"Bagaimana rasanya... hidup tanpa g4irah, Bu Maya?"
Pertanyaan itu melayang di udara, menusuk relung hati Maya yang sudah lama hampa. Lima tahun pernikahannya dengan Tama, seorang pemilik bengkel yang baik namun kaku di ranjang, menyisakan kekosongan yang tak terisi. Maya, dengan lekuk tubuh sempurna yang tak pernah dihargai suaminya, merindukan sentuhan yang lebih dalam dari sekadar rutinitas.
Kemudian, Arya hadir. Duda tampan dan kaya raya itu pindah tepat di sebelah rumah Maya. Saat kebutuhan finansial mendorong Maya bekerja sebagai pembantu di kediaman Arya yang megah, godaan pun dimulai. Tatapan tajam, sentuhan tak sengaja, dan bisikan-bisikan yang memprovokasi h4srat terlarang. Arya melihatnya, menghargainya, dengan cara yang tak pernah Tama lakukan.
Di tengah kilau kemewahan dan aroma melati yang memabukkan, Maya harus bergulat dengan janji kesetiaan dan gejolak g4irah yang membara. Akankah ia menyerah pada Godaan Sang Tetangga yang berbaha
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hasri Ani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
22
Maya pulang sore itu dengan perasaan campur aduk. Undangan makan malam dari Arya. Bukan lagi urusan pekerjaan, melainkan sebuah ajakan pribadi. Jantungnya berdebar kencang memikirkan itu. Ia tahu ini salah, sangat salah, tapi ada daya tarik yang tak bisa ia lawan. Rasa ingin tahu yang kuat, apa yang akan terjadi selanjutnya.
Sesampainya di rumah, Tama sedang duduk di depan televisi, sibuk dengan ponselnya. Suara dentuman dari ponselnya memenuhi ruangan.
"Mas, sudah makan?" tanya Maya, berusaha menormalkan suaranya.
Tama hanya bergumam, tanpa mengalihkan pandangan dari layar. "Sudah, Yank. Tadi beli nasi goreng."
Maya menghela napas dalam hati. Perlakuan dingin dan ketidakpedulian Tama terasa semakin menyakitkan setelah seharian mendapat perhatian penuh dari Arya. Sebuah jurang yang dalam kini terbentang di antara mereka. Ia merasa seperti hidup di dua dunia yang berbeda.
Malam itu, di ranjang, Maya berbaring gelisah. Ponselnya ada di sampingnya. Ia menunggu pesan dari Arya. Apa yang akan Arya katakan? Apakah ia akan mengungkit makan malam itu? Atau hanya basa-basi biasa?
Tidak ada pesan masuk. Maya merasa sedikit kecewa, namun juga lega. Mungkin ini kesempatan baginya untuk mundur, untuk menghentikan semua ini sebelum terlambat.
Tapi kemudian, pukul delapan malam, ponselnya bergetar. Sebuah pesan dari Arya.
Arya: "Mbak Maya, sudah makan malam? Jangan lupa istirahat ya. Sampai jumpa besok."
Jantung Maya berdesir. Pesan itu. Perhatian kecil yang begitu berarti baginya. Dan kata "Sampai jumpa besok"
terasa seperti sebuah janji.
Maya membalas singkat, Maya: "Sudah, Tuan. Terima kasih. Sampai jumpa."
Ia meletakkan ponselnya, memejamkan mata. Arya benar-benar serius. Dan ia juga, entah kenapa, semakin tenggelam dalam permainan berbahaya ini.
***
Keesokan paginya, Maya tiba di rumah Arya dengan perasaan yang lebih tegang dari biasanya. Ia tahu hari ini akan ada undangan makan malam. Ia mencoba bersikap biasa saja, fokus pada pekerjaannya.
Bi Sumi sudah menunggu di dapur. "Pagi, Mbak Maya.
Tumben Tuan Arya belum berangkat," katanya.
Maya sedikit terkejut. Arya belum berangkat? Ia biasanya sudah pergi sepagi ini. "Oh, iya, Bi. Mungkin ada pekerjaan yang harus diselesaikan di rumah."
"Mungkin," Bi Sumi mengangguk, namun ada tatapan aneh di matanya, seolah tahu sesuatu. Maya berusaha mengabaikannya.
