ini peringatan,” gumam Karisa, jarinya menari di atas keyboard, menyalin isi sistem ke dalam drive terenkripsi.
“Setidaknya kita bisa serahkan ini ke pemerintah. Mereka harus tahu bahwa teknologi dimensi ini bukan sekadar sains… ini kutukan,” tambah Elvin sambil menatap layar yang menunjukkan skema aktivasi celah dimensi.
Tiba-tiba, lampu berkedip. Sirene pelan mulai meraung.
“Dia tahu kita di sini,” desis Elvin, menarik Karisa untuk bersembunyi di balik dinding kontrol.
Dari arah lorong, langkah-langkah tergesa terdengar. Tiga teknisi dan dua penjaga muncul, namun Elvin hanya mengangkat tangannya dan gelombang energi biru menghantam udara, membuat mereka semua tak sadarkan diri.
“Cepat. Aryo pasti sudah tahu kita punya semua bukti ini.”
Markas Darurat Pemerintah – Jakarta
Karisa berdiri di depan meja pertemuan darurat, ditemani Elvin. Di hadapannya, para pejabat tinggi negara berpakaian rapi, tapi sorot mata mereka penuh kecemasan.
“Ini bukan hanya eksperimen ilegal,” kata Karisa sambil menyerahkan drive. “Ini pelanggaran terhadap hukum alam dan realitas. Aryo membuka celah dimensi—dan itu belum tertutup.”
Elvin mengangguk. “Dunia yang aku tinggalkan pernah hancur karena energi ini. Jika tidak segera dikendalikan, kalian akan melihat sesuatu yang bahkan senjata nuklir pun tidak mampu hadapi.”
Pimpinan tim keamanan nasional menatap layar, melihat rekaman yang menunjukkan struktur reaktor, eksperimen pada manusia hidup, hingga peta resonansi celah dimensi.
“Apakah celah itu sudah tertutup?” tanya salah satu pejabat.
Karisa menggeleng. “Selama Aryo tidak ditemukan maka dia bisa membuka celah kapanpun dia mau."
Di Sisi Lain – Gunung Terlarang
Di atas tebing curam, angin memutar debu seperti pusaran kematian. Di tengah lingkaran rune kuno, Aryo berdiri dengan tubuh penuh luka. Tangannya merentang ke langit, sementara pusaran energi X-41 mengoyak udara, menciptakan robekan mengerikan di langit malam.
“Dunia ini telah menyangkal ku. Maka aku akan membuka jalan bagi dunia yang lebih kuat dan lebih liar.”
Retakan dimensi terbuka penuh dan dari dalamnya, muncul sosok-sosok tak dikenal: tinggi, bersisik, dengan mata menyala hijau neon, memancarkan aura haus darah. Mereka bukan dari dunia mana pun yang dikenal.
“Selamat datang… kawan-kawan dari neraka.”
Minggu-Minggu Setelahnya…
Berita penyerangan laboratorium, pelarian ilmuwan kriminal Aryo Prasetyo, serta laporan resmi tentang “anomali dimensi” menjadi kabar panas media nasional. Namun semua dikemas sebagai kebocoran senjata eksperimental agar masyarakat tak panik.
Karisa, yang sebelumnya disanjung sebagai penyelamat, memilih untuk menghindari publik.
Suatu Sore, Di Depan Klinik Mahaputra
Karisa berdiri diam di gerbang besi hitam itu.
Rantainya berkarat. Lonceng kecil di pintu sudah tak berbunyi. Tak ada siapa pun di dalam.
Ia mendorong pintu dengan perlahan.
Hening.
Tidak ada meja resepsionis yang sibuk. Tidak ada pasien. Tidak ada aroma minyak esensial yang biasa menyambut.
Di meja utama, hanya tersisa setumpuk bingkai foto…
Satu per satu ia lihat: Nolan tersenyum saat peresmian klinik, Nolan bersama Nadia, Nolan mengobati anak kecil…
Dan di foto terakhir foto dirinya, duduk di kafe, tersenyum pada Elvin.
Karisa tertegun. Matanya mulai berkaca-kaca.
Di balik foto itu, ada catatan tangan Nolan:
"Jika semua ini membuatmu bahagia, aku akan pergi tanpa membuatmu memilih. Aku bukan siapa-siapa, hanya pria yang pernah berharap jadi bagian dari hidupmu."
— Nolan.
Karisa berlari ke ruang belakang. Namun semuanya sudah bersih. Tidak ada jejak barang pribadi. Semua sudah lama ditinggalkan.
Ia mencoba menelepon, menghubungi semua nomor Nolan dan Nadia. Tidak aktif. Email tak berbalas. Jejaring sosial diam.
“Dia… benar-benar pergi?” bisiknya, tubuhnya melemas, terduduk di lantai klinik yang kosong.
Beberapa Hari Kemudian – Apartemen Karisa
Elvin datang, membawa dua cangkir kopi hangat.
“Dia memang pergi,” ucap Elvin sambil duduk di samping Karisa.
Karisa tidak menjawab. Matanya memandangi foto masa lalu yang tersisa di mejanya.
“Aku ingin menjelaskan segalanya… tapi aku terlalu lambat.”
Elvin menghela napas. “Kamu tidak salah. Dalam peperangan melawan kegelapan, kadang kita kehilangan cahaya yang ingin kita jaga.”
Karisa menoleh, penuh rasa bersalah.
“Elvin, aku… merasa ini semua salahku.”
Namun Elvin menggeleng, menatapnya dengan tatapan hangat.
“Jika kamu mencintainya, maka doakan yg terbaik untuknya tapi jangan kejar dia. Dunia akan segera berubah dan aku tidak ingin kamu kehilangan segalanya hanya karena ingin menyusul seseorang yang memilih pergi.”
Karisa menunduk. Matanya mulai sembab.
Elvin memegang tangannya dengan lembut.
“Kita di sini sekarang, Karisa. Aku akan menjagamu… apa pun yang terjadi.”
Karisa menatap Elvin… namun di hatinya, nama Nolan masih tertulis walau perlahan mulai tertutup debu waktu.