Haisya, gadis cerdas berhati teguh, meraih beasiswa ke Negeri Fir'aun, namun hatinya telah terpaut cinta pertama dari pesantren. Di Inggris, ia bertemu seseorang yang awalnya membencinya karena perbedaan, namun berubah menjadi cinta mendalam. Kembali ke tanah air, Haisya dijodohkan. Betapa terkejutnya ia, lelaki itu adalah sosok yang diam-diam dicintainya. Kini, masa lalu kembali menghantuinya, menguji keteguhan hati dan imannya. Ikuti perjalanan Haisya menyingkap simpul-simpul takdir, dalam kisah tentang cinta, pengorbanan, dan kekuatan iman yang akan memikat hatimu hingga akhir.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Simun Elthaf, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Jejak Kekaguman dan Persahabatan
Tujuan Haisya mengubah penampilannya adalah agar ia terbebas dari segala bentuk godaan atau perhatian laki-laki. Ia ingin menjadi tak terlihat, fokus pada ilmunya, jauh dari silau kekaguman yang sia-sia. Namun, ironisnya, rencana Haisya tidak sesuai harapan. Justru dengan perubahan penampilannya, sebuah ketertarikan samar mulai tumbuh di hati Ridwan. Meskipun demikian, Ridwan tetap bersikap biasa kepada Haisya, tidak memperlihatkan sedikit pun gejolak di hatinya. Ia adalah pemuda yang sangat menjaga diri, memegang teguh batasan interaksi dengan lawan jenis.
Haisya, yang mengira tidak akan ada lagi laki-laki yang menyukainya dengan penampilan saat ini, merasa sedikit lebih percaya diri. Ia mulai berinteraksi secara santai dengan santri putra di kelasnya, mengobrol bahkan saling membantu dalam pelajaran. Baginya, mereka hanyalah teman sekelas, tak lebih.
Suatu hari, di tengah pelajaran nahwu, Ridwan berbisik pelan, "Haisya, pinjam penghapusnya dong." Permintaan itu sederhana, namun Haisya tahu maksudnya. Ia menggeser penghapus yang berada di depan mejanya ke arah Ridwan.
Haisya menghampiri Ridwan untuk memberikan penghapus tersebut. Tangannya terulur. Namun, Ridwan menggeleng pelan, menolak menerimanya langsung dari tangan Haisya. "Tolong taruh saja diatas meja," pintanya, matanya lurus ke depan.
"Oh, oke," Haisya sedikit terkejut, namun segera mengerti. Ia meletakkan penghapus itu di meja Ridwan.
"Makasih." "Sama-sama."
Dari insiden kecil itu, Haisya semakin memahami bahwa Ridwan adalah laki-laki yang teguh pendirian. Ia tak mau bersentuhan dengan lawan jenis, bahkan untuk hal sekecil apa pun. Ia hanya akan berinteraksi apabila ada suatu kepentingan yang mendesak. Dari sekian banyak teman perempuan di kelasnya, ia hanya tampak dekat dengan dua orang: Alvia dan Haisya.
Alvia adalah anak yang cerewet dan aktif, bagaikan api yang tak pernah padam. Ia selalu menjadi teman 'berantem' Ridwan dalam adu argumen. Ridwan, yang pada dasarnya pendiam, akan berubah menjadi cerewet dan ekspresif bila ia sedang bersama Via. Seringkali ia berbicara dengan nada tinggi ketika berdebat dengan Via, namun dari situlah mereka semakin dekat. Kedekatan yang, tanpa Ridwan sadari, telah menumbuhkan sebuah rasa dalam hati Alvia. Sebuah rasa yang kini mulai menyesakkan dadanya.
Namun sayangnya, Ridwan tak pernah menerima perasaan itu. Ada seseorang yang Ridwan kagumi, seorang gadis yang telah mengisi relung hatinya, sehingga ia tak bisa melihat gadis lain selain gadis itu—meskipun gadis yang menyukainya (seperti Alvia) jauh lebih cantik secara kasat mata. Bagi Ridwan, gadis impiannya itu memiliki sisi kecantikan tersendiri, sebuah keindahan yang tidak ia jumpai dalam diri gadis-gadis lain. Kecantikan yang jauh melampaui fisik.
"Assalamualaikum Wr. Wb. Selamat pagi anak-anak, bagaimana kabar kalian hari ini?" Suara Ustadz yang menenangkan memenuhi ruang kelas.
"Waalaikumsalam Wr. Wb. Alhamdulillah, baik, Tadz," jawab para santri serempak.
"Alhamdulillah, kita masih diberi kesempatan untuk bertemu kembali. Pelajaran apa kali ini?"
