NovelToon NovelToon
Cintaku Kepentok Bos Dingin

Cintaku Kepentok Bos Dingin

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / CEO / Crazy Rich/Konglomerat / Cinta Seiring Waktu / Wanita Karir / Angst
Popularitas:2.2k
Nilai: 5
Nama Author: Erika Ponpon

Nagendra akankah mencair dan luluh hatinya pada Cathesa? Bagaimana kisah selanjutnya?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Erika Ponpon, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

5

Pagi itu, Nagendra datang ke kantor lebih cepat dari biasanya.

Tidak ada kopi. Tidak ada jas abu-abu khasnya.

Hari ini, ia mengenakan kemeja hitam dan wajahnya… lebih dingin dari biasanya.

Bahkan saat aku menyodorkan laporan sambil mengucapkan, “Selamat pagi, Pak,” dia hanya menjawab dengan anggukan kecil dan langsung masuk ke ruangannya.

Tidak sampai lima menit, pintu ruangannya terbuka lagi.

“Cathesa,” panggilnya.

Aku langsung berdiri. “Iya, Pak?”

Dia menatapku sebentar. Mata hitamnya tajam, tapi ada sesuatu yang berbeda. Seperti… beban.

“Kamu batalkan semua jadwal saya siang ini sampai malam.”

Aku mengangguk cepat. “Baik. Ada hal penting, Pak?”

Dia tidak langsung menjawab.

Lalu, dengan nada datar:

“Ayah saya menyuruh saya pulang ke rumah orang tua.”

Aku menelan ludah. “Oh…”

Dan seperti biasa, aku menunggu dia melanjutkan tanpa bertanya terlalu banyak. Tapi justru hari ini, dia menambahkan kalimat baru.

“Ada seorang gadis baru datang dari luar negeri. Katanya… calon tunangan.”

Dunia seperti membeku sejenak.

Aku mengedip, berpikir aku salah dengar. Tapi tidak. Dia mengatakan itu sambil berdiri tegak, wajahnya nyaris tanpa emosi. Seperti sedang membaca headline berita cuaca.

“Calon tunangan, Pak?”

Suaraku nyaris terdengar seperti… retakan.

Nagendra menatapku.

“Pilihan ayah saya. Sejak kecil, beliau selalu berencana menikahkan saya dengan anak kolega lamanya.”

Aku mengangguk pelan, pura-pura tidak kaget. Pura-pura ini biasa saja. Pura-pura aku cuma sekretaris biasa yang tidak pernah menyimpan salinan semua chat dia di notes HP.

“Oh… ya. Saya mengerti.”

“Dia baru tiba pagi ini. Ayah bilang saya harus pulang dan bertemu.”

“Lalu… akan dilanjutkan?”

Aku tidak tahu kenapa aku bertanya. Tapi pertanyaan itu meluncur sendiri dari bibirku.

Nagendra menatapku lebih lama kali ini. Tatapannya tajam tapi tidak keras. Lebih seperti… seseorang yang ingin jujur tapi terkurung.

“Ayah saya tidak pernah tanya apakah saya mau.”

Siang itu, aku menatap layar laptop kosong. Email belum kubalas. Telepon belum kuangkat. Tapi pikiranku sibuk bertanya-tanya…

Kalau benar dia akan menikah, kenapa dia masih memberiku pin sayap kecil kemarin?

Kenapa dia minta aku ikut ke event klien?

Kenapa dia bilang aku… beda?

Sementara itu, di dalam mobil hitam mewah yang melaju ke rumah keluarga Alejandro…

Nagendra duduk diam di kursi belakang.

Wajahnya seperti patung. Tapi tangannya menggenggam ponsel.

Ia membuka layar chat. Kontak paling atas: Cathesa.

Jempolnya sempat mengetik:

“Jangan pikirkan soal tunangan itu.”

Tapi dia hapus lagi.

Kemudian dia ganti:

“Kamu akan tetap ikut ke event gala minggu ini.”

Lalu dikirim.

Beberapa detik kemudian…

balasan masuk.

“Baik, Pak. Saya akan hadir. Profesional.”

Ia membaca kata terakhir itu—‘profesional’—dan entah kenapa…

Dada kirinya terasa sedikit… sesak.

...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...

Mobil hitam itu berhenti di depan mansion keluarga Alejandro—gedung besar penuh kaca, taman terawat, dan kesan bahwa uang bukan masalah di rumah ini.

Nagendra turun dengan langkah tegap, tapi wajahnya gelap. Ini bukan rumah, ini panggung perintah. Dan hari ini… dia tahu siapa yang jadi aktor utama selain dirinya.

Saat masuk ke ruang tamu, seorang wanita berambut hitam panjang berdiri di sana dengan elegan, sambil menyesap teh dari cangkir porselen putih.

Parfum mahal itu lagi.

Senyumnya lembut, tapi tajam.

“Halo, Nagi.”

Suaranya manis, seolah waktu tidak pernah mencabik hubungan mereka.

Nagendra berdiri kaku. “Adeline.”

Ya. Dia.

