Aku ingin kebebasan.
Aku ingin hidup di atas keputusanku sendiri. Tapi semua itu lenyap, hancur… hanya karena satu malam yang tak pernah kusangka.
“Kamu akan menikah, Kia,” kata Kakek, dengan suara berat yang tak bisa dibantah. “Besok pagi. Dengan Ustadz Damar.”
Aku tertawa. Sebodoh itu kah lelucon keluarga ini? Tapi tak ada satu pun wajah yang ikut tertawa. Bahkan Mamiku, wanita modern yang biasanya jadi pembelaku, hanya menunduk pasrah.
“Dia putra Kiyai Hisyam,” lanjut Kakek.
“Lulusan Kairo. Anak muda yang bersih namanya. Cermin yang tepat untuk membasuh aib keluargamu.”
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon fania Mikaila AzZahrah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab. 16
Satu per satu tepuk tangan terdengar, dimulai dari sisi kanan ruangan rapat hingga merambat ke seluruh penjuru. Beberapa karyawan tampak saling menatap sambil mengangguk pelan, kagum dengan cara Damar menyampaikan pesan. Tenang, tertata, ringan tapi menembus.
“Masya Allah, Ustadz Damar... saya pikir Bapak cuma guru ngaji biasa di pesantren. Ternyata pemikirannya luas dan strategis,” ucap salah satu dewan direksi, Pak Guntur, sambil berdiri memberikan tepuk tangan kedua.
“Iya betul. Tadi saya kira kultumnya bakal berat dan penuh istilah syar’i, eh malah nyambung banget sama dunia kerja,” sahut Bu Lila, direktur operasional, matanya berkaca-kaca. “Kita kayak lagi diingetin tapi nggak digurui.”
Kia duduk membelakangi arah cahaya, sinar matahari menerpa sebagian wajahnya yang menegang. Dalam diam, ia memandangi Damar dari sudut matanya. Ada sesuatu di dada yang terasa hangat, aneh, tidak biasa. Suaranya ingin menyela, tapi ia telan.
“Pak Damar,” ujar satu lagi, Pak Bambang dari divisi legal. “Kalau Bapak berkenan, kami ingin jadwalkan sesi pembinaan rutin tiap Jumat siang. Bukan kultum aja, tapi sekaligus pembekalan moral untuk leadership.”
Damar tersenyum sopan, ia menunduk hormat. “Insya Allah, selama waktunya tidak mengganggu tugas utama saya sebagai guru, saya bersedia. Selama masih menjadi suami dari CEO kita juga,” katanya sambil melirik ke arah Kia, membuat seisi ruangan tertawa pelan.
Kia gelagapan. “Eh... jangan percaya dia mentang-mentang suami gue. Dia tuh cuma modal suara adem, dikit-dikit nasihat!” serunya setengah malu, berusaha mencairkan suasana. Tapi bibirnya tak bisa sembunyikan senyum bangga yang perlahan merekah.
Di luar ruangan, sekretaris pribadi Kia menatap kagum. “Baru kali ini CEO-nya kalah gaya,” bisiknya ke asisten pribadi lainnya.
Damar berdiri, merapikan map yang tak pernah ia buka. Dalam hati, ia tahu Allah menuntunnya ke sini bukan sekadar jadi imam salat atau suami pendiam. Tapi menjadi cahaya di tempat yang mungkin sudah terlalu lama dingin oleh angka dan ambisi.
Dan Kia wanita bar-bar itu entah kenapa jantung Damar mulai berdegup tidak biasa tiap kali mata mereka bertemu.
Suasana ruang rapat belum sepenuhnya hening, beberapa masih bergumam sambil membahas kultum yang barusan disampaikan.
Puji-pujian terhadap Damar belum juga mereda. Namun dari sudut meja, terdengar suara yang sengaja dilontarkan cukup lantang, meski nadanya tampak dibuat-buat santai.
“Gimana kalau nanti sore Ustadz Damar aja yang dampingin Bu Kia ketemu relasi bisnis dari Inggris?” ucap Arvino, manajer pemasaran senior. Nadanya terdengar halus, tapi raut wajahnya penuh maksud tersembunyi.
Beberapa kepala langsung menoleh. Ada yang saling pandang, ada yang menarik napas dalam. Kia yang semula duduk tenang, langsung menajamkan tatapannya ke arah sumber suara.