"Nahwu, Tadz." "Tayyib, materi kita dalam pelajaran nahwu kali ini adalah mengenai jumlah mufidah. Siapa yang tahu apa itu jumlah mufidah?"
"Saya, Tadz!" Ridwan mengangkat tangan. "Ya Ridwan, apa itu jumlah mufidah?"
"Jumlah mufidah adalah suatu susunan yang memberikan faedah/berfaedah yang terdiri dari 2 kata atau lebih."
"Contohnya?"
"Al-bustanu jamilun."
"Tayyib, ahsanta."
Ustadz melihat sekeliling. "Kenapa disebut jumlah mufidah, apakah sudah mufid?" Hening sejenak. "Tolong jangan Ridwan terus yang jawab, ayo ganti!"
"Haisya, Tadz!" Fasya berteriak, mengagetkan Haisya.
"Apaan, sih, Fas? Aku belum bisa," bisik Haisya.
"Halah, nggak usah pura-pura! Kamu pasti bisa, cuma pura-pura," balas Fasya.
Ustadz tersenyum. "Iya Haisya, coba jawab!"
Haisya menghela napas. "Kalau menurut saya itu sudah mufid, Tadz, karena kita sudah paham dan tahu maksud dari kalimat itu. Karena menurut artinya itu kebun yang indah, jadi kita tahu bahwasanya kebun itu indah." Jawabannya tegas, jelas.
"Kalau semisal di situ hanya ada Al-bustanu saja, apakah sudah mufid?"
"Belum."
"Bukankah disitu sudah jelas itu kebun?"
"Iya, tapi belum jelas kebunnya kenapa." Haisya menjawab tanpa ragu.
"Jadi yang namanya jumlah mufidah itu pasti terdiri dari mubtada' dan khobar. Al-bustanu itu sebagai mubtada', sedangkan jamilun sebagai khobar. Kalau hanya mubtada' tanpa adanya khobar-nya, maka itu belum disebut sebagai jumlah mufidah."
"Tadz, bagaimana dengan al-ustadzu fil fashli, khobar-nya al-fashl atau fiil fashli, Tadz?"
"Fiil fashli." "Tapi bukannya fii itu harf, Tadz?"
"Haisya, jadi gini, fiil fashli itu adalah susunan jar wa majrur. Jadi fii itu harf jar yang mengejerkan al-fashl sehingga menjadi majrur dalam alamatnya/tandanya adalah kasrah."
Kriiing!
Bel istirahat telah berbunyi, menyelamatkan Haisya dari pertanyaan lanjut. Ustadz keluar dari kelas diikuti sebagian besar santri, hanya beberapa anak saja yang tetap berada di dalam kelas.
Seperti biasa, kebiasaan santri putri di jam istirahat adalah ghibah—berkumpul dan saling bercerita. Namun, berbeda dengan Haisya yang lebih memilih untuk duduk tenang di bangkunya, menghafalkan Hadis-hadis Rasulullah SAW, membiarkan alunan ayat suci mengisi ruang hatinya.
Tak lama, Ridwan mendekati Haisya. Ia tidak langsung melontarkan pertanyaan serius, melainkan sedikit mencairkan suasana dengan obrolan-obrolan ringan, sesekali melempar senyum tipis. Beberapa pertanyaan Ridwan lontarkan kepada Haisya, dan setiap jawaban Haisya selalu berujung pada rasa kagum Ridwan. Kata-kata Haisya selalu bijak dan penuh makna, mencerminkan kedalaman pemikiran dan hatinya.
Ridwan merasakan sesuatu yang berbeda saat berada di dekat Haisya. Sebuah perasaan baru, yang tak bisa didefinisikan. Bukan sekadar kagum, bukan hanya ketertarikan; ada semacam ketenangan dan kecocokan yang aneh.
Haisya pun tak sungkan menceritakan tentang pergaulan anak remaja di luaran sana, termasuk dirinya di masa lalu. Ia juga menceritakan pengalamannya selama ia sekolah di sekolah negeri, kehidupannya yang amburadul, hingga pada akhirnya ia memutuskan untuk berhijrah dan belajar di pesantren. Begitu pula, Ridwan menceritakan pengalaman-pengalamannya di pondok-pondok sebelum akhirnya ke pondok ini. Ridwan benar-benar kagum dengan tekad Haisya untuk berhijrah yang begitu kuat, mengubah diri dari seorang Haisya yang amburadul hingga menjadi Haisya yang seperti sekarang. Itu bukanlah hal yang mudah, ia tahu.
