Sari, seorang gadis desa yang hidupnya tak pernah lepas dari penderitaan. Semenjak ibunya meninggal dia diasuh oleh kakeknya dengan kondisi yang serba pas-pasan dan tak luput dari penghinaan. Tanpa kesengajaan dia bertemu dengan seorang pria dalam kondisinya terluka parah. Tak berpikir panjang, dia pun membawa pulang dan merawatnya hingga sembuh.
Akankah Sari bahagia setelah melewati hari-harinya bersama pria itu? Atau sebaliknya, dia dibuat kecewa setelah tumbuh rasa cinta?
Yuk simak kisahnya hanya tersedia di Noveltoon. Dengan penulis:Ika Dw
Karya original eksklusif.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ika Dw, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 22. Demi Warisan
Rahmat senang secara tiba-tiba mendapati dua anaknya dari luar kota berkunjung ke rumahnya. Di usianya yang sudah sepuh tentu menjadi kebahagiaan tersendiri saat anak-anaknya mau berkumpul bersamanya. Mereka nampaknya juga sudah sukses dengan bisnisnya. Melihat kedatangan mereka membawa mobil pribadi, ia yakin kedua anaknya sudah berhasil menjalankan bisnisnya.
"Akhirnya kalian datang! Ayo kita masuk ke dalam!"
Dengan petantang petenteng anak laki-lakinya masuk ke dalam rumah. Dia terlihat begitu tak nyaman dengan keadaan rumah orang tuanya, padahal dulu pernah menjadi tempat ternyamannya sewaktu masih belum berumah tangga.
"Mimpi apa aku semalam tak disangka-sangka anakku berdatangan. Apa kalian berjanjian untuk datang ke sini?"
Pria tua itu duduk di bangku usang di ruang tamu. Kedua anaknya masih saja berdiri seolah-olah tak ingin menduduki kursi yang penuh dengan kemiskinan, padahal dulu pernah menjadi kursi ternyaman buat mereka.
"Nduk, cah ayu! Ayo buatkan minum buat budhe sama pakdhemu."
"Baik kakek!"
Setelah bersalaman Sari langsung bergegas ke dapur untuk membuatkan minuman. Perasaannya mulai tak nyaman, seperti ada sesuatu yang mengganjal tapi ia sendiri juga tidak memahaminya.
"Kenapa pakdhe sama budhe datang secara tiba-tiba ya? Kayaknya kedatangan mereka juga sangat terpaksa. Sebenarnya apa rencana mereka? Atau jangan-jangan mereka ingin membawa kakek pergi untuk dirawatnya? Kalau sampai kakek pergi aku harus bagaimana? Apakah mereka juga mengizinkanku untuk tinggal di rumahnya?"
Sari menghela nafas berat dan membuangnya perlahan. Begitu tak tenang hatinya takut kalau sampai mereka memperebutkan kakeknya untuk dirawat, sedangkan kakeknya lebih nyaman tinggal di kampung dengan mengurus kebun miliknya.
***
Di ruang tamu Rahmat tercengang saat kedua anaknya tak kunjung duduk di kursinya. Hatinya mulai tersinggung dan langsung melayangkan teguran pada mereka.
"Kalian nggak mau duduk dengan Bapak di sini? Apa karena rumah ini sudah tak layak di mata kalian? Apa kursi ini sudah tak bisa membuat kalian nyaman? Kalau kedatangan kalian karena terpaksa, lebih baik jangan datang sekalian! Tanpa kalian kunjungi Aku baik-baik saja hidup seperti ini. Sari merawatku begitu baik, jadi aku nggak butuh kepedulian kalian! Kalau kalian nggak nyaman duduk di sini mendingan kalian pergi! Bawa pulang oleh-oleh yang kalian bawa! Aku tak mau menyentuhnya!"
Pria tua itu tersulut emosi karena sikap anak-anaknya, suaranya yang lumayan lantang sampai terdengar ke dapur. Sari yang mendengarnya langsung beranjak dan mencoba untuk mencari tahu, sebenarnya apa yang sudah terjadi pada sang kakek. Dari balik pintu penghubung dapur dia menyimak obrolan mereka secara diam-diam.
"Pak! Memang kedatangan kami ke sini bukan bermaksud untuk mengunjungi Bapak, kami hanya ingin mengambil hak waris kami."
Dengan tidak tahu malunya Samuel dengan lantang meminta hak waris darinya. Dia tidak rela warisannya dimiliki oleh Sari yang selama ini sudah merawat ayahnya. Sari hanyalah cucu, sedangkan ia anak kandungnya yang memiliki hak atas harta orang tuanya.
"Apa kamu bilang? Jadi kedatangan kalian ke sini tidak berniat untuk berkunjung, tapi berniat ingin mengambil warisan? Dasar anak nggak tau diri! Tidak pernah merawat orang tua datang-datang minta warisan! Apa nggak malu dengan sepatu yang kalian pakai? Kalian sudah menjadi orang sukses, tapi datang menemui orang tua cuma mengharapkan warisan!"