“Relasinya dari Inggris, ya?” ulang Kia pelan, matanya menyipit.
“Iya, tamunya CEO salah satu jaringan perbankan syariah global. Bahasannya juga berat, soal ekspansi dan investasi,” imbuh Arvino, masih dengan nada berpura-pura netral.
Damar tak langsung merespons. Ia hanya menunduk tipis, seperti biasa. Tapi pandangannya tetap tenang, tak terganggu sedikit pun. Seakan ia sudah terbiasa menjadi sasaran sindiran halus.
“Apa maksud kamu ngomong kayak gitu?” tanya Kia pelan, tapi tajam.
“Lho, saya cuma nyaranin. Siapa tau beliau bisa bantu, kan ustadz kita ini lulusan Kairo, pasti paham juga bahasa Arab dan mungkin bisa jadi nilai plus, gitu,” katanya sambil terkekeh kecil, mencoba mencairkan suasana yang mulai mengeras.
Damar menoleh pelan. Tatapannya teduh, tak ada sedikit pun rasa tersinggung.
“Saya hanya guru biasa, Pak. Kalau memang dibutuhkan, saya siap. Tapi kalau tidak layak, saya lebih nyaman duduk di ruang kecil saya, ngajarin anak-anak tahsin,” ucap Damar lembut, tapi tegas.
Kia berdiri. Wajahnya tak menunjukkan senyum. Ia melangkah ke depan meja, menatap langsung ke arah Arvino.
“Next time, kalau kamu mau nyindir orang, jangan pakai bahasa sopan. Langsung aja, biar semua orang paham,” katanya datar, lalu menoleh ke dewan direksi yang sedari tadi diam.
“Untuk sore ini, saya sendiri yang akan ketemu klien. Dan Damar, sebagai suami saya, boleh duduk di sebelah saya, diam pun nggak masalah. Karena kehadirannya bikin saya tenang.”
Seketika ruangan hening. Beberapa langsung menunduk, sebagian lainnya justru tersenyum penuh simpati. Arvino tak lagi berkata apa-apa, hanya memainkan penanya gelisah.
Damar memandang Kia sekilas, kemudian kembali menunduk. Dalam hatinya, ia tahu dunia ini bukan tempat untuk membalas dengan amarah. Tapi dengan ketenangan yang membuat lawan bicara kehilangan alasan untuk merendahkan.
Mobil melaju di tengah senja Jakarta yang perlahan meredup. Sorot lampu jalan menyapu kaca jendela, membentuk bayangan-bayangan lembut di wajah Kia yang diam menatap ke luar.
Tak ada suara. Hanya deru halus mesin dan dentingan jam tangan Damar yang sesekali bersentuhan dengan logam pintu.
Kia melipat tangannya di dada, tubuhnya bersandar ke kursi kulit. Tapi bukan kenyamanan yang ia rasa, melainkan perasaan asing yang perlahan tumbuh di dada. Ada sesal, juga bingung.
“Barusan aku keterlaluan, ya?” gumamnya pelan, tak menoleh.
Damar yang sejak tadi menunduk membuka suara, masih dengan nada rendah. “Kamu nggak salah marah. Kamu cuma belum tahu cara nyimpan amarah biar nggak melukai diri sendiri.”
Kia diam. Tangannya meremas ujung blazer. Ia mengangguk kecil, masih menatap ke luar.
“Aku nggak suka liat kamu diperlakukan kayak tadi,” katanya pelan.
Damar menoleh sejenak. “Aku tahu.”
“Sakit hati, Mar. Tapi kayaknya lebih sakit pas lihat kamu diam seolah-olah emang pantas diperlakukan gitu.”
Damar tersenyum. Bukan senyum lega, tapi senyum yang seperti menyembunyikan ribuan luka yang sudah terlalu biasa. “Aku nggak diem karena lemah, Kia. Aku diam karena aku yakin harga diriku nggak turun cuma karena omongan mereka.”
Kia menoleh kali ini. Wajahnya terlihat letih, tapi ada kekaguman yang sulit disembunyikan. Ia menatap lelaki di sampingnya seperti baru pertama kali benar-benar melihatnya.
“Kamu selalu bikin aku mikir dua kali sebelum marah,” ucapnya lirih.