Maya mulai membersihkan ruang tamu. Ia menyapu, mengepel, dan merapikan perabot. Setiap gerakan terasa lebih cepat dari biasanya. Ia ingin segera menyelesaikan pekerjaannya.
Tak lama kemudian, Arya muncul dari arah koridor. Ia tidak mengenakan setelan jas. Ia hanya mengenakan kaus polos berwarna putih yang menempel sempurna di tubuhnya, memperlihatkan bentuk bahu dan dadanya yang bidang. Celana jogger hitamnya juga pas, menonjolkan otot kakinya. Rambutnya sedikit acak-acakan, menambah kesan seksi pada dirinya. Sebuah penampilan yang sengaja menonjolkan fisiknya.
Jantung Maya berdebar kencang. Arya benar-benar melakukannya. Ia sengaja memakai pakaian yang menggoda.
"Pagi, Mbak Maya," sapanya, suaranya tenang, namun ada kilatan di matanya.
"Pagi, Tuan," jawab Maya, menunduk, tidak berani menatapnya terlalu lama.
Arya melangkah mendekat, lalu duduk di salah satu sofa. Ia mengambil sebuah majalah dari meja kopi,
membuka-bukanya, namun matanya sesekali melirik ke arah Maya.
"Ada yang perlu saya bantu?" tanyanya, suaranya rendah.
"Tidak usah, Tuan. Saya bisa sendiri," tolak Maya. Ia ingin segera pergi dari sana.
Arya terkekeh pelan. "Anda selalu menolak bantuan saya. Padahal saya sudah menawarkan diri."
Maya tidak menanggapi. Ia terus menyapu lantai, berusaha fokus.
"Ngomong-ngomong, Mbak Maya," Arya tiba-tiba berkata, nadanya berubah sedikit serius. "Saya butuh bantuan Anda di ruang kerja. Ada beberapa dokumen yang berantakan di meja saya. Saya ingin Anda yang menatanya."
Jantung Maya mencelos. Ruang kerja lagi. Dan ia tahu, ini bukan hanya tentang dokumen. Ini adalah alasan lain bagi Arya untuk menciptakan kedekatan.
"Baik, Tuan," kata Maya, ia tidak bisa menolak.
"Saya akan ada di sana. Jadi, Anda bisa datang kapan saja," kata Arya, senyum tipis terukir di bibirnya. Sebuah senyum yang penuh arti.
Arya kemudian bangkit dari sofa dan melangkah menuju ruang kerjanya. Maya hanya bisa menghela napas panjang. Ia tahu hari ini akan panjang.
Siang harinya, setelah Bi Sumi pulang, Maya memberanikan diri masuk ke ruang kerja Arya. Pria itu sudah duduk di mejanya, sibuk dengan laptopnya. Ia masih mengenakan kaus putih polos dan celana jogge hitam. Penampilannya yang santai itu justru membuatnya terlihat semakin menggoda.
"Tuan, saya akan mulai membersihkan meja Anda," kata Maya, berdiri di ambang pintu.
Arya mendongak. Matanya menatap Maya, sebuah senyum tipis terukir di bibirnya. "Silakan, Mbak Maya. Jangan sungkan."
Maya mengangguk, lalu melangkah masuk. Ia mengambil lap bersih. Ia mulai membersihkan meja Arya, menata tumpukan dokumen yang berantakan. Ia harus sedikit membungkuk untuk merapikan beberapa dokumen di sudut meja.
Ia bisa merasakan tatapan Arya padanya. Tatapan yang membakar. Ia mencoba mengabaikannya, fokus pada setiap lembar dokumen yang ia pegang.
"Anda tahu, Mbak Maya," Arya tiba-tiba berkata, suaranya rendah. "Saya suka cara Anda bekerja. Teliti, rapi, dan cepat."
"Terima kasih, Tuan," kata Maya, pipinya sedikit memerah.
"Saya tidak berlebihan," Arya tersenyum. "Saya bisa
melihat Anda punya standar yang tinggi dalam bekerja."
Maya hanya tersenyum tipis. Ia terus menata dokumen.
"Ngomong-ngomong, saya sudah memesan tempat untuk makan malam kita nanti," kata Arya, nadanya tenang, seolah itu adalah hal yang paling normal di dunia.
Jantung Maya berdesir. Undangan itu. "Oh, Tuan...
saya tidak enak."
