Dua keluarga yang terlibat permusuhan karena kesalahpahaman mengungkap misteri dan rahasia besar didalamnya
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon MagerNulisCerita, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kantor Polisi
Pagi itu, setelah cukup lama Micha menunggu Tiara bersiap, akhirnya sang empunya muncul juga dan segera berangkat bersama Micha.
Karena menunggu adiknya itu, Micha terpaksa sedikit terlambat masuk kerja dibandingkan Nathan dan ayah mereka. Meski begitu, ia tetap berusaha bersikap tenang.
“Dek, kamu mau berhenti di mana buat beli cemilan?” tanya Micha sambil tetap fokus pada kemudi.
“Hmm… di mana ya? Oh! Di Alfamart depan gang itu aja, Kak,” jawab Tiara sambil menunjuk ke depan dengan antusias.
“Oke. Tapi masih ada uang jajan nggak?” Micha melirik sekilas.
Tiara langsung memasang wajah dramatis.
“Masih ada, yang mulia… tapi apabila yang mulia berkenan memberikan sedikit rezekinya, hamba akan bersyukur tak terhingga,” ucapnya sambil mengatupkan dua tangan, pura-pura memohon.
Micha hanya bisa menggeleng sambil tersenyum kecil melihat tingkah adiknya.
“Dasar. Udah, pakai ATM Kakak aja ini. Kamu hafal kan PIN-nya?”
Tiara langsung bersinar.
“Ohhh terima kasih, wahai Donatur Agung! Tentu saja hamba hafal di luar kepala,” jawabnya penuh drama.
Namun beberapa detik kemudian, Tiara menatap jam di ponsel.
“Kak, kayaknya aku belanja di mall dekat kantor aja deh. Biar Kak Micha nggak makin terlambat.”
Micha mengangguk. “Ya sudah, terserah kamu. Yang penting cepat.”
Tiba di Kantor
Begitu sampai di kantor, Micha langsung masuk lebih dulu, sementara Tiara berhenti sebentar untuk membeli cemilan di minimarket dekat lobi.
“Kakak masuk duluan ya. Kamu tau kan ruangan Kakak?” ujar Micha sambil merapikan kemejanya.
“Siap, bos. Aman,” jawab Tiara ringan.
Saat Micha masuk, beberapa karyawan langsung menyapa.
“Selamat pagi, Pak Micha!” seru mereka serempak.
“Pagi semuanya,” jawab Micha dengan gaya cool khasnya.
Tak lama kemudian, Tiara datang sambil mendorong troli cukup besar berisi berbagai cemilan.
“Pagi semua! Eh, Kak Nadin, Kak Aulia—apa kabar?” sapa Tiara ceria.
Aulia tertawa kecil melihat tingkahnya.
“Eh, Tiara. Udah besar aja kamu, ya?”
“Ya iyalah, masa mau kecil terus—” ucapan Tiara terpotong karena mendengar suara satpam kantor.
“Eh, Non Tiara. Tumben ke sini,” sapa Pak Toni.
Tiara melambaikan tangan.
“Halo, Pak! Makin subur aja nih,” candanya yang langsung disambut tawa kecil.
“Bagaimana kabarnya, Kak Aul, Kak Nad, Pak Toni?
Ngomong-ngomong, kalian sudah beli cemilan belum? Nih, aku bawa banyak. Ada kopi sama teh kemasan juga. Kalau mau, ambil aja.”
Nadin dan Aulia saling pandang.
“Wah, kebetulan banget ya, Nad. Kita jarang beli cemilan gini. Ngirit,” ujar Aulia.
“Betul… betul… betul,” Nadin dan Pak Toni menjawab kompak.
“Ya sudah, ambil saja ya. Sekalian dibagi-bagikan buat yang lain juga,” kata Tiara.
“Oh iya, Pak Toni. Saya mau minta tolong kirim troli ini ke Alfamart samping ya. Hehe, makasih ya, Pak,” ujar Tiara.
“Siap, Non,” jawab Pak Toni.
Tiara kemudian memberikan satu kantong keresek besar pada Pak Toni. Karena ia sudah minta tolong, keresek itu diam-diam berisi dua lembar uang merah.
“Terima kasih, Nona,” kata Pak Toni sopan.
“Oke semua, aku ke atas dulu ya. Mau ke ruangannya bos besar,” ucap Tiara.
“Oke!” jawab Nadin dan Aulia sambil melambaikan tangan.
Setelah Tiara menghilang di balik lift, mereka pun berpencar kembali ke pekerjaan masing-masing.
Di Ruangan Micha
“Udah belanja?” tanya Micha tanpa menoleh, masih sibuk merapikan berkas untuk meeting siang.
“Sudah aman, Pak Micha. Ini lho, Tia bawain cemilan dan minuman favorit Bapak,” jawab Tiara sambil menaruhnya di meja.
“Taruh sini aja ya, Dek.”
Tiara mencondongkan tubuh sedikit. “Ada yang bisa dibantu, Pak?”
“Kamu tolong rapikan ini. Terus, nanti jam satu siang kita ada rapat. Kakak minta kamu buatkan PPT-nya dan cek kelengkapannya. Pastikan nggak ada data yang anomali,” ujar Micha.
