Hannah, seorang perempuan yang tuli, bisu dan lumpuh. Ketika melihat perut Hannah terus membesar, Baharudin—ayahnya—ketakutan putrinya mengidap penyakit kanker. Ketika dibawa ke dokter, baru diketahui kalau dia sedang hamil.
Bagaimana bisa Hannah hamil? Karena dia belum menikah dan setiap hari tinggal di rumah.
Siapakah yang sudah menghamili Hannah?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Santi Suki, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 20
Arman melambaikan tangan kepada Yasmin dari kejauhan. Senyumnya mengembang, memancarkan kehangatan tulus yang hanya muncul saat melihat anak kecil itu. Dalam benaknya, terlintas sebuah ingatan—beberapa hari lalu ia membeli bando lucu berbentuk telinga mini mouse. Ia sengaja menyimpannya di dalam kotak dasbor mobil, menunggu momen yang tepat untuk memberikannya.
"Yasmin, sini! Om punya hadiah untuk kamu," serunya ceria sambil membuka pintu mobil.
Mata Yasmin berbinar. Dengan langkah kecil penuh semangat, dia langsung berlari ke arah suara Arman, tanpa menyadari bahwa ada sebuah motor yang melaju cepat dari arah kanan.
TIIIIIN!!
"Awas!" teriak Arman panik, tubuhnya refleks maju selangkah.
"Yas!" jerit Hannah dengan suara yang mengguncang udara.
"Yasmin!" suara Pak Baharuddin pecah dalam ketakutan. Wajahnya pucat, seperti kehilangan darah.
Seketika, suara decitan rem menggema keras. Motor itu mengerem mendadak, menciptakan gesekan yang menukik di atas aspal. Pengendaranya terpental ke depan, tubuhnya terhempas keras di jalan. Motornya tergelincir, menabrak aspal dengan suara gemeretak dan sempat menyenggol kaki kecil Yasmin sebelum akhirnya terguling beberapa meter.
Yasmin terpaku. Tubuh kecilnya tak bergerak. Matanya membelalak penuh ketakutan, bibirnya terbuka tanpa suara. Ia tidak menangis—bahkan tak berkedip. Dunia di sekelilingnya seolah berhenti, hanya detak jantungnya yang berdentum keras dalam dada.
Pak Baharuddin, dengan napas tersengal, langsung berlari menghampiri. Tangan keriputnya menggenggam bahu Yasmin dengan gemetar. Orang-orang mulai berkumpul, tergesa ingin membantu. Beberapa segera menolong pengendara motor yang kini terduduk lemas di tepi jalan, seorang remaja yang wajahnya berdarah dan luka lecet.
Di sisi lain, Hannah terpaku di tempatnya. Jantungnya berdegup tak karuan. Kakinya goyah, kehilangan tenaga. Dalam hitungan detik, tubuhnya limbung dan jatuh terduduk di aspal panas. Tangisnya pecah, tapi tak ada satu pun yang memperhatikan. Semua perhatian tertuju pada Yasmin dan si pengendara motor.
Dari arah dalam bangunan, Arka keluar setelah mendengar keributan. Langkahnya sigap, tatapannya waspada. Sebagai pemilik tempat usaha, dia merasa bertanggung jawab terhadap situasi yang terjadi di area parkirnya. Matanya segera menangkap sosok Hannah yang duduk lemas di tengah jalan, wajahnya basah oleh air mata dan tubuhnya gemetar hebat.
"Hannah!" panggil Arka sembari berlari cepat mendekati wanita itu.
Hannah mendongak, matanya berkabut. Ia menggenggam kedua lengan Arka erat, seperti memohon keselamatan.
"Yas! Yas!" Suaranya pecah, penuh kepanikan. Untuk pertama kalinya Arka mendengar suara dari mulut Hannah. Lirih, namun sangat jelas.
Arka tertegun. Suara itu menusuk sampai ke relung hatinya. Ia tak sepenuhnya paham, tapi kemudian menyadari maksud Hannah.
