Aila Rusli tumbuh dalam keluarga pesantren yang penuh kasih dan ilmu agama. Diam-diam, ia menyimpan cinta kepada Abian Respati, putra bungsu Abah Hasan, ayah angkatnya sendiri. Namun cinta mereka tak berjalan mudah. Ketika batas dilanggar, Abah Hasan mengambil keputusan besar, mengirim Abian ke Kairo, demi menjaga kehormatan dan masa depan mereka.
Bertahun-tahun kemudian, Abian kembali untuk menunaikan janji suci, menikahi Aila. Tapi di balik rencana pernikahan itu, ada rahasia yang mengintai, mengancam ketenangan cinta yang selama ini dibangun dalam doa dan ketulusan.
Apakah cinta yang tumbuh dalam kesucian mampu bertahan saat rahasia masa lalu terungkap?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ZIZIPEDI, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
PENANTIAN CINTA HALAL
Pagi buta menjelang subuh, cahaya redup dari lampu dinding kamar menyinari wajah Aila yang perlahan terbangun. Ia mengerjapkan mata, mengatur napas pelan, lalu menoleh ke sisi kanan. Sofa kecil yang semalam ditempati Mas Bayu-nya, sudah kosong.
Ia diam sesaat. Tidak ada rasa kehilangan. Tidak ada tanda tanya besar. Hanya gumaman ringan di dalam hati.
“Pagi banget bangunnya.”
Batin Aila.Lalu turun dari ranjang. Wajahnya masih terlihat datar tanpa ekspresi. Ia melipat selimut seadanya, lalu mengambil mukena dari gantungan belakang pintu.
Langkahnya santai namun tak tergesa. Sama sekali tak tampak rasa penasaran tentang keberadaan suaminya.
Saat membuka pintu ndalem, udara dingin menyentuh kulitnya. Dan di halaman, Aila tak sengaja berpapasan dengan Abian.
Aila buru buru menjauh. Namun suara Abian mengejutkan.
"Aila..." Panggil Abian dengan suara rendah.
Aila menghentikan langkah lalu menjawab.
"Bisa sopan Gus, saya mbak iparmu sekarang..." ucap Aila lalu ia melangkah pergi tak menghiraukan tanggapan Abian.
Abian tertegun,ia dapat merasakan rasa sakit dan kecewa yang Aila tanggung karena kebodohannya.
Aila terus melangkah, ke arah masjid pondok menjauh dari Abian.
Terlihat cahaya masjid pondok menyala terang, pertanda jamaah subuh sudah berkumpul. Aila berjalan menuruni anak tangga dan menyusuri halaman pondok yang mulai ramai oleh santri putri yang bergegas ke masjid sisi perempuan.
Dari kejauhan, samar terdengar suara lelaki berbicara lewat pengeras suara masjid.
"Jika hatimu belum tenang, mungkin karena terlalu banyak berharap pada manusia. Mari kita pulangkan semua resah itu kepada Allah."
Itu suara Bayu.
Terdengar tenang, dewasa, dan sangat berbeda dengan Abian.
Namun Aila tetap tak menoleh.
Hatinya terlalu letih untuk peduli.
Terlalu penuh oleh nama Abian, lelaki yang dulu ia percayai sepenuh hati, meski kini telah mengkhianatinya dengan kejam.
Menghapus nama Abian bukan perkara sehari. Meski tubuhnya kini halal bagi Bayu, namun jiwanya masih menggantung di masa lalu.
Aila masuk ke ruang salat wanita tanpa menoleh ke mimbar utama. Ia meletakkan mukena dan mulai mengambil wudu.
Tak ada niat menunggu Bayu. Tak ada rasa bangga punya suami yang sedang berdiri memberi kultum.
Baginya, Bayu tetap orang asing.
Dan untuk saat ini, Aila hanya ingin salat.
Tanpa perlu tahu siapa yang berdiri di atas mimbar.
Usai salat subuh berjamaah, Aila melangkah kembali menuju ndalem dengan langkah pelan. Wajahnya tetap datar, seperti malam sebelumnya.
Hatinya masih dingin, sesunyi angin pagi yang membelai pipinya. Tak ada senyum, tak ada rasa kehilangan meski Bayu tak terlihat sejak ia membuka mata.
Sesampainya di dapur, Aila langsung melihat Umi Fatimah tengah sibuk memotong sayur. Tanpa banyak bicara, Aila menggulung lengan baju gamisnya dan ikut berdiri di sebelah Umi.
“Aila bantu, ya Mi...” ucapnya pelan.
Umi Aminah menoleh, tersenyum lembut. “Alhamdulillah... pengantin baru sudah siap ikut sibuk di dapur ya?”
Aila menunduk, hanya tersenyum tipis.
Beberapa menit berlalu dalam diam, hanya terdengar suara pisau dan gemericik air. Hingga akhirnya Umi Aminah berkata lirih, tapi cukup menusuk kalbu.
“Lelah ya, Nduk...?"
Aila sontak menoleh, menatap Uminya.
Lalu Umi Aminah melanjutkan ucapannya.
"Kamu tahu to..? Pernikahan itu ibadah terpanjang, nak. Tapi bukan berarti harus dijalani dengan terburu-buru. Umi tahu hatimu masih butuh waktu. Tapi jangan pernah berhenti belajar membuka ruang.”
