“SANDRAWI!”
Jeritan Ratih memecah malam saat menemukan putrinya tergantung tak bernyawa. Kematian itu bukan sekadar duka, tapi juga teka-teki. Sandrawi pergi dalam keadaan mengandung.
Renaya, sang kakak, menolak tunduk pada kenyataan yang tampak. Ia menelusuri jejak sang adik, menyibak tiga tahun yang terkubur. Dan perlahan, luka yang dibungkam mulai bersuara.
Mampukah Renaya memecahkan misteri tersebut?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon lirien, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Teka-teki
“Kenapa kamu suruh aku ke sini?” Renaya mengernyitkan dahi, matanya menyapu pemandangan di depannya, sedikit kecewa dan heran pada Yudayana.
“Katanya Mbak ingin tahu tempat kerjanya Sandrawi,” jawab Yudayana santai.
Renaya menelan ludah, rasa tak percaya menyesakkan dadanya. Ia sempat menaruh curiga terhadap pria itu, namun kini pikirannya berkelindan ke arah lain. Benarkah Sandrawi bekerja di tempat seperti ini? Pelan-pelan Renaya mendongak, menatap bangunan megah yang menjulang di depannya, dengan papan nama mencolok yang tak asing bagi para pecandu dunia malam.
Dunia yang selama ini hanya sebatas cerita, kini menyeruak di hadapannya, melibatkan adiknya sendiri. Ada gumpalan getir yang menghantam dadanya.
“Mau masuk nggak, Mbak?” tawar Yudayana, membuyarkan lamunannya.
“Mumpung saya dapat shift pagi, jadi masih ada waktu buat nemenin,” lanjutnya.
Renaya mengangguk pelan. Tanpa banyak bicara, mereka berjalan menuju pintu masuk, melewati pemeriksaan dari petugas keamanan yang memastikan mereka tak membawa barang terlarang.
Begitu memasuki ruangan, dentuman musik DJ yang memekakkan telinga langsung menyergap mereka. Lampu-lampu temaram berkedip cepat, perempuan-perempuan berbalut pakaian minim melenggok di tengah lantai dansa, seolah dunia hanya milik mereka.
Yudayana menuntun Renaya ke pojok ruangan, menuju meja yang tampak sedikit lebih sepi dari keramaian yang menggila.
“Minum nggak, Mbak?” tanya Yudayana, mencoba sedikit mencairkan suasana.
“Boleh… tapi jangan terlalu kuat, ya,” Renaya menjawab tanpa semangat.
“Siap, Mbak,” Yudayana tersenyum, lalu beranjak menuju bar.
Renaya menarik napas panjang, merogoh saku jaketnya, mengeluarkan sebuah kertas lusuh, surat terakhir dari Sandrawi. Ia menelusuri kembali setiap baris kalimat di surat itu, mencari-cari petunjuk tersembunyi, mencoba menangkap sekecil apa pun jejak pria yang telah merusak hidup adiknya.
Namun, berkali-kali membaca, yang tersisa hanya keheningan yang menyesakkan. Tak satu pun petunjuk ditemukan. Sandrawi tak menuliskan nama siapa pun, hanya penyesalan dan luka yang mengendap dalam tiap kata.
“Nih, Mbak…” suara Yudayana membuyarkan lamunannya. Ia kembali membawa dua gelas minuman, salah satunya berwarna biru terang, tampak mengundang.
Renaya terkejut menyadari kehadiran Yudayana. Ia bahkan tak sadar pria itu sudah kembali dan harus dipanggil dua kali.
“Mbak? Ngelamun aja.”
Renaya mengulum senyum tipis, meletakkan surat Sandrawi di atas meja begitu saja, lalu menyesap minuman yang diberikan.
“Itu… surat apa, Mbak?” Yudayana bertanya sambil melirik kertas yang tergeletak di meja.
“Surat dari Sandrawi,” jawab Renaya datar, matanya terpaku pada para penari yang berlenggak-lenggok di bawah sorot lampu disko.
“Boleh saya baca?” tanya Yudayana, tangannya mengarah ke kertas itu.
Renaya mengangguk tanpa suara.
Yudayana mengambil kertas tersebut, matanya menyusuri tulisan tangan yang terpampang di sana. Namun, belum sampai selesai, pria itu menghela napas panjang, meletakkan surat kembali di meja, matanya mengerut tajam.
“Ini… surat apa sih, Mbak?” ucapnya pelan, penuh keraguan.
Renaya menoleh. “Surat dari Sandrawi, jelas,” tegasnya.
Yudayana terkekeh pelan, suara tawanya terdengar getir. “Bukan, Mbak… ini bukan tulisan tangan Sandrawi.”
Renaya tersentak. Alisnya bertaut tajam. “Apa maksudmu… bukan tulisan Sandrawi?” tanyanya dengan suara menegang.
Yudayana menggeleng perlahan, raut wajahnya menunjukkan keraguan yang tak main-main. “Saya sering lihat tulisan dia, Mbak. Apalagi kami sering ketemu. Nggak mungkin saya nggak kenal tulisan Sandrawi.”
Renaya tercekat, jari-jarinya tanpa sadar mengepal di atas meja. Hatinya bergejolak hebat. Selama ini… apakah dirinya benar-benar mengenal adiknya?