"Yasmin?" tanyanya mencoba menebak.
Hannah mengangguk cepat dan menunjuk ke arah kerumunan. Tubuhnya lalu limbung, dan tanpa sempat bicara lagi, ia pingsan di pelukan Arka. Tanpa pikir panjang, Arka segera mengangkat tubuh Hannah dengan hati-hati dan membawanya ke mobilnya.
Sementara itu, Arman berlari ke arah Yasmin dan Pak Baharuddin. Napasnya tersengal dan wajahnya tegang.
"Pak, ayo, kita bawa ke rumah sakit!" kata Arman cepat, menunjuk ke mobil yang pintunya sudah terbuka. Tanpa membuang waktu, Pak Baharuddin menggendong Yasmin masuk ke dalam mobil.
Seorang pemuda yang membantu mengangkat pengendara motor yang terluka, membaringkannya di kursi belakang. Arman segera masuk ke kursi kemudi dan melesat menuju rumah sakit dengan kecepatan penuh.
Di mobil berbeda, Arka menatap Hannah yang masih pingsan di bangku penumpang. Tangannya mengepal erat di kemudi. Hatinya terasa panas—antara panik, marah, dan khawatir bercampur menjadi satu. Ia tidak tahu seberapa parah kondisi Yasmin. Namun, satu hal yang pasti, dia tidak akan membiarkan mereka menghadapi semua ini sendirian.
Begitu sampai di rumah sakit, dentingan alat medis dan langkah cepat para perawat langsung menyambut mereka. Tanpa buang waktu, ketiga orang itu segera ditangani oleh dokter jaga.
Bau alkohol medis menyeruak, menyatu dengan kepanikan yang masih menggantung di udara. Yasmin terbaring lemah di atas ranjang kecil, tubuhnya gemetar meski tidak ada luka besar di tubuhnya. Hanya lecet di lutut dan telapak tangan, tapi tatapannya kosong, seperti terjebak dalam adegan yang tak ingin ia ulang.
Pengendara motor pun mengalami nasib serupa—syok dan luka ringan di bahu kanan. Sementara Hannah masih belum sadarkan diri, dengan infus yang sudah menempel di tangannya.
Di sisi ruang perawatan, Arman berdiri mematung, menatap ke arah Yasmin dengan rasa bersalah yang membuncah di dadanya. Wajahnya muram, jemarinya mengepal, seolah ingin meninju waktu dan kembali ke beberapa menit yang lalu.
“Pak, maafkan aku,” ucap Arman dengan suara parau, nyaris tak terdengar di tengah hiruk pikuk rumah sakit. “Seharusnya aku tidak memanggil Yasmin. Seharusnya aku yang mendatangi dia, bukan menyuruhnya berlari ke arahku.”
Mata Arman memerah. Ia menunduk dalam, menahan gejolak emosi yang siap meluap.
Pak Baharuddin memandang pria muda itu dengan mata bijak seorang ayah. Meski hatinya masih terguncang, dia tidak ingin menambah beban siapa pun, apalagi saat semuanya sudah terjadi.
“Ini sudah kehendak Allah, Nak. Jangan salahkan dirimu terus. Yasmin terlalu senang melihat kamu datang. Mungkin karena itu dia lupa untuk hati-hati.”
“Panggil saja saya Arman, Pak,” katanya lembut. “Dan semua biaya pengobatan biar saya yang tanggung.”
Pak Baharuddin hanya mengangguk, tanpa bantahan. Di matanya, Arman telah menunjukkan tanggung jawab dan ketulusan yang jarang ia temui pada orang lain.
Sementara itu, di balik tirai putih yang membatasi ruangan, Hannah mulai menggerakkan jemarinya. Kelopak matanya bergetar sebelum akhirnya terbuka perlahan. Lampu neon di langit-langit menyilaukan pandangannya, tapi bayangan tubuh seseorang yang berdiri di sampingnya mulai terlihat jelas. Orang itu Arka.
