NovelToon NovelToon
Cerita Horor (Nyata/Fiksi)

Cerita Horor (Nyata/Fiksi)

Status: sedang berlangsung
Genre:Horor / Misteri / Rumahhantu / Matabatin / Kutukan / Tumbal
Popularitas:1.1k
Nilai: 5
Nama Author: kriicers

Villa megah itu berdiri di tepi jurang, tersembunyi di balik hutan pinus. Konon, setiap malam Jumat, lampu-lampunya menyala sendiri, dan terdengar lantunan piano dari dalam ruang tamu yang terkunci rapat. Penduduk sekitar menyebutnya "Villa Tak Bertuan" karena siapa pun yang berani menginap semalam di sana, tidak akan pernah kembali dalam keadaan waras—jika kembali sama sekali.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon kriicers, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 11•

Judul: Penunggu Pintu Ketiga

Di sebuah desa terpencil di Riau, tersembunyi di antara rimbunnya pepohonan karet yang menjulang tinggi dan sungai Siak yang berkelok-kelok tenang, berdirilah sebuah rumah tua. Rumah itu, yang oleh penduduk setempat lebih sering disebut sebagai “rumah Wak Jampang,” telah lama menjadi buah bibir. Bukan karena kemegahannya, sebab cat dindingnya telah mengelupas dimakan usia dan atapnya di beberapa bagian tampak menyedihkan, melainkan karena cerita-cerita aneh yang menyelimutinya. Konon, di dalam rumah itu, tepatnya di balik pintu ketiga dari ujung lorong lantai atas, bersemayam sebuah entitas misterius.

Risa, seorang mahasiswi antropologi yang sedang melakukan penelitian tentang folklor lokal, tertarik dengan kisah rumah Wak Jampang. Meskipun banyak yang memperingatinya untuk menjauhi tempat itu, rasa ingin tahu Risa justru semakin membuncah. Ia merasa ada sesuatu yang hilang dalam catatan sejarah lisan desa itu, sebuah kebenaran yang tersembunyi di balik bisikan-bisikan ketakutan. Dengan berbekal kamera usang dan buku catatan tebal, Risa memberanikan diri mendatangi rumah Wak Jampang di suatu sore yang mendung.

Pintu gerbang kayu yang lapuk berderit keras saat Risa membukanya. Halaman rumah dipenuhi ilalang yang tumbuh tak terurus, memberikan kesan angker yang semakin kuat. Bangunan utama tampak lebih suram dari yang ia bayangkan. Pintu dan jendelanya tertutup rapat, seolah menyembunyikan rahasia kelam di dalamnya. Setelah mengetuk beberapa kali tanpa jawaban, Risa mencoba membuka salah satu jendela yang kacanya retak. Dengan sedikit paksaan, jendela itu akhirnya bergeser, menciptakan celah yang cukup untuk Risa menyelinap masuk.

Udara di dalam rumah terasa dingin dan pengap. Debu tebal menyelimuti setiap permukaan, dan aroma lembab bercampur bau kayu lapuk menusuk hidung. Risa menyalakan senternya, cahayanya menari-nari di dinding-dinding yang dipenuhi sarang laba-laba. Ia berjalan perlahan menyusuri lorong yang gelap, suara langkahnya sendiri menggema dalam keheningan yang mencekam.

Setelah beberapa saat, Risa menemukan tangga kayu yang tampak rapuh. Dengan hati-hati, ia menaikinya, setiap anak tangga berdecit seolah memberitahukan kedatangannya kepada penghuni lain. Di lantai atas, lorong tampak lebih panjang dan gelap. Risa menghitung pintu-pintu yang berjajar di sepanjang lorong. Pintu pertama, kedua… dan akhirnya ia menemukan pintu ketiga dari ujung. Pintu itu tampak sedikit berbeda dari pintu lainnya. Kayunya lebih gelap, dan ada goresan-goresan aneh yang membentuk pola yang tidak Risa pahami.

Dengan jantung berdebar kencang, Risa mengangkat tangannya dan mengetuk pintu itu perlahan. Tidak ada jawaban. Ia mengetuk sekali lagi, lebih keras. Tetap sunyi. Risa memberanikan diri memutar kenop pintu yang terasa dingin di tangannya. Anehnya, pintu itu tidak terkunci.

