Dalam bayang-bayang dendam, kebenaran menanti untuk diungkap.
Acalopsia—negeri para elf yang dulu damai—kini gemetar di ambang kehancuran. Serangan kaum orc tak hanya membakar ladang, tapi juga merobek sejarah, menghapus jejak-jejak darah kerajaan yang sah.
Revalant, satu-satunya keturunan Raja R’hu yang selamat dari pembantaian, tumbuh dalam penyamaran sebagai Sion—penjaga sunyi di perkebunan anggur Tallava. Ia menyembunyikan identitasnya, menunggu waktu, menahan dendam.
Hingga suatu hari, ia bertemu Pangeran Nieville—simbol harapan baru bagi Acalopsia. Melihat mahkota yang seharusnya menjadi miliknya, bara dendam Revalant menyala. Untuk merebut kembali tahta dan membuktikan kebenaran masa lalu, ia membutuhkan lebih dari sekadar nama. Ia membutuhkan kekuatan.
Dilatih oleh Krov, mantan prajurit istana, dan didorong tekad yang membara, Revalant menempuh jalan sunyi di bawah air terjun Lyinn—dan membangunkan Apalla, naga bersayap yang lama tertidur.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Momoy Dandelion, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 16: Lantunan Doa di Nevaria
Langit Nevaria pagi itu bening bagai kaca, dihiasi sinar lembut mentari yang menyentuh pucuk-pucuk pepohonan suci. Lembah pemakaman suci itu berdiri di antara dua bukit berkabut, tempat di mana jasad keluarga kerajaan elf dimakamkan sebelum berubah menjadi bintang. Udara terasa lebih ringan di Nevaria, seolah dunia itu sendiri menahan napas demi menghormati arwah para leluhur.
Bagian tengah Nevaria yang dipenuhi pilar kristal berukir doa, Pendeta Xiberius berdiri tegap. Jubah putihnya berkilau samar, wajahnya bersinar oleh cahaya pagi, dan tangannya terangkat ke langit.
“Ilimi sazta, yehefe mourui tefhalu su’i...” ucapnya dalam bahasa Moshu’, suara lembutnya menggema dalam keheningan.
"Wahai jiwa-jiwa elf suci, berkahilah mereka menjadi penerus kami."
Dua sosok berdiri di depannya, Pangeran Nieville dan Nona Zenithia. Mereka berlutut dalam khidmat, dikelilingi para bangsawan dan keluarga kerajaan yang turut menghadiri upacara restu leluhur.
Nieville mengenakan jubah kerajaan berwarna perak kebiruan. Di sisinya, Zenithia tampak anggun dengan gaun putih gading berhias kristal kecil di bagian leher. Rambut emasnya dikepang setengah dihiasi hiasan ornament berbentuk merak kesayangannya.
Di barisan para tamu, Natu berdiri dengan senyum kaku. Gaunnya merah darah, kontras dengan seluruh warna lembut yang mendominasi. Matanya tak lepas dari Nieville dan Zenithia.
“Aku sudah cukup sabar,” bisiknya dengan nada getir. “Tapi mengapa tetap dia yang ada di sisi Pangeran?”
Roman, sang ayah, menoleh. Lelaki bertubuh tinggi dan bermata tajam itu meletakkan tangan di bahu putrinya. “Sabar sedikit lagi, Natu. Ayah sedang menyiapkan sesuatu. Posisi mereka belum sekuat yang kau kira.”
Tirin, ibu Natu, mendesah pelan. “Kau harus lebih agresif, Natu. Kau terlalu diam. Zenithia menang karena dia tampak lemah dan bijak. Tapi yang membuat pria jatuh hati... adalah keberanian.”
Natu melayangkan tatapan tajam penuh kesal pada sosok wanita yang selalu unggul darinya. Sejak dulu, selalu Zenithia yang mampu mencuri perhatian.
Sementara, di barisan terdepan, Xylum—ibu Zenithia—berbisik kepada suaminya, Homuran. “Putri kita terlihat sangat menawan hari ini. Lihat caranya menunduk. Lihat cara Nieville memandangnya. Pasti sebentar lagi….”