Sejak saat itu, mereka menjadi teman dekat. Kedekatan mereka terjalin bukan karena romantisme, melainkan karena kesamaan pemikiran dan kedewasaan. Mereka seringkali meminta pendapat dan nasihat satu sama lain, karena keduanya merupakan sosok yang bijaksana dan berpikiran dewasa. Keduanya memang memiliki banyak kesamaan, baik dari sikap hingga kemampuan akademik mereka pun hampir serupa. Dilihat dari kedekatan mereka, rupanya mereka cocok, dan banyak santri yang mengira di antara keduanya ada suatu hubungan khusus.
Suatu hari, di tengah persiapan praktik IPA, suasana menjadi sedikit tegang. Zaki membawa sebuah meja yang berat. Ridho membawa alat praktik dan peraga laboratorium IPA, tumpukan barang yang harus mereka pindahkan dari lantai 4 ke lantai 2.
"Cewek juga bantuin dong!" protes Zaki, suaranya meninggi. "Iya tuh, malah duduk-duduk, bukannya bantuin, capek tahu!" Ridho dan Zaki yang mulai berkeringat mulai emosi dengan tingkah para santriwati yang hanya duduk santai menunggu.
Ridwan, yang melihat ketegangan itu, ikut bicara. "Sudah-sudah, yuk para cewek dan cowok bekerja sama memindahkan barang-barang ini, biar cepat selesai, dan kita cepat praktik," ia mencoba menengahi. Para santriwati pun berdiri dan mulai membantu para santri putra.
"Oke, para cewek tolong keluarkan barang-barangnya dan pindahkan sampai tangga, ya. Dan untuk para cowok, kita yang mengangkat barang-barang itu sampai ke depan lab, nanti kita bereskan bareng-bareng!" Ridwan mulai mengatur dan disetujui oleh semua siswa dengan kata "oke".
"Wan, ini!" Seorang gadis menyerahkan kotak-kotak tempat gelas praktik, dan Ridwan menerimanya dengan senyuman.
Gadis itu tampak sedikit gugup karena jaraknya yang begitu dekat dengan Ridwan. Entah mengapa, Haisya langsung melarikan diri setelah benda itu diterima oleh Ridwan. Ya, gadis itu adalah Haisya. Haisya lari karena terkejut. Tanpa sengaja, tangan mereka bersentuhan. Haisya merasa sangat bersalah atas sentuhan itu, padahal Ridwan tampak biasa-biasa saja, seolah tak ada yang terjadi.
Kali itu, Haisya dan Ridwan yang biasa selalu menjaga wudhunya, mereka berdua sama-sama tidak memiliki wudhu. Dan pada saat Haisya akan memindahkan sebuah Al-Qur'an, tiba-tiba ia teringat bahwa dia sudah batal wudhu. Ia tak ingin menyentuh Al-Qur'an dalam keadaan tidak suci. Kemudian ia menyuruh Fasya untuk mengambil Al-Qur'an tersebut.
Dan pada saat itu juga, Ridwan mendekati Haisya dan membisikkan sesuatu di telinganya. "Sha, maaf ya!"
Haisya menoleh. "Maaf karena tadi menyentuh tanganmu," lanjut Ridwan, merasa tidak enak.
"Iya, enggak apa-apa kok," jawab Haisya, meski hatinya masih sedikit berdebar.
"Sekali lagi maaf ya…" Ridwan masih merasa bersalah.
"Hmm…"
"Sha, kamu kok bisa sih menciptakan penemuan sehebat itu? Dapat ide dari mana?" Ridwan mengubah topik, penasaran dengan kemampuan Haisya yang baru terungkap.
Fasya yang baru datang kembali, langsung menyambung obrolan dengan antusias. Ia terus nyerocos di depan Haisya, tanpa memberi kesempatan Haisya untuk bicara.
"Sudah ngomongnya?" Haisya akhirnya memotong. Fasya hanya cengengesan.
"Nih, jadi aku bisa lakukan itu semua tuh karena aku sudah pernah belajar itu saat aku di SMP dulu. Dulu aku, kan, sekolah di sekolah negeri, jadi aku sudah sering praktik, jadi di sini aku tinggal mengembangkan saja."
"Iiiih, hebat kamu ya! Dikasih makan apa sih kamu sama ibumu? Bisa otaknya encer banget," Fasya berdecak kagum. "Nggak kayak aku, alat pipet takar aja nggak tahu, gimana mau melakukan percobaan, yang ada meledak kali tuh bahan kimia."
"Makanya kalau lagi diterangin jangan tidur…" Haisya menyindir Fasya. Fasya cuma memajukan bibirnya. "Haha, ha… Sudah, nggak usah manyun-manyun gitu bibirnya! Ke kantin aja yuk!" Haisya dan Fasya akhirnya pergi ke kantin.