kisah fiksi, ide tercipta dari cerita masyarakat yang beredar di sebuah desa. dimana ada seorang nenek yang hidup sendiri, nenek yang tak bisa bicara atau bisu. beliau hidup di sebuah gubuk tua di tepi area perkebunan. hingga pada akhirnya sinenek meninggal namun naas tak seorangpun tahu, hingga setu minggu lamanya seorang penduduk desa mencium aroma tak sedap
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon iwax asin, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 20: Guntur, Pewaris Darah Hitam
Malam itu, angin berhembus dingin dari arah barat, membawa aroma aneh yang membuat bulu kuduk berdiri. Di sebuah gubuk reot di perbatasan desa, sosok pria berjubah hitam duduk bersila di atas tikar pandan. Di hadapannya, asap dupa menari pelan, membentuk wajah-wajah samar yang menjerit kesakitan.
Itulah Guntur. Dukun dari desa seberang. Namun bukan sembarang dukun. Ia adalah keturunan langsung dari Ki Jagatrowo, seorang pemuja ilmu hitam yang telah lama dimusnahkan oleh leluhur Karangjati.
Guntur (berbisik pada asap):
“Tinggal dua kunci lagi… dan kurungan leluhur mereka akan terbuka. Kalian akan bebas. Dan Karangjati akan tunduk di bawah kakiku.”
Seketika asap itu menebal, dan sebuah suara parau terdengar:
“Darahmu… sudah cukup hitam untuk membuka pintu itu, Guntur… Tapi waspadalah, ada satu pewaris cahaya yang akan menghalangi.”
Guntur: “Aji... murid pesantren yang baru pulang itu? Ha! Ilmu kebatinannya belum seujung kukuku. Biar kuhadiahi dia mimpi buruk…”
Siasat Pak Bolot dan Jejak Batu Kedua
Sementara itu, di rumah Pak Bolot yang penuh sarang laba-laba, Aji, Udin, dan Pedot duduk melingkar sambil menyeruput wedang jahe. Pak Bolot sedang menyusuri ingatannya yang kabur, sesekali menggaruk kepala.
Pak Bolot: “Hmm… yang satu ditanam di kebon jambu belakang surau… yang satu maneh… hmm… lali, tapi yang jelas deket pos ronda lama.”
Pedot: “Lah, nek kebon jambu belakang surau itu, sekarang kan jadi tempat jualan gorengan, Ji!”
Udin: “Iyo, Mbak Surti dagang di situ. Masa mau kita bongkar dagangannya?”
Aji hanya tersenyum kecil. “Kalau memang itu tempatnya, kita harus izin baik-baik.”
Langkah Pertama: Kebon Jambu
Keesokan harinya, Aji mendatangi Mbak Surti, pedagang gorengan yang terkenal judes tapi sebenarnya baik hati. Ia menjelaskan bahwa ada sesuatu yang penting terkubur di sana, demi keselamatan desa.
Awalnya Mbak Surti ogah, tapi begitu mendengar nama Pak Wiryo dan Mbah Tejo disebut, wajahnya berubah.
Mbak Surti: “Aku dulu sering lihat Mbah Tejo keliling malam di situ. Kadang bisik-bisik sendiri. Monggo wae, Mas Aji, asal jangan ganggu dagangan terlalu lama.”
Dengan bantuan warga, tanah di bawah pohon jambu itu dibongkar perlahan. Dan benar saja — batu merah kedua ditemukan, masih berdenyut lemah. Begitu Aji menyentuhnya, penglihatannya dibanjiri bayangan: Guntur sedang melakukan ritual di tengah lingkaran api, dan tanah Karangjati mulai merekah hitam.
Aji: “Kita harus segera temukan batu ketiga sebelum Guntur…”
Malam di Pos Ronda Lama
Menjelang malam, mereka menuju pos ronda lama yang sudah roboh. Di situ dulu Pak Bolot sering tidur kalau ronda malam, katanya karena ‘hawane sejuk’ padahal karena malas keliling.
Udin: “Pak Bolot, panjenengan inget letak persisnya?”
(Pak Bolot, Anda ingat letak persisnya?)
Pak Bolot: “Wani piro?”
(Berani bayar berapa?)
Pedot: “Yaaah, iki malah nego!”
(Yaaah, malah nego!)
