Zareena, wanita cantik nan sempurna menikah dengan pria yang sangat dicintainya hingga pernikahannya dikaruniai seorang anak laki-laki bernama Elvano. Lima tahun pernikahannya terasa begitu sangat indah, hingga kenyataan menghantam relung hatinya. Suaminya berselingkuh dengan adik angkatnya, bahkan keluarganya begitu memihak pengkhianat.
Di khianati dan disingkirkan, Zareena tiada dalam kesedihannya. Namun kepergiannya bukan akhir dari segalanya. Dalam gelapnya alam baka, Zareena bersumpah.
“Jika diberikan kesempatan kedua, aku akan memilih mengubah takdirku, melindungi putraku dari pengkhianat”.
Dan ketika ia membuka mata, ia kembali bukan sebagai Zareena, tapi sebagai ancaman yang tak mereka duga.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon dlbtstae_, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Mawar putih
Sudah dua minggu sejak Zareena memutuskan tinggal sementara di kediaman keluarga Maverley. Rumah tua bergaya kolonial yang biasanya ramai dengan anggota keluarga besar itu kini sepi. Bukan karena tak ada orang, melainkan karena semua menyadari luka yang sedang dihadapi perempuan muda yang kini mengandung untuk kedua kalinya.
Zareena tinggal di kamar utama lantai dua, kamar milik mendiang nenek Maverley yang sudah lama tidak ditempati. Dinding putih bersih dan tirai renda tipis di jendela besar membuat ruangan itu terasa hangat, tapi juga sangat sunyi. Heningnya seperti memantulkan perasaannya yang rumit, patah, marah, dan rindu dalam waktu bersamaan.
Setiap pagi, ia akan duduk di kursi kayu di dekat jendela. Matanya menatap taman kecil di halaman belakang tempat Elvano, putra kecilnya yang baru berusia empat tahun, berlari menghindari sepupunya, Orianna yang mengejarnya.
“El, jangan lali-lali telus. Nanti jatuh, Anna nda mau ya di calahin lagi !!” teriak Orianna kesal, sambil tergopoh mengejar sepupu laki-lakinya itu.
Elvano tertawa geli, gigi susunya terlihat mencolok. Ia berhenti sejenak dan menoleh ke arah jendela tempat Zareena biasa duduk. “Mommy, Mommy liat El, El jago laliii!” serunya sambil mengepalkan kedua tangan.
Zareena tersenyum tipis dan melambaikan tangan. “Iya, Mommy lihat. Anak Mommy hebat banget.”
“Bukan jago itu !!! Lepotin olang nama naaaa !!” protes Orianna tak terima.
“Onti Jali jangan teltipu, El itu nda hebat !!” teriak Orianna ke arah jendela dimana Zareena berada. Zareena sendiri tertawa melihat kedua bocah menggemaskan itu.
Elvano tertawa lagi lalu kembali berlarian. Zareena meletakkan tangannya di atas perutnya yang mulai membulat. "Lihat, Nak. Abangmu itu cerewet sekali. Kamu harus sabar ya nanti punya abang cerewet," bisiknya.
*
*
*
*
*
Suatu malam, saat angin dari luar berhembus lembut melalui celah jendela yang sedikit terbuka, Zareena belum juga bisa tidur. Tubuhnya lelah, tapi pikirannya terlalu penuh. Ia menggeliat perlahan dan berbalik menghadap ke sisi ranjang lain kosong. Sisi yang biasanya menjadi tempat Andra.
Air matanya jatuh pelan. Diam-diam. Ia merindukan pelukan itu. Bau tubuhnya. Genggaman hangat yang selalu membuat dunia terasa lebih aman.
Tiba-tiba, pintu kamarnya terbuka perlahan.
“Mommy…?”
Zareena buru-buru menyeka air matanya. “Iya, sayang. Kenapa belum tidur?”
Elvano berdiri di ambang pintu dengan piyama motif mobil dan boneka kelinci putih di tangannya.
“El mimpi nggak enak,” ujarnya pelan. Suaranya cadel, membuat kalimat yang menyedihkan itu terdengar lebih menyayat hati.
