Nayla mendapatkan kabar dari Tante Ida agar pulang ke Indonesia dimana ia harus menghadiri pernikahan Anita.
Tepat sebelum acara pernikahan berlangsung ia mendapatkan kabar kalau Anita meninggal dunia karena kecelakaan.
Setelah kepergian Anita, orang tua Anita meminta Nayla untuk menikah dengan calon suami Anita yang bernama Rangga.
Apakah pernikahan Rangga dan Nayla akan langgeng atau mereka memutuskan untuk berpisah?
Dan masih banyak lagi kejutan yang disembunyikan oleh Anita dan keluarganya
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon my name si phoo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 16
Nayla perlahan membuka matanya. Pandangannya masih sedikit buram, tapi ia segera menyadari sosok Bi Ina yang duduk di sampingnya.
Wajah Bi Ina langsung merekah dalam senyum lega saat melihat Nayla yang akhirnya siuman.
"Syukurlah Non Nayla sudah sadar," ucapnya lembut.
Dengan sigap, Bi Ina membantu Nayla untuk duduk di atas tempat tidur.
"Bi... kenapa aku bisa ada di kamar utama? Siapa yang membawaku ke sini?" tanya Nayla heran, rasa cemas mulai menyelinap di hatinya. Ia takut jika Bi Ina dimarahi oleh Rangga.
Namun Bi Ina buru-buru menenangkan, "Justru Den Rangga sendiri yang membawa Non Nayla ke kamar utama."
Ia kemudian menjelaskan bahwa Rangga yang membawa Nayla pulang dari rumah sakit dan menempatkannya di kamar utama agar lebih mudah dirawat.
"Kalau begitu... sekarang Mas Rangga di mana, Bi?" tanya Nayla pelan.
"Den Rangga masih keluar sebentar, Non. Katanya mau beli susu sapi," jawab Bi Ina sambil tersenyum kecil.
Nayla menunduk pelan, mencoba mengingat apa yang terjadi sebelumnya.
Kepalanya masih terasa berat, namun hatinya terasa hangat setelah mendengar bahwa Rangga sendiri yang membawanya pulang dan menempatkannya di kamar utama.
"Mas Rangga... kenapa dia begitu perhatian?" bisik Nayla nyaris tak terdengar.
Bi Ina yang mendengarnya hanya tersenyum simpul.
Den Rangga memang begitu kalau sudah sayang. Kadang tak bisa diungkapkan lewat kata-kata, tapi perbuatannya yang bicara."
Nayla menatap Bi Ina dengan tatapan bingung dan malu.
Ia belum sempat menjawab ketika suara pintu depan terdengar terbuka.
"Sepertinya Den Rangga sudah pulang," ujar Bi Ina seraya bangkit berdiri.
Beberapa detik kemudian, langkah kaki yang familiar terdengar mendekat.
Pintu kamar terbuka perlahan, menampakkan sosok Rangga yang membawa satu kantong plastik berisi susu segar.
Begitu melihat Nayla sudah duduk dan sadar, mata Rangga membulat, lalu perlahan melunak.
Wajahnya menunjukkan ekspresi lega yang sulit disembunyikan.
"Nayla..." katanya lirih, sebelum akhirnya mendekat dan meletakkan kantong di atas meja kecil di samping tempat tidur.
"Kamu sudah sadar. Aku khawatir sekali."
Nayla hanya menunduk, merasa gugup. Suasana menjadi hening sejenak, hingga akhirnya Rangga duduk di kursi di samping tempat tidur, menatap Nayla dalam diam.
"Aku... terima kasih sudah membawaku pulang," ujar Nayla pelan, akhirnya memberanikan diri bicara.
Rangga menatapnya dalam-dalam, lalu mengangguk pelan.
"Kamu harus istirahat dulu. Kita bisa bicara nanti kalau kamu sudah benar-benar pulih."
Kemudian Rangga meminta Bi Ina untuk menaruh susu sapi dan bubur yang sudah dibelinya.
Mendengar hal itu Nayla bangkit dari tempat tidurnya untuk kembali ke kamarnya.
"Kamu mau kemana?" tanya Rangga.
"A-aku mau kembali ke kamarku, Mas." jawab Nayla.
Rangga meminta Nayla untuk kembali merebahkan tubuhnya.
"Ini juga kamar kamu, Nay. Jangan ke kamar yang lama ya." pinta Rangga.
Nayla menatap Rangga, mencoba membaca maksud di balik kata-katanya.
Ada kehangatan di mata lelaki itu, tapi juga sesuatu yang asing—seperti rahasia yang belum terungkap.
“Tapi… itu kamar lamaku, Mas. Aku nyaman di sana,” ucap Nayla pelan, suaranya sedikit gemetar.
Rangga mendekat, duduk di tepi ranjang, lalu menggenggam tangan istrinya.