Homuran memotong, suaranya datar namun tegas. “Kau yakin semuanya berjalan lancar?”
Xylum tersenyum gugup. “Tentu saja. Mengapa kau ragu?” Ia merasa suaminya peka dengan apa yang terjadi dengan putri mereka.
“Mengapa auranya tidak sekuat biasanya?” tanyanya dengan pandangan curiga. “Ia terlihat... cantik, ya. Tapi pesonanya berkurang.”
Xylum diam. Lalu, dengan suara lirih, ia berkata, “Salah satu ornamen rambutnya... hilang.”
Homuran menoleh cepat. “Apa?!”
“Itu... terjatuh, aku rasa. Dia tidak tahu kapan hilangnya.”
Wajah Homuran berubah muram. “Xylum... kau tahu betul, kekuatan suci tak datang dua kali.”
“Itu bukan sekadar perhiasan. Aku mendapatkannya setelah bersemedi sepuluh tahun di Zahuire Nemuire! Aku menahan lapar, menahan tidur, memohon berkah pada mata air suci! Dan kau biarkan satu bagian hilang begitu saja?” Meski kesal, Homuran berusaha menjaga nada suaranya tetap lirih agar tidak didengar siapa-siapa.
Xylum menunduk. “Aku... aku tidak tahu harus bagaimana. Ia bersumpah tidak tahu kapan benda itu hilang. Aku juga sudah memarahinya.”
“Ornamen itu telah dirituali, diberkati Pendeta Xiberius! Sepasang jepit rambut burung merak emas yang akan menguatkan daya tariknya. Kalau hanya satu yang tersisa, kekuatannya tak akan sempurna,” gumam Homuran, wajahnya penuh kemarahan terpendam.
Xylum mencoba menenangkan suaminya, “Kita masih punya waktu. Zenithia akan mendapatkannya kembali. Aku yakin.”
Homuran menatap altar kristal di tengah Nevaria. “Jika tidak… maka pengorbananku selama ini sia-sia. Ada banyak yang menginginkan posisi putri kita sekarang.”
Di sisi lain Nevaria, agak jauh dari altar upacara, Luca berdiri berjaga di tepi jalan batu yang mengarah ke gerbang pemakaman. Ia mengenakan jubah pelindung ringan berwarna abu kebiruan, tanda bahwa ia adalah pengawal istana muda—dan juga putra Panglima Fardaq.
Matanya tak lepas dari sosok Zenithia di kejauhan. Tatapannya lembut, seakan menyimpan musim semi yang tak pernah sempat mekar. Setiap gerakan Zenithia seolah ia kenal luar-dalam. Ia mengamati bukan sebagai prajurit… tapi sebagai seorang lelaki.
Di sampingnya, Val bersandar santai pada tiang kristal. Sudut bibirnya terangkat nakal.
“Kau tahu, Kak,” gumam Val tanpa menatapnya, “Kalau kau memang suka padanya, kenapa tidak kau bawa saja lari ke utara? Bebaskan dia dari takdir jadi penghuni istana.”
Luca terkesiap. “Apa katamu?”
Val tertawa pendek. “Bukankah itu yang kau mau? Membuatnya bebas, jauh dari politik kotor ini?”
Luca memejamkan mata sejenak. “Kalau aku menculiknya, apa itu akan membuatnya bahagia? Zenithia bukan bunga yang bisa dipetik lalu ditanam ulang. Dia punya akarnya di tempat ini.”
Val terdiam. Ia menatap kakaknya dengan serius.
“Kau sungguh tidak apa-apa?” katanya pelan.
Luca tersenyum tipis. “Aku hanya ingin dia bahagia... meski bukan denganku.”
“Bodoh!” lirih Val.
Tiba-tiba, dari arah jalan setapak yang berkelok, muncul tiga sosok yang berjalan dengan langkah tidak seragam namun serempak tertawa. Gabriel, Sabiel, dan Rafael, anak kembar dari Bangsawan Jibrael keluarga Eloyid, menghampiri mereka dengan wajah bosan.