Aji tersenyum, “Pak Bolot, kalau bener ketemu, saya bikinkan teh tubruk tiap malam selama sebulan.”
Mata Pak Bolot langsung berbinar. “Deal!”
Mereka menggali di bawah lantai papan yang telah lapuk. Tak lama, bau anyir menusuk hidung. Sebongkah batu merah ketiga ditemukan — namun anehnya, tak berdenyut seperti dua lainnya. Justru terasa sangat dingin.
Aji: “Batu ini… sudah disentuh Guntur. Dia sempat ke sini duluan.”
Udin: “Lah… berarti sekarang Guntur sudah pegang satu batu asli dan satu yang ini?”
Aji: “Tidak. Tapi dia sudah cemari energi batu ini. Kita harus menyucikannya sebelum dipakai kembali sebagai segel.”
Rencana Besar: Penyegelan Ulang
Malam itu juga, Aji mengumpulkan warga di balai desa. Ia menjelaskan tentang pusaka segel, kutukan yang hampir bangkit, dan siapa Guntur sebenarnya.
Pak Lutfi: “Kalau benar begitu, kita harus bantu Aji. Ini bukan hanya urusan ilmu, tapi nasib desa.”
Mbah Tejo (yang tiba-tiba muncul): “Segel bisa diperkuat kembali, tapi harus dilakukan malam Jumat Kliwon… malam di mana gerbang gaib terbuka. Kalau salah langkah, justru semua yang dikurung bisa lepas.”
Mata semua warga terbelalak. Suasana jadi hening.
Udin (dengan nada ragu): “Malam Jumat Kliwon? Iki kok tambah medeni, yo…”
Pedot: “Kita harus siap, Din. Kowe ojo ndredeg, wes ono Aji kok.”
(Kita harus siap, Din. Kamu jangan takut, udah ada Aji kok.)
Di Balik Bayang-Bayang
Di ujung hutan, Guntur berdiri di bawah bulan penuh. Batu segel pertama berputar di udara, mengeluarkan suara dengung rendah. Dari tanah, muncul bayangan hitam membentuk sosok wanita tua… mirip Nenek Bisu, tapi lebih menyeramkan.
Bayangan: “Waktumu hampir tiba, pewaris darah hitam…”
Guntur: “Dan Karangjati akan berlutut…”
ketegangan — pertempuran antara pewaris cahaya dan darah hitam!
Angin malam berhembus kencang, membawa aroma aneh yang membuat dedaunan berdesir seperti bisikan. Langit mendung, namun bulan masih terlihat menggantung pucat. Malam itu, malam Jumat Kliwon, menjadi saksi kembalinya kekuatan lama yang telah lama tersegel.
Di balai desa, Aji duduk bersila dengan mata terpejam, tiga batu segel diletakkan melingkar di depannya. Di sekelilingnya, Pak Lutfi, Mbah Tejo, Udin, Pedot, dan beberapa warga yang berani turut serta, membentuk lingkaran doa. Pak Bolot? Ia duduk di pojokan sambil komat-kamit sendiri, entah berdoa atau sekadar menghindar dari tugas berat.
Mbah Tejo: “Ingat, Aji. Begitu ritual dimulai, semua roh di sekitar akan terseret. Termasuk… dia…”
Aji: “Dia… Nenek Bisu?”
Mbah Tejo mengangguk berat. “Bukan sekadar arwah penasaran. Dia penjaga. Tapi jika terbangun dalam marah… bisa membakar satu desa.”
Hutan Menjerit
Sementara itu, di tengah hutan, Guntur menancapkan tongkat hitamnya ke tanah. Ia sudah membuka celah antara dunia manusia dan alam gaib. Cahaya merah keluar dari bumi, membentuk pusaran.
Guntur: “Buka matamu, leluhur. Warisanmu akan kuteruskan…”
Tiba-tiba tanah bergetar. Dari balik kabut, sesosok tubuh bungkuk muncul perlahan. Tubuhnya mengenakan kebaya lusuh, rambut panjang kusut menutupi separuh wajah. Tak ada suara. Tak ada napas. Hanya tatapan kosong yang membuat udara membeku.
Guntur (tersenyum puas): “Akhirnya… Hantu Nenek Bisu…”
Namun yang tak ia duga — hantu itu bukan sekutunya.