Perlahan, Risa mendorong pintu itu hingga terbuka. Cahaya senternya menyorot ke dalam ruangan. Ruangan itu kecil dan kosong. Hanya ada sebuah kursi kayu reyot di tengah ruangan dan jendela berkaca buram yang tertutup rapat. Tidak ada apa pun yang aneh. Risa menghela napas lega, merasa sedikit kecewa karena tidak menemukan apa-apa yang istimewa.

Saat Risa hendak berbalik keluar, matanya menangkap sesuatu di lantai. Di bawah kursi, tergeletak sebuah bukuDiary usang dengan sampul kulit berwarna cokelat. Risa mengambilnya dengan hati-hati dan membersihkan debu yang menempel. Di sampul depan, terukir inisial “W.J.”

Risa membuka diary itu. Tulisan tangan di dalamnya tampak tua dan sedikit sulit dibaca. Halaman-halaman awal berisi catatan sehari-hari Wak Jampang tentang pekerjaannya di kebun karet dan interaksinya dengan penduduk desa. Namun, semakin ke belakang, tulisan itu mulai berubah. Kata-katanya menjadi lebih aneh, penuh kegelisahan dan ketakutan. Wak Jampang mulai menulis tentang suara-suara aneh yang didengarnya di malam hari, tentang bayangan-bayangan yang bergerak sendiri, dan tentang perasaan diawasi oleh sesuatu yang tak terlihat.

Di salah satu halaman, Risa menemukan sebuah catatan yang membuatnya merinding: “Malam ini, lagi. Dia mengetuk dari balik pintu ketiga. Ketukannya semakin kuat, semakin mendesak. Aku takut… aku tidak tahu apa yang dia inginkan.”

Risa terus membaca, semakin tertarik dan sekaligus merasa ngeri. Wak Jampang tampaknya semakin tertekan oleh kehadiran entitas di balik pintu ketiga. Ia mencoba berbagai cara untuk menghindarinya, bahkan mencoba mengunci pintu itu, namun sia-sia. Di halaman terakhir diary, tertulis sebuah kalimat yang membuat bulu kuduk Risa berdiri: “Dia bilang, dia hanya ingin keluar. Dia bilang, dia adalah… aku.”

Tiba-tiba, angin dingin bertiup dari arah pintu, meskipun jendela ruangan tertutup rapat. Risa merasakan kehadiran yang kuat di ruangan itu, seolah ada sesuatu yang baru saja terbangun. Ia menoleh ke arah pintu dan melihat bayangan hitam yang bergerak perlahan di ambang pintu. Jantung Risa berdegup kencang, ia merasa ada yang tidak beres.

Dengan cepat, Risa bangkit berdiri dan hendak keluar dari ruangan itu. Namun, saat ia mencapai pintu, pintu itu tiba-tiba tertutup dengan keras, mengunci dirinya di dalam. Risa panik, mencoba membuka pintu itu kembali, namun percuma. Kenop pintu terasa dingin dan tidak bergerak.

Risa berbalik menghadap ke dalam ruangan. Bayangan hitam itu kini tampak lebih jelas, perlahan-lahan membentuk sosok yang samar. Risa bisa merasakan aura dingin dan jahat yang memancar dari sosok itu. Ia memeluk diary Wak Jampang erat-erat, merasa ketakutan yang belum pernah ia rasakan sebelumnya.

Tiba-tiba, sosok itu mulai berbicara. Suaranya serak dan bergema, seolah berasal dari kedalaman bumi. “Kau… telah membaca… tentangku…”

Risa tidak bisa menjawab, lidahnya terasa kelu. Ia hanya bisa menatap sosok itu dengan mata terbelalak.

“Kau tahu… bahwa aku… adalah dia…” lanjut sosok itu, sambil menunjuk ke arah diary yang dipegang Risa.

Perlahan, sosok itu mulai mendekat. Risa mundur perlahan, tubuhnya gemetar ketakutan. Ia tidak tahu apa yang harus dilakukannya. Tiba-tiba, ia teringat akan sesuatu yang tertulis di salah satu halaman diary Wak Jampang. Wak Jampang pernah menulis tentang sebuah jimat yang disembunyikannya di suatu tempat di rumah itu, jimat yang konon bisa menangkal roh jahat.