“Dan kamu selalu bikin aku belajar ngerasain hal yang selama ini aku anggap nggak penting,” jawab Damar dengan nada tulus.
Mereka saling menatap. Untuk pertama kalinya tanpa saling menghakimi, tanpa tuntutan. Hanya dua manusia yang sedang berusaha mengerti, meski masih tertatih.
Mobil berhenti di depan hotel tempat pertemuan berlangsung. Supir membuka pintu.
Damar turun lebih dulu, lalu memutar tubuh dan mengulurkan tangan. “Siap, CEO muda?”
Kia menatap tangan itu sejenak, lalu menggenggamnya. Jemarinya gemetar sedikit, tapi genggaman Damar menenangkan.
“Siap,” jawab Kia, lirih tapi mantap.
Mereka melangkah berdampingan masuk ke dalam, dengan diam yang tak lagi canggung. Ada sesuatu yang berubah. Pelan-pelan. Tapi pasti.
Ruang pertemuan itu megah. Lantai marmernya mengkilap, lampu gantung kristal menyala hangat, dan meja oval besar dipenuhi dokumen presentasi serta laptop terbuka. Beberapa tamu asing dari Inggris telah duduk rapi, menyambut Kia dengan senyum profesional.
Kia melangkah masuk bersama Damar. Di belakang mereka, Monika sang asisten pribadi, dan Evelyn si sekretaris yang sangat teliti, menatap sekeliling dengan pandangan siaga.
Semua tampak biasa. Sampai ketika diskusi mulai menghangat, dan salah satu tamu asing bertanya soal strategi distribusi berbasis data tren pasar Arab.
Kia baru membuka file di tabletnya. Tapi sebelum ia sempat berbicara, Damar yang duduk tenang di sampingnya, justru menoleh ke arah lawan bicaranya.
“Well, if we refer to the 2022 Islamic commerce report from MENA region,” ucap Damar dengan aksen Inggris yang nyaris sempurna.
Kia menoleh. Mata Evelyn membulat. Monika menutup mulutnya pelan, nyaris tersedak oleh kejutan.
Damar melanjutkan. Ia bukan sekadar menjawab. Ia memaparkan. Merinci. Menggunakan istilah teknis yang hanya biasa digunakan para konsultan senior.
Ia menjelaskan perbandingan grafik pertumbuhan ekonomi berbasis syariah, tren pasar halal di Afrika Utara, hingga kekuatan sentimen spiritual dalam membangun kepercayaan konsumen muslim modern.
“And this, in our strategic view, opens a very specific niche for your product to penetrate not just Indonesia, but Malaysia and the Gulf,” tutup Damar dengan tenang.
Ruangan hening sejenak. Lalu satu per satu para investor mengangguk kagum.
“That’s... impressively insightful,” ujar pria bule berambut abu-abu yang tadi pertama bertanya.
Kia belum berkata apa-apa. Ia masih menatap Damar, seolah ingin bertanya dalam diam: siapa kamu sebenarnya?
Monika berbisik ke Evelyn, “Dia ustadz, kan? Bukan konsultan ekonomi?”
Evelyn mengangguk cepat, wajahnya kaku, “Setauku dia alumni Kairo... tapi aku kira cuma ngajar, bukan kayak ya ampun, itu tadi luar biasa banget.”
Pertemuan berjalan lancar. Tak satu pun dari hadirin menyangka bahwa pria bersorban putih sederhana itu adalah kunci kesuksesan pembahasan siang itu. Kia yang tadinya sempat ragu membawa Damar, kini justru merasa kecil.
Ia menyandarkan punggung ke kursi, menatap layar tanpa benar-benar fokus. Dalam hatinya, ada rasa bangga yang ia sendiri tak mengerti datang dari mana.
Setelah pertemuan usai, Damar hanya tersenyum santai dan berkata lirih, “Aku nggak bermaksud menyaingi kamu, Kia. Aku cuma bantu.”
Kia menatap wajah itu. Bukan dengan marah, bukan heran lagi. Tapi dengan rasa yang nyaris menyerupai kagum. Dan ketertarikan yang tak bisa ia bantah.
“Bukannya tadi cuma baca bentar,” gumamnya Kia.
kia ni ustadz bukan kaleng" kia jdi ngk udah banyak drama 🤣🤣🤣🤣