“Lihat siapa yang berjaga tanpa tersenyum,” seru Gabriel sambil melempar batu kecil ke arah semak.
“Kami hanya dipanggil ke istana kalau ada upacara besar begini,” keluh Rafael. “Sisanya? Menjaga mata air Zahuire Nemuire sampai jamur pun hafal wajah kami.”
Sabiel menimpali dengan nada malas, “Seandainya kami punya ayah seorang panglima sepertimu, Luca. Kami pasti sudah jadi pasukan utama di istana.”
Gabriel mengangguk semangat. “Ya! Kau bisa bicara pada Panglima Fardaq! Minta dia promosikan kami ke barisan dalam istana. Kami sudah muak tinggal di wilayah selatan.”
Sebelum Luca menjawab, Val sudah angkat bicara sambil mengayunkan ranting ke tanah, “Kalau kalian tak ada di sana, siapa yang akan menjaga sumber kehidupan Acalopsia?”
“Mata air Zahuire Nemuire itu bukan sekadar air. Itu nadi dunia ini. Kalau sampai tercemar, seluruh Acalopsia bisa rusak,” jawab Val serius, nada suaranya berubah lebih dalam.
“Dan kalian tahu, akhir-akhir ini ada laporan orc berkeliaran lebih dekat dari sebelumnya. Mereka bukan hanya ingin menyerang... mereka ingin menodai hal-hal suci,” tambahnya.
Gabriel mengerutkan dahi. “Kau serius?”
Luca mengangguk pelan. “Kalian mungkin tak bertarung di medan terbuka seperti kami, tapi tempat kalian... jauh lebih penting dari yang kalian kira.”
Rafael bersedekap, mendesah berat. “Kenapa ya... tanggung jawab besar selalu terasa paling menyebalkan?”
Sabiel mendongak, setengah bergurau, “Kalau begitu, bagaimana kalau kalian berdua saja—kau dan Val—yang gantian menjaga mata air itu? Kami bertiga akan jadi pasukan utama di istana. Tukar tempat sebentar, siapa tahu kami dapat istirahat mewah di tengah jamuan raja.”
Val meliriknya tajam, lalu tertawa kecil. “Oh, kau pikir aku belum pernah ditugaskan ke sana? Beberapa kali aku dikirim membantu menahan serangan orc yang mencoba masuk ke area Zahuire Nemuire.”
Luca ikut menimpali. “Menjadi prajurit utama itu tidak sesederhana berdiri gagah di istana. Kami harus siap dipanggil kapan saja. Tengah malam, tengah musim, atau bahkan ketika pesta berlangsung. Tak ada jeda.”
Val menepuk bahu Gabriel. “Kalian juga punya tugas yang sama beratnya. Menjaga kesucian sesuatu yang menjadi sumber kehidupan seluruh Acalopsia.”
Tiga bersaudara itu akhirnya terdiam, tatapan mereka perlahan beralih ke arah langit Nevaria yang mulai berwarna emas muda.
Gabriel menghela napas, lalu tertawa lepas. “Baiklah... tapi lain kali, kalau ada acara penting lagi, pastikan kami tak hanya dipanggil sebagai penjaga gerbang.”
Rafael mengangguk cepat. “Ya, sekali saja kami ingin berdansa, bukan sekedar menjaga pagar.”
Sabiel berseru, “Setidaknya makanannya jangan hanya makanan sisa!”
Luca tersenyum, menyilangkan tangan di dada. “Ya, ya … nanti datanglah ke rumahku, ada banyak makanan enak di sana.”
Sementara itu, upacara di altar suci mendekati akhir. Cahaya mentari kini sepenuhnya menyinari kristal dan bunga Moonveil di sekitar mereka. Pendeta Xiberius menurunkan tangannya perlahan.
“Aminya se’ilfe. Arzati non ares’ta.” (Semoga kedamaian menyertai setiap warisan yang kau bawa.)
Nieville dan Zenithia berdiri kembali.