“Hannah, kamu sadar?” Arka membungkuk, menyapa dengan suara pelan. “Yasmin baik-baik saja. Dia cuma syok, sama seperti kamu. Setelah infusnya habis, kalian sudah bisa pulang.”
Rasa lega menjalari wajah Hannah. Air mata menetes dari sudut matanya. Ia mencoba bicara, namun suara yang keluar begitu lirih. Di matanya, jelas terpantul bayangan Yasmin, gadis kecilnya, nyaris celaka. Tak ada luka yang lebih perih dari rasa takut kehilangan.
Di sisi lain, Arman terduduk di bangku tunggu dengan wajah kusut. Di kepalanya, terngiang kembali pesan Karin yang beberapa hari lalu memintanya datang. Insiden hari ini telah mengubah fokusnya—ada yang lebih penting daripada pertemuan yang ia sendiri tak tahu akan membawanya ke mana.
“Kamu masih di sini?” tanya Arka yang menyusul Arman ke luar ruangan. “Bukannya kamu mau menemui Karin?”
“Besok saja,” jawab Arman pelan. “Sekarang aku harus menemui keluarga pengendara motor itu.”
Arka mengangguk paham. “Jangan sampai mereka bikin keributan yang berdampak buruk ke supermarket kita.”
“Ya.”
Arman pun melangkah menuju sudut UGD, tempat sebuah ranjang darurat ditaruh di pojok ruangan. Di sekitarnya, sepasang suami istri paruh baya tengah duduk sambil sesekali melihat anak mereka yang masih terbaring. Wajah mereka tampak lebih sibuk menghitung sesuatu ketimbang mencemaskan kondisi si anak.
Begitu melihat Arman datang, pria paruh baya itu berdiri dengan nada suara meninggi. “Beri kami ganti rugi sebesar lima puluh juta!” katanya tanpa basa-basi.
Arman menatapnya dengan tenang, namun rahangnya mengeras. “Anak Bapak juga salah. Ngebut di area parkir, masih di bawah umur, tak punya SIM. Hampir menabrak anak kecil.”
“Saya nggak peduli! Anak saya terluka, kami butuh uang untuk pengobatan!”
Sebenarnya, Arman berniat memberi 25 juta sebagai bentuk tanggung jawab moral. Tapi permintaan yang menggandakan jumlah itu membuatnya geram. Terlebih saat nada suara pria itu berubah jadi ancaman.
“Kalau nggak mau, saya viralkan saja! Biar orang tahu siapa yang bikin anak saya begini!” ancamnya.
Arman mendekat satu langkah. Matanya menatap tajam, suaranya datar namun penuh tekanan. “Kalau Bapak lakukan itu, saya akan tuntut balik atas pencemaran nama baik. Dan saya juga punya rekaman CCTV yang bisa membuktikan siapa yang salah.”
Suasana jadi menegang. Pria paruh baya itu terdiam sejenak. Lalu istrinya—yang dari tadi hanya terisak dan memeluk anaknya—ikut bicara.
“Sudahlah, Pak ... terima saja uang pemberian Mas ini. Lagian anak kita nggak mengalami luka serius.”
Arman menarik napas lega, lalu menyerahkan amplop putih yang berisi uang. Ia tak ingin memperpanjang masalah, tapi juga tak akan membiarkan dirinya dipermainkan.
Hari itu, Arman tahu, bukan hanya Yasmin yang nyaris kehilangan nyawa—tapi juga hatinya yang kembali diingatkan tentang arti menjaga, melindungi, dan bertanggung jawab.
***
❤❤❤❤❤
❤❤❤❤❤
siapakah pelaku yg udah buat trauma hannah 🤔
kalo krna trauma berarti hannah masih bisa disembuhkan ya,,suara yg hilang sm kelumpuhan kakinya dn pendengarannya kan bisa pake alat dengar 🤔
masih banyak yg blm terjawab dn bikin makin penasaran 🤗🤗