"Sudahlah Pak! Jangan banyak omong! Aku ingin warisan ini dibagi dua! Aku sama mbak Salma!"
Dari situ Rahmat jadi tahu pola pikir anaknya. Dia begitu sangat kecewa sudah berkorban banyak untuk mereka hingga membuatnya sukses tapi kini balasan yang didapatnya begitu menyayat hati.
"Dibagi dua? Kalian pikir anakku cuma dua? Apa kalian tidak ingat masih memiliki saudara lagi!"
"Nurma maksudnya? Nurma sudah mati Pak! Mana ada orang mati dapat warisan! Nggak ada! Pokoknya aku minta semua warisan bapak atas nama kami berdua! Ayo cepat tunjukkan sertifikatnya dan kita harus mengurusnya sekarang!"
Samuel mendesak Rahmat untuk mengeluarkan sertifikat tanah yang dimilikinya untuk segera dibagi rata, sedangkan Rahmat tak setuju karena membagi tanah juga harus ada saksi dari aparat desa.
"Ayolah Pak! Cepat tunjukkan sertifikatnya pada kami! Kami nggak punya banyak waktu untuk berlama-lama di sini. Kami banyak pekerjaan, tolong jangan menunda-nunda kepulangan kami!"
"Astaghfirullah haladzim, otak kalian ternyata begitu dangkal! Datang ke rumah orang tua bukannya berkunjung tapi ingin berebut harta. Meskipun Nurma sudah tiada tapi dia memiliki anak, Sari juga berhak memiliki apa yang dimiliki oleh ibunya! Jadi orang jangan serakah kalian!"
Tubuh sari sampai gemetaran hebat mendengar pertengkaran mereka. Di situ ia hanyalah cucu, tak berhak untuk ikut campur urusan mereka, tapi ia juga tak tega mendengar kakeknya dibentak-bentak.
"Persetan sama Sari! Dia itu hanya cucu! Tidak memiliki hak apa-apa di sini! Ayo cepat tunjukkan di mana sertifikatnya! Jangan sampai kami menunggu lama!"
Dibentak-bentak anak sendiri membuatnya sakit hati. Selama ini tidak seorangpun berani membentaknya, dan kini anak yang diperjuangkannya mati-matian malah tega membentaknya hanya demi harta warisan.
"Dasar anak durhaka! Aku tidak akan memberikan hartaku kepada kalian! Kalian memang anak kandungku! Tapi aku tidak akan menyerahkan hartaku pada penjahat seperti kalian. Sebelum aku kehilangan kesabaranku lebih baik cepat pergi dari sini!"
Panang mundur sebelum mendapatkan apa yang menjadi tujuannya. Samuel yang kesal karena Rahmat tak kunjung menunjukkan sertifikatnya, dia pun langsung bergegas menuju kamar dan mengobrak abrik seluruh isinya. Bukan hanya Samuel saja, tapi Salma anak sulungnya juga ikut-ikutan mengobrak abrik seluruh ruangan yang ada di kamar ayahnya.
"Kalian sedang apa! Ayo keluar! Aku tidak mengizinkan kalian masuk! Ayo cepat keluar!"
Dengan sekuat tenaga Rahmat menarik tangan Samuel, tapi sayangnya Samuel malah menghempaskannya dengan sangat kasar hingga membuat Rahmat terjatuh dengan kepalanya membentur meja. Seketika itu darah segar keluar dari kepalanya. Salma panik melihat ayahnya sekarat, begitupun juga dengan Samuel, dia tak kalah panik setelah berhasil mengotori tangannya.
"Sam! Kenapa kau buat Bapak seperti ini? Bapak masih hidup kan? Dia masih nafas kan?"
Mereka berdua langsung jongkok untuk memastikan kalau ayahnya baik-baik saja. Di situ Salma tak berhenti menyalahkan adik laki-lakinya.
"Sam! Bagaimana ini! Kamu boleh kesal tapi nggak harus bunuh orang tua sendiri! Lihatlah Sam! Sepertinya Bapak ~~
"Tidak mungkin! Bapak masih hidup! Dia hanya pingsan! Ini bukan salahku! Ini salah bapak sendiri!"
Mendengar suara ribut-ribut yang tak enak didengar Sari langsung berlari untuk memastikan. Di situ matanya terbelalak kala melihat sang kakek sudah bersimbah darah di lantai.
"Ya Allah kakek! Kakek bangun kek! Kakek jangan tinggalin Sari kek! Kalau kakek pergi Sari bersama siapa?!"
Sari langsung meraih tubuh kakeknya dengan mengguncangnya perlahan. Dia berharap kakeknya masih bisa diselamatkan.
"Pakde! Budhe! Apa yang sudah kalian lakukan? Kenapa kalian tega membunuh kakek? Kalian jahat! Memangnya kakek punya salah apa sama kalian?"
"Diam!" Samuel membentaknya dengan melotot. "Kalau kau sampai berani buka mulut, maka nyawamu juga bakalan melayang!"