Dengan sekuat tenaga, Risa berlari menuju kursi kayu di tengah ruangan dan merobek kain pelapisnya yang sudah lapuk. Di bawahnya, ia menemukan sebuah bungkusan kecil yang terbuat dari kain merah. Dengan tangan gemetar, Risa membukanya. Di dalamnya terdapat sebuah batu akik berwarna hitam legam.

Saat Risa menggenggam batu akik itu, ia merasakan energi aneh mengalir melalui tubuhnya. Sosok hitam itu berhenti bergerak, tampak terkejut. Risa mengangkat batu akik itu tinggi-tinggi.

“Pergi!” teriak Risa dengan suara bergetar namun penuh keyakinan.

Seketika, cahaya terang memancar dari batu akik itu, menyilaukan mata. Sosok hitam itu menjerit kesakitan dan perlahan-lahan menghilang, lenyap ditelan cahaya. Bersamaan dengan itu, pintu ruangan terbuka dengan sendirinya.

Risa terengah-engah, masih menggenggam erat batu akik di tangannya. Ia merasakan kelegaan yang luar biasa. Namun, ada satu pertanyaan yang masih mengganjal di benaknya. Apa maksud Wak Jampang dengan kalimat terakhir di diarynya: “Dia bilang, dia adalah… aku”?

Risa keluar dari ruangan itu dan berjalan kembali menuruni tangga, meninggalkan rumah Wak Jampang yang kini terasa lebih sunyi dari sebelumnya. Saat ia berada di luar gerbang, ia menoleh ke belakang untuk terakhir kalinya. Rumah tua itu tampak seperti siluet gelap di bawah langit senja yang mulai menggelap.

Sesampainya di desa, Risa menemui salah seorang tetua kampung yang dikenal arif dan bijaksana. Ia menceritakan semua yang dialaminya di rumah Wak Jampang dan menunjukkan diary yang ditemukannya. Sang tetua mendengarkan dengan seksama, wajahnya tampak semakin serius seiring dengan cerita Risa.

Setelah Risa selesai bercerita, sang tetua menghela napas panjang. “Nak Risa,” katanya dengan nada berat, “apa yang kau temukan di rumah Wak Jampang bukanlah sekadar hantu biasa. Itu adalah… sisi gelap dari jiwa Wak Jampang sendiri. Dahulu kala, Wak Jampang dikenal sebagai orang yang tamak dan serakah. Ia sering melakukan perbuatan buruk untuk mendapatkan apa yang diinginkannya. Konon, perbuatan-perbuatan buruknya itu lama kelamaan menjelma menjadi entitas jahat yang terperangkap di dalam dirinya, di balik pintu ketiga itu.”

“Maksudnya… hantu itu adalah manifestasi dari kejahatan Wak Jampang?” tanya Risa, terkejut.

“Benar,” jawab sang tetua. “Dan kalimat terakhir di diarynya adalah pengakuan yang mengerikan. Ia menyadari bahwa entitas itu adalah bagian dari dirinya yang selama ini ia tekan. Jimat yang kau temukan adalah warisan dari leluhur kami, yang digunakan untuk menahan kekuatan jahat. Kau telah berhasil melepaskan diri dari pengaruhnya, Nak Risa. Tapi ingatlah, kejahatan yang terpendam, sekecil apapun, bisa saja menjelma menjadi sesuatu yang mengerikan jika dibiarkan.”

Risa terdiam, merenungkan kata-kata sang tetua. Ia menyadari bahwa kengerian yang dialaminya di rumah Wak Jampang bukan hanya tentang hantu gentayangan, tetapi juga tentang sisi gelap yang bisa bersembunyi di dalam diri setiap manusia. Dengan hati yang penuh pelajaran, Risa meninggalkan desa itu, membawa serta diary Wak Jampang sebagai pengingat akan Penunggu Pintu Ketiga dan rahasia kelam yang tersimpan di baliknya. Ia tahu, penelitiannya kali ini telah membawanya pada sebuah pemahaman yang jauh lebih dalam tentang folklor dan juga tentang hakikat kegelapan dalam diri manusia.

1
Kriicers
terimakasih bagi yangg sudahh membaca ya gaes ,apakah enak di gantung?😭🙏
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!