Zareena membuka selimut dan menepuk sisi ranjang. “Sini, sayang. Tidur sama Mommy aja malam ini.”
Anak kecil itu memanjat naik ke ranjang dan langsung memeluk perut Zareena. “Mommy… dedek na masih di dalam?”
“Iya, masih di dalam. El mau ngobrol sama adik?”
Elvano mengangguk, lalu menempelkan pipinya ke perut Zareena. “Hallo dedek bayi… ini Abang El. Abang akan jadi abang yang hebat. Mommy… dedek bayinya bisa dengal, kan?”
Zareena menahan air mata yang hendak jatuh. “Bisa, sayang. Adik pasti senang dengar suara abangnya.”
Hening beberapa detik, lalu Elvano mendongak. Tatapan matanya serius, dan bibirnya sedikit mengerucut. “Mommy…”
“Ya?”
“Kenapa Daddy nda pelnah nemuin kita ?”
Zareena terdiam. Nafasnya tercekat.
“Dulu kita di lumah besal. Daddy ada. Sekalang… Daddy nda ada… Daddy ninggalin kita ya, Mommy ?”
Pertanyaan itu sederhana. Tapi bagi Zareena, seperti belati yang menusuk perlahan ke dalam dada.
“Bukan begitu, sayang…”
“Daddy malah sama El?” lanjut Elvano polos.
Zareena menggeleng cepat dan memeluk tubuh kecil itu lebih erat. “Tidak, El… Daddy sayang banget sama El. Daddy cuma… lagi kerja jauh. Nanti kalau semua sudah tenang, Daddy akan datang jemput kita. El mau Daddy pulang dan jemput kita ?”
Elvano mengangguk. “Tapi Mommy jangan sedih lagi, ya. El liat Mommy suka diam… dan matanya basah…”
Zareena tak mampu menjawab. Ia hanya mengelus kepala anak itu sambil menahan isak yang kembali naik ke tenggorokan. Betapa kerasnya dunia, ketika bahkan anak sekecil Elvano bisa membaca kesedihan yang coba ia sembunyikan.
Hari-hari berikutnya, Zareena mulai mencoba hidup lebih aktif. Ia bangun lebih pagi, ikut membantu menyiapkan sarapan, meski hanya sekadar menyusun roti panggang di piring. Ia tahu, diam terlalu lama hanya akan membuat luka semakin menganga. Dan ia tak bisa terus begitu anak-anaknya butuh ibu yang kuat, bukan ibu yang larut dalam kesedihan.
Ia bahkan mulai menata ulang ruang kecil di pojok kamar, menjadikannya sudut membaca pribadi. Beberapa buku lama dari perpustakaan keluarga Maverley ia pinjam, dan kadang, ia duduk berdua dengan Elvano, membacakan kisah hewan-hewan lucu meski pikirannya tak selalu ikut ke dalam cerita.
Suatu sore, saat ia duduk di ruang tengah sambil menyulam, Maureen dan Ody mendatangi dan menatapnya penuh empati.
“Zaree, kamu Bisa menyulam ?” tanya Ody. Zareena mendongak, sedikit kaget. “Kakak ?! Ngagetin aja,” ucap Zareena mengelus dadanya.
“Iya nih, Odiding !” celetuk kembaran Ody.
“Hehe ya maaf, abisnya kamu serius banget.” kata Ody cengegesan.
Zareena tersenyum kecil. “Kakak kembar, ada apa ?” tanya Zareena kepada kedua kembaran iparnya.
Maureen duduk di sampingnya, sementara Ody mencondongkan tubuh ke arah Zareen,” Tidak ada, hanya saja kami tak melihatmu di ruang keluarga.”
“Wah, ini bagus banget !! Zaree, bagaimana bisa kamu membuat kaos kaki ini ?? Aku juga mau !!” seru Maureen heboh saat melihat sepasang kaos kaki bayi yang sudah jadi.
“Ck, bikin sendiri Iren. Jangan tiba-tiba bilang mau. Zaree buatnya nggak mudah loh !” omel Ody.
