Di balik gaun pengantin dan senyuman formal, tersembunyi dua jiwa yang sejak lama kehilangan arti cinta.
Andre Suthajningrat—anak dari istri kedua seorang bangsawan modern, selalu dipinggirkan, dibentuk oleh hinaan dan pembuktian yang sunyi. Di balik kesuksesannya sebagai pengusaha real estate, tersimpan luka dalam yang tak pernah sembuh.
Lily Halimansyah—cucu mantan presiden diktator yang namanya masih membayangi sejarah negeri. Dingin, cerdas, dan terlalu terbiasa hidup tanpa kasih sayang. Ia adalah perempuan yang terus dijadikan alat politik, bahkan oleh ayahnya sendiri.
Saat adik tiri Andre menolak perjodohan, Lily dijatuhkan ke pelukan Andre—pernikahan tanpa cinta, tanpa pilihan.
Namun di balik kehampaan itu, keduanya menemukan cermin dari luka masing-masing. Intrik keluarga, kehancuran bisnis, dan bayang-bayang masa lalu menjerat mereka dari segala sisi. Tapi cinta… tumbuh di ruang-ruang yang retak.
Bisakah dua orang yang tak pernah dicintai, akhirnya belajar mencintai?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon khayalancha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 13
Daun jendela terbuka setengah, membiarkan angin tipis membawa aroma pohon kamboja dari halaman kecil.
Andre duduk di ruang kerja, memandangi dinding kosong. Ponselnya tergeletak di meja, layar retak di ujung karena ia sempat membantingnya pelan ke meja setelah keluar dari rumah Sultan Munier. Tamparan tadi masih membekas, bukan hanya di pipi, tapi jauh di dalam dadanya.
Ia tidak ingin pulang. Tapi ia juga tahu, tidak ada tempat lain.
Lily tidak ada di rumah. Ia membaca catatan singkat di kulkas, ditulis dengan spidol hitam:
“Ada urusan urgent di restoran. Jangan lupa makan. – L.”
Catatan kecil itu membuat dadanya terasa aneh. Lily—dengan segala sikap formalnya—selalu memperhatikan. Tidak cerewet, tidak rewel, tapi ada. Diam-diam peduli.
Ia bangkit dari duduk saat terdengar suara klakson dari halaman depan.
Lily menyuruh supirnya, Pak Usman, menjemput.
“Mas Andre, Bu Lily minta saya antar ke restoran. Beliau tunggu di sana,” kata Pak Usman sambil membuka pintu mobil.
Andre hanya mengangguk dan masuk tanpa banyak tanya. Di sepanjang perjalanan, ia memandang ke luar jendela, menyimpan semuanya—amarah dari ayahnya, rasa tertohok dari Bowo, dan perasaan ingin memeluk Lily tanpa alasan logis.
...****************...
Restoran milik Lily yang kedua—Lanterra—berlokasi di bangunan bergaya kontemporer industrial, dinding bata ekspos dengan langit-langit tinggi, tanaman menjuntai dari atas, dan meja kayu gelap yang elegan. Tak terlalu besar, tapi hangat. Eksklusif.
Begitu masuk, Andre melihat Lily berdiri di sisi dapur terbuka, berbicara dengan chef. Ia mengenakan midi dress warna marun dengan lengan terbuka dan rambut dicepol rapi, tampak sibuk tapi anggun.
Mata mereka bertemu.
“Hai,” sapa Lily sambil berjalan menghampiri. “Maaf ya, aku minta Usman jemput. Kamu nggak makan siang, kan?”
Andre menggeleng. “Nggak sempat.”
“Pas. Duduk. Aku siapin makanannya.” Lily tersenyum tipis.
Beberapa staf melirik dengan penasaran, tapi tidak ada yang berani bergosip. Semenjak bekerja di jaringan restoran Lily, mereka tahu aturan: semua urusan pribadi pemilik adalah rahasia negara.
Lily membawa sepiring steak medium rare, mashed potato, dan salad segar.
“Makan, aku temenin,” katanya sambil duduk di hadapan Andre.
Mereka makan berdua, hanya diselingi suara sendok dan pisau memotong daging. Tak lama, Lily memesan dua gelas wine.
“Pakai ini biar makan malammu lebih enak,” katanya ringan, mengangkat gelas.
Andre menyambut dengan mengangkat gelasnya juga.
“Cheers… buat apa?” tanya Andre.
