Kirana Azzahra, dokter yang baru saja lulus program internship, menerima penempatan program Nusantara Bakti di pelosok Sumatera Barat. Ia ditugaskan di Puskesmas Talago Kapur, sebuah wilayah yang sulit dijangkau dengan kendaraan biasa, dikelilingi hutan, perbukitan kapur, dan masyarakat adat yang masih sangat kuat mempertahankan tradisinya.
Kirana datang dengan semangat tinggi, ingin mengabdikan ilmu dan idealismenya. Tapi semuanya tidak semudah yang dibayangkan. Ia harus menghadapi fasilitas kesehatan yang minim, pasien yang lebih percaya dukun, hingga rekan kerja pria yang sinis dan menganggap Kirana hanya "anak kota yang sok tahu".
Sampai suatu waktu, ia merasa penasaran dengan gedung tua peninggalan Belanda di belakang Puskesmas. Bersama dr. Raka Ardiansyah, Kepala Puskesmas yang dingin dan tegas, Kirana memulai petualangan mencari jejak seorang bidan Belanda; Anna Elisabeth Van Wijk yang menghilang puluhan tahun lalu.
Dapatkah Kirana dan Raka memecahkan misteri ini?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ichi Gusti, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
MENYUSURI JALAN
Fajar di pegunungan datang dengan cepat. Kabut tipis melayang di antara pepohonan, menyamarkan siluet prajurit yang sibuk mempersiapkan keberangkatan.
Kirana merapikan selendang wol di bahunya. Gulungan peta yang diterima dari Sutan Darwis diselipkannya jauh di dasar tas kulit, dibungkus beberapa lapis kain agar tidak lebih aman.
Sementara Raka memasang peti di punggung kudanya, lalu menoleh ke arah tenda pangeran.
Tak lama, Pangeran Leontes keluar, mengenakan mantel kulit berwarna hitam dengan bordir naga perak di bagian kerah. Sorot matanya terliha tajam namun tenang, seperti orang yang terbiasa memimpin pasukan sekaligus mengukur niat setiap orang di sekelilingnya.
“Perlihatkan jalur yang kalian temukan!” perintahnya pada Kirana dan Raka.
Kedua orang yang berasal dari masa depan itu pun mengangguk.
Setelah pasukan dan petugas logistik selesai berkemas, mereka pun akhirnya berangkat untuk melanjutkan perjalanan. Jalur itu menyusuri tepi sungai, lalu memanjat bukit berbatu yang rimbun dengan semak berduri.
Angin pagi membawa aroma tanah basah, tapi Kirana merasakan setiap langkah kuda membuat mereka semakin dekat dengan gua tempat ia dan Raka bersembunyi tadi malam.
Raka melirik Kirana. Tidak ada yang perlu dicemaskan. Toh mereka hanya beristirahat sambil mencari kebenaran dari peti yang sangat dijaga itu.
Ketika mereka tiba di lereng tempat gua tersembunyi, Leontes memberi isyarat berhenti. Ia turun dari kudanya, memandangi tebing dengan pandangan penuh hitung-hitungan.
“Tempat ini… seperti menyimpan sesuatu,” katanya pelan. “Bau tanahnya berbeda. Dan lihat, ada bekas api di sana.”
Jantung Kirana berdetak cepat. Ia tersenyum tipis. “Kami memang berhenti di sini semalam. Butuh tempat bersembunyi dari pengejar dan tempat berteduh dari angin gunung.”
Leontes berjalan mendekati mulut gua, tangannya menyentuh batu-batu di sekitarnya. “Pernahkah kalian dengar cerita tentang Pintu Timur?”
Raka mencoba menahan ekspresinya. “Pintu Timur? Belum pernah, Yang Mulia. Apakah itu sebuah mitos?”
“Kadang,” jawab Leontes sambil menatap dalam ke arah mereka, “mitos hanyalah kebenaran yang dikaburkan waktu.”
Raka terdiam, membasahi tenggorokan nya yang kering.
Pangeran Leontes melangkah masuk ke mulut gua, hanya beberapa langkah. Kirana segera menyalakan obor untuk menerangi, tetapi cahaya itu dengan sengaja diarahkan ke sisi gua yang kosong—mengaburkan area tempat mereka membuka peta yang ada di dalam peti.
Leontes mengangguk, seolah puas hanya dengan memeriksa sebentar. “Baik. Jalur ini cukup aman. Kita akan gunakan untuk melewati lereng timur.” Mereka pun keluar dari gua itu.
Pasukan Leontes melanjutkan perjalanan menuju Timur. Kirana menahan napas hingga jarak antara mereka dan gua itu cukup jauh.