Nenek Bisu (tanpa bersuara, hanya lewat batin):
“Kau… pewaris kegelapan… kau pembuka kutukan. Tapi aku… bukan pelayanmu…”
Hantu itu melayang, lalu menghantam tubuh Guntur hingga terlempar. Guntur terbatuk, darah hitam mengalir dari mulutnya.
Guntur (mendesis): “Dasar roh tua… Aku akan jinakkan kau juga!”
Balai Desa Guncang
Di desa, Aji tiba-tiba membuka mata. “Dia terbangun… Nenek Bisu…”
Lampu petromax di balai desa mendadak padam satu per satu. Udara menjadi dingin, nafas membeku. Udin memegang tangan Pedot erat-erat.
Udin: “Pedot… iki seriusan. Rasane kaya nyawang malaikat maut.”
(Pedot… ini serius. Rasanya kayak ngeliat malaikat maut.)
Pedot: “Jangan gitu, Din! Aku belum sempat bayar utang warung, woi!”
Tiba-tiba, dari jendela, muncul siluet wanita bungkuk berdiri diam, menatap ke dalam. Tak ada suara. Tapi semua tubuh jadi lemas.
Pak Bolot: “Lho… lho… iki mbak-mbak sing nganter jenang kemarin to?”
(Lho… ini mbak-mbak yang nganter jenang kemarin ya?)
Udin: “Pak! Iki hantu Nenek Bisu!”
(Pak! Itu hantu Nenek Bisu!)
Pak Bolot malah nyengir. “Ora popo, mesakne. Wong bisu kok.”
(Gak papa, kasihan. Dia bisu kan.)
Pertarungan Energi
Aji berdiri, membentangkan tangannya, lalu berteriak pelan, “Kiai Al-Haq, pelindung para pewaris, berikan hamba cahaya.”
Tubuhnya berpendar terang, mengusir hawa dingin. Nenek Bisu berhenti melangkah, memiringkan kepala seperti mengenali Aji. Ia maju… pelan… lalu berhenti di depan Aji.
Aji (dalam hati): “Apakah kau… korban? Atau penjaga?”
Nenek Bisu (dalam bisikan batin):
“Jagaku telah dikhianati… Batu-batu itu pernah kusegel dengan darahku… Kini mereka mencurinya… Aku datang… untuk mengakhiri…”
Tiba-tiba, tubuh Nenek Bisu bergetar hebat. Mata kosongnya memancarkan cahaya merah.
Mbah Tejo (berteriak): “Dia dibakar amarah masa lalu! Aji, kau harus tenangkan dia! Atau desa ini… tamat!”
Menguak Masa Lalu
Aji mengangkat tangannya. Dengan suara lembut, ia mengaji pelan. Ayat-ayat suci mengalun seperti nyanyian hening, menyusup ke dalam batin.
Dan di tengah cahaya putih, bayangan masa lalu muncul. Nenek Bisu dulunya adalah manusia — Nyai Saminah, penjaga batu segel pertama. Ia disumpah bisu agar tak membocorkan rahasia segel. Namun pada akhirnya, ia dibunuh oleh pengikut Ki Jagatrowo agar segel terlepas. Jiwanya terperangkap sebagai penjaga terkutuk.
Aji meneteskan air mata. “Maafkan kami… desa ini butuh perlindunganmu lagi…”
Nenek Bisu perlahan tenang. Tatapannya melembut. Ia melayang ke atas batu segel, lalu tubuhnya menyatu… dan hilang. Hanya meninggalkan kabut putih dan satu suara bisikan…
“Jagalah Karangjati… jangan biarkan sejarah terulang…”
Pagi Menyingsing
Matahari pertama setelah malam kelam itu muncul malu-malu dari ufuk timur. Desa Karangjati kembali tenang, meski tanda-tanda pertempuran besar belum berakhir.
Aji menatap jauh ke arah hutan. “Guntur belum selesai… dan segel belum utuh…”
Udin berdiri di sebelahnya. “Tapi kita gak sendiri, Ji. Masih ada aku… Pedot… dan Pak Bolot yang super power.”
Pak Bolot (dari belakang): “Lho? Aku ta? Aku kan cuma tamu kehormatan.”
(Lho? Saya ya? Saya kan cuma tamu kehormatan.)
Semua tertawa. Tapi di hati Aji, ia tahu: badai sesungguhnya belum datang.