"Jangan tidak enak, Mbak Maya," Arya tersenyum tipis. "Ini hanya makan malam. Sebagai bentuk terima kasih saya karena Anda sudah bekerja keras di sini."
Maya tidak bisa menolak lagi. Ia tahu Arya tidak akan menerima penolakan.
"Baik, Tuan," kata Maya, suaranya pelan.
"Bagus," Arya mengangguk. "Nanti saya jemput Anda di sini setelah pekerjaan Anda selesai."
Maya menelan ludah. Dijemput. Ini akan menjadi momen yang sangat pribadi.
Ia melanjutkan membersihkan meja Arya. Tiba-tiba, ia melihat sebuah foto di meja Arya. Sebuah foto Arya bersama seorang wanita cantik, kemungkinan besar mendiang istrinya. Wanita itu tersenyum lebar, terlihat sangat bahagia.
Maya menatap foto itu lama. Sebuah rasa bersalah yang kuat menghantamnya. Ia merasa seperti seorang
pengkhianat. Wanita di foto itu adalah mendiang istri Arya, dan ia... ia sedang bermain api dengan suaminya.
"Itu istri saya," suara Arya memecah keheningan.
Nadanya terdengar sedikit melankolis.
Maya menoleh. Arya menatap foto itu, ada kesedihan yang samar di matanya. "Dia orang yang baik."
"Dia terlihat cantik," kata Maya, tulus.
Arya tersenyum pahit. "Iya. Dia sangat mencintai saya. Dan saya... saya juga sangat mencintainya."
Kata-kata itu menusuk hati Maya. "Saya juga sangat mencintainya." Apakah itu berarti Arya masih mencintai mendiang istrinya? Lalu mengapa ia menggodanya seperti ini? Mengapa ia mengajaknya makan malam?
"Tapi hidup harus terus berjalan, kan?" Arya tersenyum tipis, sebuah senyum yang sulit diartikan.
"Saya harus move on."
Maya mengangguk pelan. Ia tidak tahu harus berkata apa. Perasaan bingung dan tidak nyaman mulai menyelimutinya.
Arya mengalihkan pandangannya dari foto, menatap Maya. Matanya menatapnya dalam, sebuah tatapan yang penuh g4irah, namun juga misteri.
"Bagaimana dengan Anda, Mbak Maya?" tanya Arya, nadanya rendah. "Apakah Anda sudah move on dari... sesuatu?"
Pertanyaan itu menghantam Maya. Ia tahu Arya tidak berbicara tentang kematian. Ia berbicara tentang kehampaan dalam pernikahannya.
Maya menunduk, tidak berani menatap mata Arya. Ia tidak bisa berbohong.
Arya tersenyum tipis. Ia beranjak dari kursinya, melangkah mendekat ke arah Maya. Ia berdiri di belakang Maya, begitu dekat, sehingga Maya bisa merasakan tubuhnya.
"Mbak Maya," bisik Arya, suaranya serak, tepat di telinga Maya. "Saya tahu Anda merasakan hal yang sama dengan saya. Sebuah kekosongan yang perlu diisi."
Tangan Arya terulur, menyentuh pinggang Maya perlahan. Sebuah sentuhan lembut, namun begitu sensu41. Jemarinya mengusap pinggang Maya, sebuah usapan yang membuat Maya menahan napas.
"Anda cantik, Mbak Maya," bisik Arya lagi, nadanya memuji, sebuah pujian yang kini terasa begitu intim. "Dan saya rasa, Anda tidak mendapatkan apa yang pantas Anda dapatkan."
Pengakuan itu menghantam Maya. Sebuah tawaran tersembunyi. Sebuah undangan untuk meninggalkan semua yang ia miliki, dan memulai sesuatu yang baru bersama Arya. Konflik batinnya memuncak.
Ia memejamkan mata, merasakan tangan Arya yang mengusap pinggangnya. Sebuah sentuhan yang begitu memabukkan, begitu sulit untuk ditolak. Ia tahu ia sedang bermain api. Dan api itu sudah membakar seluruh tubuhnya. Ia tidak tahu apa yang akan terjadi nanti malam, saat makan malam itu. Tapi ia tahu, ia ingin tahu. Sebuah tarikan yang terlarang, yang kini terasa begitu kuat, begitu sulit untuk ditolak.
gak bakal bisa udahan Maya..
kamu yg mengkhianati Tama...
walaupun kamu berhak bahagia...
lanjut Thor ceritanya