Di tengah perjalanan menuruni lembah, Leontes menoleh dari kudanya dan berkata, “Kalian berdua… akan terus berada di sisi saya sampai ekspedisi ini selesai. Saya rasa kita punya tujuan yang sama, meski kalian belum mengatakannya.”
Kirana menatap punggung pangeran itu. Ia tak tahu apakah kalimat itu ancaman, peringatan… atau ajakan untuk bersekutu.
Tapi satu hal pasti—Leontes tahu lebih banyak daripada yang ia tunjukkan.
Dan di kejauhan, bayangan awan kembali membentuk siluet naga di punggung gunung, seolah mengingatkan bahwa waktu untuk menemukan Pintu Timur semakin menipis.
***
Tiga hari perjalanan dari pegunungan, udara mulai berubah. Angin dingin gunung berganti menjadi hembusan kering yang membawa aroma debu dan logam. Di hadapan mereka, terbentang lembah luas yang dipagari dinding batu merah menjulang. Di balik dinding itulah wilayah perbatasan timur dimulai—tanah yang dikuasai oleh suku-suku pengembara dan para pedagang lintas daratan.
Kirana menatap sekeliling. Ia belum pernah melihat langit sebersih ini. Matahari tampak lebih dekat, dan di kejauhan, sebuah menara batu berdiri sendiri di tengah dataran, seperti jarum yang menusuk cakrawala.
“Menara Api,” bisik salah satu prajurit di barisan belakang. “Tanda bahwa kita memasuki wilayah Suku Al-Khazar.”
Leontes mengangkat tangan, memberi isyarat berhenti. “Suku itu menguasai jalur masuk. Mereka menghormati perjanjian diplomatik, tapi hanya pada orang yang membawa tanda emas kerajaan. Kita akan masuk secara resmi.”
Raka merapatkan kudanya ke arah Kirana. “Kau lihat menara itu?”
Kirana mengangguk. “Ya. Dan aku yakin itu bukan hanya menara pengawas.”
Ketika rombongan mendekati gerbang kota, empat penunggang kuda keluar dari balik batu-batu besar. Mereka mengenakan baju zirah kulit, wajah tertutup kain hitam kecuali mata. Di tombak mereka, tergantung pita merah—tanda bahwa wilayah ini sedang berada dalam masa penjagaan ketat.
Salah satu dari mereka maju, berbicara dengan bahasa yang terdengar asing di telinga kebanyakan prajurit. Leontes menjawab dengan fasih, membuat Kirana menoleh heran. Pangeran itu ternyata menguasai bahasa setempat.
Setelah beberapa kalimat, pemimpin pengawal itu mengangguk dan memberi isyarat. Mereka diizinkan masuk.
Namun saat melewati gerbang batu, Kirana melihat sesuatu tak jauh dari menara—ukiran naga dengan mulut terbuka, dan di sisi lain menara, terpahat bentuk mahkota gunung.
Bayangan naga menyentuh mahkota gunung.
Kirana menahan diri untuk tidak menatap terlalu lama. Ia tahu Raka juga melihatnya dari sudut mata.
Malamnya, rombongan berkemah di oasis kecil di tengah gurun berbatu. Api unggun besar menyala, para prajurit beristirahat, dan musisi suku memainkan seruling panjang yang melengking rendah.
Leontes duduk di dekat api, memanggil Kirana. “Kau pernah mendengar legenda Menara Api?”
Kirana menggeleng.
“Dikatakan, menara itu dibangun di atas gua kuno yang menyimpan kunci timur. Tapi tidak ada yang bisa masuk, karena pintunya hanya terbuka pada satu waktu tertentu… saat bayangan naga jatuh tepat di puncak mahkota gunung di kejauhan.”
Kirana berpura-pura heran. “Terdengar seperti dongeng.”
Leontes tersenyum samar. “Mungkin. Tapi terkadang… dongeng adalah suatu petunjuk yang disamarkan.”
Tatapan mata mereka saling bertemu—sebuah pengakuan diam bahwa keduanya sedang bermain di medan yang sama, hanya saja masing-masing menyembunyikan niatnya.
***
Di tenda mereka malam itu, Kirana berbisik pada Raka.
“Itu artinya Pintu Timur ada di bawah menara.”
Raka mengangguk. “Dan kita harus menemukan cara masuk… sebelum Leontes melakukannya.”
Di luar, angin gurun berhembus, membawa butiran pasir yang berkilau seperti serpihan bintang. Tapi di balik keindahan itu, waktu mereka semakin singkat.
***