“Yeelaaa, nanya doang yakan, Zaree ?”
Zareena hanya mengangguk. Dirinya senang melihat keluarga suaminya baik kepadanya. Teringat akan Andra membuat Zareena menghentikan kerjaannya. Wajahnya mendadak murung. Maureen dan Ody tak menyadari perubahan raut wajah Zareena karena keduanya sibuk berdebat masalah sepasang kaos kaki yang di sulam Zareena.
‘Aku merindukanmu, mas..’
*
*
*
*
*
Pada suatu hari Minggu, keluarga Maverley mengadakan makan siang kecil. Bukan pesta, hanya makan bersama di teras belakang rumah dengan menu masakan rumahan. Marissa memastikan Zareena cukup makan, bahkan membuatkan sup ayam favoritnya.
Di tengah makan siang, Elvano menyuapi Zareena dengan tangan kecilnya.
“Mommy, buka mulut na. Aaaa…” katanya sambil menyodorkan sesendok kecil nasi.
Zareena tertawa geli dan menuruti anak itu.
“Lihat, mas !” kata Marissa sambil tersenyum kepada suaminya. “Dia seperti Andra waktu kecil. Suka cerewet dan protektif.”
Zareena menunduk. Mendengar nama itu masih membuat dadanya nyeri. Tapi ia tidak ingin hari itu rusak oleh kenangan.
“Mungkin karena dia sering denger mommy ngomong tentang daddy,” sahut Alaksa perlahan.
“Dia rindu daddy nya,” kata Melati pelan. “Dan aku tahu, Kakak juga…”
Zareena terdiam. Ia tak mengiyakan, tapi juga tidak membantah. Dia hanya mendengarkan obrolan pelan keluarga suaminya. Benar, dia sangat merindukan suaminya saat ini.
Malam itu, saat hujan turun dan petir sesekali menggelegar, Elvano terbangun. Ia memeluk tubuh Zareena erat-erat.
“Mommy… ada gledek hiks…”
“Tenang sayang. Mommy di sini. Gak papa.”
Elvano memejamkan mata, lalu tiba-tiba berkata, “Mommy… El mimpi daddy jemput kita… Daddy peluk Mommy… dan Mommy senyum…”
Zareena mengelus rambut anaknya. “Mimpi itu indah, ya?”
“Iya… El seneng kalau Mommy senyum.”
Zareena menahan napas. Air matanya menetes, membasahi rambut anaknya. Dalam hati, ia berdoa.
‘Mas Andra… jika kau benar, jika kau memang bukan seperti yang selama ini kutakutkan… jemputlah kami. Tapi bukan hanya dengan bukti. Jemputlah kami sebagai lelaki yang siap menghadapi segalanya, termasuk jika hatiku yang mungkin sudah tak sama’
*
*
*
*
Pagi berikutnya, Zareena menerima kiriman bunga mawar putih di depan kamarnya. Tak ada nama pengirim. Hanya secarik kertas dengan tulisan tangan:
“Bukan untuk memohon maaf, tapi untuk mengingatkan bahwa cinta itu tidak pernah pergi. Aku sedang berjuang, Zaree. Demi kamu. Demi kita. Tolong jangan berpikir hal yang tidak-tidak, aku mencintaimu”
Zareena menatap bunga itu lama. Tidak ada nama, tapi ia tahu siapa yang mengirimnya.
“El…” bisiknya pada anaknya yang sedang duduk menyusun balok warna-warni. “Kamu mau kita pulang?”
Anak itu langsung mengangguk. “Iyaaaaa! El kangen daddy, mommy. El, mau peluk daddy dan ajak daddy bermain !”
Zareena tersenyum. Di antara luka dan rindu, mungkin masih ada ruang untuk harapan.
Dan mungkin, suatu hari nanti, rumah yang kini sunyi bisa kembali penuh suara tawa. Suara kecil Elvano. Dan suara seorang ayah yang akhirnya berkumpul bersama kembali, bukan hanya membawa bukti, tapi juga tekad untuk memperbaiki semuanya.