“Kamar itu sekarang kosong. Kamu sudah nggak sendiri lagi, Nay. Ini rumah kita. Ini kamar kita.”
Nayla terdiam. Kalimat itu terasa menyejukkan, tapi sekaligus membuat dadanya sesak.
Ia mencoba mengingat, mengaitkan kepingan-kepingan yang masih samar di benaknya.
Ada bagian dari dirinya yang ingin percaya, tapi juga merasa ada sesuatu yang tidak beres.
Mata Nayla menatap lekat wajah Rangga. Ia ingin percaya pada setiap kata yang diucapkan suaminya, tapi rasa penasaran di dadanya semakin kuat.
Ia merasakan ada kepedihan yang disembunyikan Rangga, sesuatu yang belum sanggup ia bagikan.
Namun tubuhnya terlalu lemah untuk mendesak lebih jauh.
Ia kembali bersandar di bantal, menarik napas dalam-dalam.
Bi Ina masuk pelan sambil membawa nampan berisi bubur hangat dan segelas susu.
“Ayo, Non Nayla, makan dulu ya. Biar tenaganya pulih.”
Dengan bantuan Rangga, Nayla perlahan menyendok bubur itu ke mulutnya.
Suasana kamar begitu tenang, hanya terdengar detak jam di dinding dan napas lembut Nayla yang mulai teratur.
Tapi jauh di dalam benaknya, tanya-tanya terus bergema.
Apa yang sebenarnya terjadi? Dan mengapa kamar lamanya terasa seperti bagian dari masa lalu yang tak boleh disentuh lagi?
Setelah selesai makan, Rangga menyerahkan segelas air putih dan sebutir obat ke tangan Nayla. Dengan hati-hati, Nayla menelannya sambil menatap wajah suaminya.
“Mas Rangga nggak kerja?” tanyanya pelan, nada suaranya penuh rasa ingin tahu.
Rangga menggeleng perlahan. “Nggak. Aku nggak bisa ninggalin kamu dalam kondisi begini.”
Nayla mengernyit. “Emangnya kenapa? Kan ada Bi Ina juga…”
Rangga terdiam sejenak, menunduk. Matanya terlihat berat menahan sesuatu.
“Karena ini semua... salahku, Nay.”
"Mas, ini bukan salah Mas. Mas memang nggak tahu kalau aku alergi mangga,” ucap Nayla lembut, mencoba menenangkan.
Rangga mengangkat wajahnya perlahan. Ada gurat penyesalan yang jelas di matanya.
“Tapi aku yang maksa kamu makan puding itu." ucap Rangga.
Nayla tersenyum tipis. Tangannya yang lemah terulur, menggenggam tangan Rangga yang dingin karena cemas.
"Baiklah aku akan masuk kerja." ucap Rangga yang kemudian masuk ke kamar mandi.
Air dari pancuran kamar mandi mengalir deras, mengguyur tubuh Rangga yang diam membisu.
Di balik uap hangat yang memenuhi ruangan, pikirannya berkecamuk.
Ia tak bisa menghilangkan bayangan wajah Nayla—pucat, tapi masih berusaha tersenyum.
Selesai membersihkan diri, Rangga berdiri sejenak di depan cermin.
Tatapannya kosong, tapi matanya menyimpan sesuatu yang tak terucap—ketakutan yang berusaha ia sembunyikan dari Nayla.
Di luar kamar mandi, Nayla menarik napas pelan. Setiap helaan terasa berat. Namun, ia memaksakan diri untuk duduk tegak di ranjang.
Rangga membuka pintu kamar mandi dan melihat istrinya yang sedang duduk di atas tempat tidur.
Nayla melongo tanpa sadar, matanya tak berkedip menatap dada Rangga yang penuh otot.
"Eh, Nay... itu air liurmu udah mau turun ke lantai," celetuk Rangga sambil pura-pura panik.
Nayla tersentak, langsung mengusap dagunya dan melempar bantal ke arah Rangga.
"Dasar pamer! Siapa suruh keluar kamar mandi cuma pakai handuk!"
Rangga menghindar dengan cekatan, lalu duduk santai di samping Nayla.
"Aku kira ini rumahku juga. Masa suami nggak boleh bebas?" ujarnya sambil mengedip nakal.
Nayla mendecak, tapi senyumnya nggak bisa disembunyikan.
"Kalau kamu terus ngeliatin aku gitu," lanjut Rangga sambil menggoda,
"...sarapan bisa pindah ke menu lain, lho."
Nayla bangkit dari tempat tidurnya dan ingin membalas suaminya.
Dengan cepat Nayla menarik handuk yang menutupi daerah terlarang milik Rangga.
"Nay! Dasar bandel."
Nayla berlari menuju ke dapur untuk melihat Bi Ina yang sedang menyiapkan sarapan.
Bi Ina sangat bahagia melihat Nayla yang bisa tersenyum kembali