Lily tersenyum. “Buat… kita masih waras di tengah keluarga yang absurd.”
Andre tertawa pendek. “Bisa dibilang begitu.”
Mereka minum. Satu gelas. Dua gelas. Obrolan mengalir. Tentang restoran, tentang klien, tentang partner bisnis Andre yang menyebalkan. Lily mendengarkan. Ia bahkan menyarankan beberapa cara membaca laporan keuangan yang ia pelajari dari Harvard.
“Nih… laporan ini janggal banget. Kalau gini bentuknya, fix orang dalam muter dana,” komentar Lily sambil melihat tablet Andre.
Andre melirik ke arahnya. “Pintar juga kamu.”
“Aku lulusan MBA, Mas. Masa kalah sama kamu yang cuma… apa, anak kedua?”
Andre terdiam sejenak, lalu tertawa.
“Itu kena,” katanya lirih.
Lily tersenyum. “Sorry. Aku cuma pengen kamu tahu… kamu bisa berdiri sendiri, Mas. Tanpa keluarga itu.”
Wine membuat pipi mereka memerah.
⸻
Pulang ke Rumah Bata Merah
Mereka pulang menjelang tengah malam. Mobil Lily melaju pelan di bawah lampu jalan yang temaram. Tak ada kata-kata selama perjalanan, hanya sesekali tawa kecil ketika mengingat percakapan konyol tadi.
Setibanya di rumah, Lily melepas sepatu hak tingginya dan masuk duluan. Andre mengikutinya, masih dengan dasi longgar dan kemeja separuh terbuka.
Di dapur, Lily mengambil dua botol soda dari kulkas.
“Mau?” tanyanya.
“Boleh,” Andre mendekat.
Saat Lily hendak membuka botol dengan alat, botolnya terjatuh ke lantai.
“Duh!” Lily menunduk cepat untuk mengambilnya, tapi kepalanya terpeleset ke arah Andre… dan tubuhnya jatuh tepat ke pangkuan Andre yang duduk di kursi dapur.
Mereka terdiam.
Wajah mereka nyaris bersentuhan.
Napas Lily terengah karena kaget, sementara Andre terpaku. Tangannya refleks menahan punggung Lily agar tak jatuh.
“Maaf,” bisik Lily.
Andre tak menjawab.
Ia hanya menatap mata Lily. Sekian detik yang terasa seperti selamanya.
Dan tanpa aba-aba…
Mereka berciuman.
Tidak ada kata-kata.
Ciuman itu lembut, lalu berubah dalam. Lily tidak menolak. Ia justru menarik leher Andre mendekat, membalas dengan hangat. Mungkin karena wine. Mungkin karena luka yang tak pernah mereka bagi. Atau mungkin karena… akhirnya, mereka berhenti menahan.
Ciuman itu membawa mereka ke kamar Lily.
⸻
Pagi Hari
Sinar matahari pagi menembus tirai putih. Lily menggeliat pelan, tubuhnya terasa berat… dan dingin.
Ia membuka mata.
Langit-langit kamarnya.
Seprai kusut.
Dan… telanjang.
Ia melirik ke sisi tempat tidur.
Andre juga telanjang.
Tubuhnya menyamping, lengan masih melingkar di pinggang Lily seolah semalam… mereka saling mencari perlindungan.
Lily menarik napas cepat, menegakkan tubuh.
Saat ia melihat ke bawah, matanya membelalak.
Ada noda darah di seprai.
Ia menggigit bibir.
Wajahnya memucat. Tapi ia tak menjerit.
Hanya duduk diam. Menatap tubuh Andre yang masih tertidur… dan mencoba memahami apa yang baru saja terjadi.
...****************...
Sinar matahari pagi menyelinap dari sela tirai gorden linen putih di kamar Andre. Cahaya hangat itu jatuh tepat di wajahnya, membangunkannya dari tidur lelap yang terasa aneh—dan… samar.
Kepalanya berat. Ia membuka mata perlahan dan memicingkan pandangan.
Seprai kusut. Bantal berserakan.
Dan tubuhnya… telanjang.
Andre terdiam. Helaan napasnya menggantung di udara.
Ia menoleh ke sisi tempat tidur. Kosong. Tak ada Lily. Tak ada suara apa pun dari kamar. Hanya detak jarum jam yang terasa sangat pelan dan menusuk telinga.