Aila terdiam. Tangannya masih mengupas wortel, namun hatinya seolah ikut terkupas perlahan.
“Menikah bukan hanya tentang cinta. Tapi tentang menerima, memahami, dan memuliakan. Bahkan kadang... tentang melupakan apa yang menyakitkan,” lanjut Umi-nya pelan.
Aila menghela napas. “Aila belum bisa, Mi...”
Suara itu lirih keluar dari bibir Aila.
“Gak apa-apa, Nduk,” jawab Umi sembari mengelus kepala Aila dengan sayang. “Asal Aila tetap menjaga adabnya, tetap menjaga niat baiknya. Cinta bisa datang belakangan. Tapi niat tulus itu... jangan sampai pergi.”
Aila menunduk dalam, matanya sembab menahan sesuatu. Antara perasaan bersalah dan hati yang belum sembuh.
Setelah selesai memotong semua bahan dan menyalakan kompor, Umi Fatimah menyeka tangannya dengan handuk kecil, lalu menoleh ke Aila.
“Nduk... nanti sekalian tanya Mas Suamimu ya, beliau mau teh atau kopi. Sama mau sarapan apa, biar Umi yang masakin.”
Aila yang sedang mengaduk tumisan seketika berhenti. Tangannya diam menggantung di atas wajan. Ia menelan ludah perlahan, seperti ada yang mengganjal di tenggorokannya.
“Lho... kok diam?” tanya Umi sambil tersenyum lembut.
Aila memaksakan senyum. “Iya, Mi... nanti Aila tanya.”
Dalam hati, Aila bergolak. Ia belum siap berhadapan langsung dengan Bayu pagi-pagi begini. Bahkan tadi saat tahu Bayu tak ada di kamar saja, ia merasa lega. Tapi kini, harus bicara padanya? Harus menanyakan minuman kesukaan, seolah-olah semuanya baik-baik saja? Seolah semalam tidak terjadi apa-apa?
Aila menunduk. Rasanya canggung... dan jujur, ia tidak suka suasana seperti ini. Tapi Aila tahu, ini ndalem kiai. Dan ini... adalah tentang suaminya.
“Aila, kita sebagai seorang istri, harus patuh. Tapi patuh itu bukan hanya di hadapan orang saja,” kata Umi sambil mengaduk sayur lodeh. “Tapi juga di hadapan Allah. Kadang, kita menundukkan diri bukan karena orangnya, tapi karena Allah yang memerintahkannya.”
Aila mengangguk kecil. Dalam diam, ia menarik napas panjang, lalu meletakkan spatula di atas meja.
Aila tahu, ini bukan tentang Bayu. Tapi tentang dirinya sendiri, mampukah ia bersikap seperti seorang istri, meski hatinya belum bisa menerima semuanya?
Dengan langkah pelan, Aila keluar dari dapur, menyusuri lorong ndalem yang lengang, menuju tempat Bayu biasa duduk setelah kultum subuh.
Setiap langkahnya terasa berat, seperti menginjak bebatuan tajam.
Langkah Aila terhenti di depan serambi ndalem. Cahaya matahari masih malu-malu menyelinap lewat celah jendela. Udara pagi masih menusuk, membalut tubuh dengan dingin yang menggigit. Namun tidak sedingin tatapan pria yang kini duduk di atas kursi.
Lelaki itu mengenakan sarung dan baju kemeja abu tua. Terlihat, sebuah buku tafsir terbuka di hadapannya, jari-jarinya menelusuri lembar demi lembar dengan tenang. Tak ada suara, kecuali desah napas yang teratur.
Aila berdiri mematung. Ingin mundur. Tapi suara Umi Fatimah masih membekas kuat.
Dengan ragu, ia melangkah mendekat, menundukkan kepala.
“Mas...,” panggilnya pelan.
Kini nyali Aila seketika lenyap, padahal dulu Bayu teman adu argumen, adu tatap dan adu omelan.
Tapi kini, Aila terlihat jadi anak yang patuh.
Bayu tidak langsung menoleh. Hanya matanya yang sedikit berpaling, sebelum akhirnya ia menutup buku dengan pelan dan mengangkat wajah. Datar. Tenang. Tegas.
“Iya?”
Aila menelan ludah. Matanya menghindari pandangan Bayu.
“Umi... minta Aila nanya, Mas mau teh atau kopi?” tanyanya dengan suara nyaris tak terdengar.
Bayu menatapnya sejenak, dengan kening berkerut, lalu menjawab singkat, “Kopi.”
Aila mengangguk cepat. “Terus... sarapan mau apa?”
Bayu menarik napas sebentar, lalu menjawab dengan nada datar, “Apa saja. Terserah Umi.”
Hening.
Aila tak tahu harus bicara apa lagi. Tapi ia tetap berdiri di situ, menunduk, jari-jarinya menggenggam ujung kerudung. Suasana itu terlalu hampa, terlalu canggung.
Bayu memandangnya beberapa detik.
“Cuma itu, kamu bisa kembali ke dapur,” ujarnya tanpa nada menyuruh, tapi cukup jelas untuk jadi penutup percakapan.
Aila mengangguk lagi. “Iya, Mas...”
Ia segera berbalik, kembali menyusuri lorong.
Dadanya sesak. Bukan karena nada Bayu yang dingin. Tapi karena dirinya sendiri yang belum siap menerima kenyataan bahwa laki-laki itu... sekarang adalah suaminya.