Tiara mengangkat alis.
“Banyaknye tugas awak ni… tapi takpe lah. Masih gampang. Je ni” khas suara kartun kesayangannya
Ia kemudian fokus menatap layar komputer. Tangannya cekatan membuat file presentasi seperti yang diminta Micha. Hampir dua jam ia tenggelam dalam pekerjaan hingga akhirnya selesai sekitar pukul 11.30.
“Pak, udah nih. Monggo dicek,” kata Tiara sambil memutar kursi ke arah Kakaknya.
Micha meninjau cepat. “Bagus. Yuk, sekarang ke kantin. Jangan lupa filenya sudah disimpan.”
“Seriusan bagus? Wah, jago juga ternyata diriku ini. Udah Tia save kok. Aman!” jawab Tiara bangga.
Mereka pun berjalan menuju kantin untuk makan siang.
Sementara itu, di Kantor Polisi
Aldi sedang menjalani pemeriksaan intensif, didampingi ayahnya, ibunya, dan pengacara keluarga, Pak Hamdan. Wajah semua terlihat tegang dan lelah.
“Melihat perkembangan kasusnya, sepertinya akan cukup sulit, Pak,” ujar Pak Hamdan sambil berjalan menuju lobi.
“Terlebih keluarga almarhum sudah menyerahkan bukti baru. Aldi terjerat pasal 344 KUHP dan pasal 642-644 KUHP baru, dengan ancaman maksimal 15 tahun penjara jika terbukti memaksa dan menekan korban melakukan aborsi serta menghilangkan nyawa.”
Alfian menarik napas panjang. “Lalu… adakah cara agar Aldi bisa terbebas dari pidana, Pak?”
Pak Hamdan menggeleng pelan. “Sulit, Pak. Bukti baru itu sangat memberatkan kita. Kecuali…”
“Kecuali apa, Pak?” Alfian bertanya cepat, penasaran.
“Kecuali keluarga almarhum mencabut tuntutannya.”
“Tapi—”
Ucapan Hamdan langsung terpotong oleh teriakan histeris seorang wanita.
“Dasar pembunuh! KALIAN PEMBUNUH ANAK SAYA!”
Wanita itu melempar tomat busuk ke arah Aldi dan keluarganya. Lemparannya bertubi-tubi.
“Sabar, Bu. Tolong sabar. Serahkan semuanya ke pihak berwajib,” ujar suaminya berusaha menenangkan.
Alfian terpancing emosi.
“Apa maksud Anda?! Saya bisa tuntut Anda balik atas tindakan tidak menyenangkan!”
“Pah, sudah! Jangan tambah masalah!” Ratri menarik tangan suaminya.
“Aku nggak peduli!” wanita itu kembali melempar, mengenai bahu Ratri dan kepala Aldi.
Mereka semua terpaksa berlari menghindar. Orang-orang yang menyaksikan ikut menatap sinis, membuat Alfian merasa sangat dipermalukan.
“Lihat itu semua! Ini dia keluarga pembunuh yang membuat anak saya meninggal!” teriak wanita itu tak berhenti.
Begitu berhasil masuk mobil, Alfian memukul setir keras-keras.
“Sialan! Lihat apa yang kamu lakukan, Al! Lihat itu!”
“Papah, sabar,” ujar Ratri lembut.
“Maaf, Pah…” Aldi menunduk, suaranya nyaris tak terdengar.
Mobil pun melaju pergi. Mereka sedikit lega karena akhirnya terbebas dari serangan tomat busuk itu.
Sore Hari di Rumah Hutomo
Angga, Marvin, dan Pak Hutomo baru saja tiba di rumah. Suasana rumah tampak tenang, tetapi raut wajah mereka menyimpan kekhawatiran.
“Pah, kayaknya kita perlu silaturahmi ke keluarga almarhum Nina,” kata Angga.
“Untuk meredam opini publik terhadap Hutomo Group. Sepertinya itu belum sama sekali dilakukan Alfian.”
Pak Hutomo mengangguk.
“Papah juga sudah terpikir hal yang sama dari kemarin.”
“Kalau gitu, kita ke sana malam ini, Pah.”
“Lebih cepat lebih baik. Kamu hubungi Fauzan, minta dia pastikan situasinya aman,” jawab Pak Hutomo.
“Baik, Pah. Angga urus sekarang.”
Tak lama kemudian, Naura turun dari lantai atas.
“Loh, Ayah, Kakek, Kak Vino udah pulang?” tanya Naura senang.
“Kebetulan aku udah masak spesial. Jadi habis kalian mandi, kita makan bareng ya. Yah, Kek, Kak,” katanya bersemangat.
“Iya, sayang,” jawab ayahnya tersenyum hangat.
“Kakek dibuatin apa nih sama cucu cantik?” tanya Pak Hutomo, memijit-mijit bahu Naura manja.
Naura hanya tersenyum misterius. “Rahasia. Udah sana mandi dulu… bau tau!” ujarnya sambil mendorong mereka bercanda.
Tawa kecil mengalir di rumah itu. Ketiganya pun segera bergegas membersihkan diri, penasaran dengan menu makan malam spesial yang yang disiapkan satu-satunya cucu perempuan keluarga Hutomo.