Sekilas, bayangan tadi malam kembali. Wine. Senyum Lily. Kecupan di dapur. Napas memburu. Ciuman. Sentuhan. Ranjang.
Namun semua seperti mimpi samar yang terlalu absurd untuk diyakini sepenuhnya.
“Apa… gue mimpi?”
Ia bangkit perlahan, menutupi tubuhnya dengan selimut. Di balik rasa hangat yang tersisa di kulitnya, ada satu sensasi yang tidak ia pahami: seolah ia baru saja melewati sesuatu yang penting—dan tidak direncanakan.
Dengan langkah pelan, ia menuju kamar mandi. Air dingin membasuh wajahnya. Ia berdiri lama di bawah pancuran, berharap sisa mabuk dan kebingungan bisa larut ke saluran air.
Setelah mengenakan kemeja dan celana kain longgar, Andre keluar dari kamar dan turun ke dapur.
Dan di sanalah Lily. Duduk di meja bar, mengenakan kaus putih longgar dan celana linen warna krim. Rambutnya digerai, sedikit kusut, namun wajahnya tetap tenang seperti biasa.
Ia sedang menyuap potongan roti gandum dengan alpukat dan telur rebus, tampak tenang, nyaris… terlalu tenang.
Andre berdiri sejenak di ambang pintu, lalu mendekat. “Pagi.”
Lily menoleh sebentar. “Pagi.”
Suara itu biasa saja. Tidak kaku. Tidak hangat. Tidak juga canggung.
“Udah dari tadi?” tanya Andre sambil menarik kursi dan duduk di sebelahnya.
“Lumayan,” jawab Lily. “Lapar.”
Andre mengambil segelas air dari dispenser dan meneguknya cepat. Lalu diam beberapa detik sebelum bertanya, “Kamu ke kantor hari ini?”
Lily menggeleng pelan. “Nggak. Hari ini aku di rumah aja.”
Andre menatap wajahnya, mencoba membaca sesuatu. “Kamu nggak enak badan?”
Lily masih menunduk pada rotinya. “Cuma agak pegal.”
Andre menahan napas. “Luka bakarmu… kenapa? Sakit lagi?”
Kali ini Lily mengangkat kepala, menatap Andre sejenak. Matanya teduh, tapi tajam. “Bukan karena itu.”
Andre mengangguk pelan, tak bertanya lagi.
Beberapa menit mereka sarapan dalam diam. Hanya suara sendok dan garpu yang saling bersahutan dengan napas tertahan.
Kemudian Lily berkata, “Kamu harus ke kantor, kan? Masalah laporan dan CCTV itu?”
Andre mendengus kecil. “Kayaknya masalah makin besar.”
“Kalau gitu cepat selesaikan.” Lily menyuapkan potongan terakhir ke mulutnya. “Nggak ada gunanya duduk-duduk di sini sambil bengong.”
Andre menatapnya. “Kamu marah?”
Lily menoleh pelan. “Kenapa aku harus marah?”
Andre tak menjawab. Mereka saling memandang beberapa detik, sampai akhirnya Lily bangkit dan merapikan piringnya.
“Aku akan beresin beberapa dokumen dulu. Nanti sore mungkin panggil tukang bersih-bersih buat kamar,” ucap Lily sambil berjalan ke wastafel.
Andre menatap punggungnya. Rasanya ingin berkata sesuatu. Tapi ia memilih tidak.
Saat Andre beranjak dari meja dan bersiap mengambil tas laptopnya, suara ringan terdengar dari arah tangga belakang.
“Permisi, Mas,” ucap Bu Murni, salah satu pelayan lama rumah itu.
Andre menoleh. “Iya?”
Bu Murni mendekat sambil membungkuk sedikit. “Tadi pagi saya bersih-bersih kamar Mas Andre… dan… itu… saya lihat… ada sedikit noda darah di seprei…”
Andre terdiam.
Bu Murni tampak bingung, tidak tahu harus mengartikan apa. “Mungkin… Mas Andre terluka ya? Saya bisa bantu cuci… atau mungkin… ganti baru?”
Andre masih diam. Wajahnya tidak memperlihatkan ekspresi apa pun, tapi napasnya sempat terhenti sedetik.
Lily yang masih di dapur, juga membeku di tempatnya.
Seketika itu, semua ‘mimpi’ tadi malam terasa nyata. Dan Andre tahu… ini bukan hanya mimpi.
Ini awal dari kenyataan yang tidak bisa mereka abaikan lagi.
...----------------...