Adeline Marquez—wanita yang kemarin datang ke kantornya.

Mantan kekasih yang meninggalkannya bertahun-tahun lalu demi ambisi dan keluarga bangsawan Spanyol.

Dan sekarang… kembali.

Dengan status baru: Calon tunangan yang dipilih orang tuanya.

Sebelum Nagendra sempat bertanya apapun, muncul suara lain dari arah tangga:

“Adeline sudah kembali dari Madrid untukmu, Nagi. Jangan kecewakan kami.”

Suara lembut tapi tegas itu milik Ibu Nagendra, Ny. Anneliese Alejandro.

Wanita paruh baya berpenampilan anggun dengan tatapan yang bisa membungkam direktur manapun. Ia berjalan perlahan, memandang Adeline lalu Nagendra, seolah melihat dua pion catur yang harus ditempatkan kembali ke posisi yang benar.

“Nak, dia bukan orang asing. Kalian sudah saling mengenal. Lebih mudah membangun pernikahan dengan orang yang sudah tahu siapa kamu.”

Nagendra menahan napas.

“Dia juga orang yang sudah meninggalkan saya tanpa sepatah kata,” katanya tenang.

Ibunya menatap dengan dingin. “Dan sekarang dia kembali. Untuk memperbaiki semuanya. Ayahmu setuju. Kami ingin pernikahan ini terjadi. Bukan hanya karena status. Tapi karena keluarga kita butuh stabilitas.”

“Jadi saya bagian dari perjanjian bisnis?” tanyanya, datar.

Adeline maju selangkah.

“Nagi, aku kembali bukan karena paksaan. Aku memang—”

“Jangan panggil aku Nagi,” potongnya cepat.

Suasana menjadi dingin. Bahkan lebih dingin dari AC 18 derajat di ruang tamu itu.

Di tempat lain…

Cathesa sedang duduk di balkon apartemen Rey sambil menatap laptop yang tak kunjung dibuka. Pikirannya jauh.

Rey keluar dengan dua gelas cokelat hangat dan langsung menatap sahabatnya yang kini lebih sering diem daripada ngoceh soal oppa fiksi.

“Aku tahu kamu mikirin dia,” kata Rey.

Cathesa menghela napas. “Gimana kalau tunangannya… adalah wanita kemarin itu? Yang parfum mahal?”

Rey menaikkan alis. “Serius?”

Cathesa mengangguk lemas. “Feeling-ku buruk. Dan… kenapa ya, aku bisa secemas ini? Padahal dia bukan siapa-siapaku.”

Rey menyodorkan cokelat.

“Karena kamu berharap jadi seseorang buat dia. Meski kamu sendiri belum berani ngakuin.”

Kembali ke rumah Alejandro…

Nagendra berdiri mematung di teras, menatap langit yang mulai mendung.

Langkah kaki Adeline mendekat, pelan.

“Bolehkah aku menjelaskan?” tanyanya.

Nagendra menoleh, tatapannya kosong.

“Aku hanya akan menikah dengan orang yang bisa membuatku… merasa hidup lagi.”

Adeline menatapnya, tapi tak berkata apapun.

Karena tanpa dia tahu…

di benak Nagendra, yang muncul bukan wajah wanita di hadapannya.

Tapi suara riuh Cathesa saat kesandung printer.

Atau wajah panik Cathesa saat salah kirim dokumen.

Atau… secangkir kopi manis yang tidak pernah disentuh, tapi selalu dinanti.

...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...

Adeline menatap punggung Nagendra yang makin menjauh ke dalam taman. Dingin. Tegas. Tak berubah.

Tapi justru itulah yang membuat dia kembali.

Nagendra Ramiel Alejandro — pria yang tidak mudah dimiliki, tapi justru selalu diinginkan.

Adeline merapikan gaunnya, lalu melangkah masuk kembali ke ruang tengah, tempat Ny. Anneliese Alejandro sedang duduk menyesap teh bergaya bangsawan.

“Aku tak menyangka dia masih semarah itu,” ujar Adeline pelan.

Ny. Anneliese mendongak. Tatapannya tajam, tapi terukur.

“Kamu tahu bagaimana Nagendra. Tapi dia akan luluh… kalau kamu konsisten.”

Adeline tersenyum tipis.

“Kalau begitu, saya akan lebih dari sekadar konsisten. Saya akan pastikan dia tak berpaling pada siapapun.”

Tatapan Ny. Anneliese melunak sedikit. Ia menaruh cangkirnya, lalu berkata tenang,

“Anak itu terlalu keras kepala. Tapi kamu punya apa yang dibutuhkan untuk menaklukkannya. Keluarga kami butuh wanita seperti kamu. Berkelas. Terkendali. Tidak sembarangan.”

Adeline menunduk hormat. Tapi di balik senyumnya… ada nyala kecil yang makin besar.

“Saya tidak datang sejauh ini untuk kalah, Nyonya. Kali ini… saya akan benar-benar menjadi Nyonya Alejandro.”

1
Rian Moontero
lanjuutt🤩🤸
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!