Yudayana menunjuk kertas lusuh di hadapan mereka. “Apa Mbak nggak bisa bedain tulisan adik sendiri? Kok malah percaya surat kayak gini…”
Renaya menggeleng pelan, udara terasa menyesakkan di rongga dadanya. Ia merasa seperti kakak yang gagal. Terlalu lama meninggalkan rumah, terlalu lama berpaling hingga tak menyadari Sandrawi hanyut dalam kehidupan yang tak ia kenali. Seandainya waktu dapat diulang, mungkin ia akan menggandeng tangan adiknya, membawanya pergi jauh dari semua ini.
“Kalau begitu, Mbak… sebaiknya Mbak lihat sesuatu,” ujar Yudayana, menarik pergelangan tangan Renaya tanpa menunggu persetujuan.
“Kemana?” tanya Renaya setengah berlari, mengikuti langkah cepat pria itu.
“Lihat saja sendiri, Mbak.”
Yudayana menuntunnya menembus koridor panjang, melewati area terbatas yang hanya diperuntukkan bagi karyawan. Mereka berhenti di sebuah ruangan loker dengan deretan lemari besi yang berbaris rapi.
“Apa yang mau kamu tunjukkan?” Renaya menatap curiga.
Yudayana menunjuk sebuah loker berhiaskan stiker bunga, satu di antaranya bertuliskan nama ‘Sandrawi’ dengan hiasan mungil.
“Ini loker milik Sandrawi,” ujar Yudayana sembari mengulurkan sebuah kunci kecil bergantungan gantungan strawberry.
“Kamu saja yang buka,” Renaya menggeleng.
Dengan cekatan Yudayana membuka loker tersebut. Isi loker rapi, dengan buku catatan, novel, dan beberapa barang pribadi sederhana. Tidak ada barang mahal, tidak ada kosmetik berlebihan seperti yang dibayangkan Renaya.
“Aku bakal tunjukkan tulisan asli Sandrawi,” ucap Yudayana sambil mengambil sebuah buku catatan tebal. Ia membukanya, memperlihatkan halaman pertama kepada Renaya.
“Bandingkan dengan surat itu, Mbak. Lihat baik-baik,” ujarnya pelan tapi tegas.
Renaya mengerutkan dahi, meletakkan surat dari Sandrawi di atas buku catatan. Tatapannya bergantian menelusuri kedua tulisan tersebut. Perbedaan mencolok tampak jelas. Tulisan dalam surat itu tidak memiliki karakteristik tulisan adiknya, garisnya berbeda, tekanan pena tak serupa, bahkan gaya penulisannya terasa asing.
“Kenapa… kenapa bisa beda banget?” Renaya mengusap pelipisnya, pusing mendadak.
“Saya yakin seratus persen, ini bukan tulisan tangan Sandrawi,” kata Yudayana mantap.
“Kalau begitu… siapa yang menulis surat ini?” gumam Renaya, pikirannya semakin kusut.
“Kalau ada orang yang tahu Sandrawi mau bunuh diri, orang itu pasti berusaha mencegahnya. Bukan malah menuliskan surat seolah-olah itu suara terakhirnya,” ujar Yudayana dingin.
Renaya menelan ludah. “Menurutmu siapa yang menulisnya?”
Yudayana hanya menarik napas panjang. “Saya tidak tahu, Mbak… saya cuma tahu Sandrawi bukan orang yang mudah menyerah. Hidupnya memang berat, tapi dia bukan tipe yang memilih mati sebagai jalan keluar.”
Renaya menajamkan tatapan. “Berat bagaimana? Kehidupan seperti apa yang dia jalani selama ini?”
Yudayana menutup buku catatan perlahan, menyimpannya kembali. Wajahnya mengeras, tak ada keinginan untuk menjawab. Ada sesuatu yang ditutupinya, Renaya bisa merasakannya.
“Ayo, Mbak… kita balik ke depan,” ajaknya sambil berbalik.
Namun, Renaya mencengkram pergelangan tangan pria itu. “Jangan menghindar! Jawab dulu pertanyaanku!”
Yudayana menarik tangannya perlahan. “Saya nggak tahu, Mbak… sungguh,” ucapnya datar.
“Kamu bohong!” Renaya menggeleng keras. Nafasnya mulai tak teratur. Adibrata pernah berkata Yudayana adalah kekasih Sandrawi. Tapi kenapa ia berbohong?
“Jangan menutup-nutupi. Aku tahu hubungan kalian!” suaranya meninggi, amarah memuncak. “Apa kamu malu karena pacaran dengan perempuan seperti adikku?”
Yudayana menyeringai getir. “Malu? Mbak pikir Sandrawi perempuan murahan?” tawanya pelan, penuh luka.
“Pekerjaan dia apa, kalau bukan seperti itu? Kenapa kamu malu mengakuinya?” balas Renaya tajam.
Tawa Yudayana berubah pahit, matanya menatap Renaya dengan pandangan kecewa. “Kasihan Sandrawi… sampai mati pun, keluarganya sendiri menganggapnya kotor. Tak ada seorang pun yang mau percaya bahwa ia perempuan baik.”
Renaya tercekat. Kata-kata Yudayana menusuk hatinya.
“Maksudmu apa… Yudayana?”
Namun Yudayana telah berbalik, langkahnya tergesa, meninggalkan Renaya yang masih terpaku di depan loker kosong itu.
“Yudayana, tunggu! Jelaskan maksudmu barusan!”
Renaya mengejarnya sampai ke depan bar. Yudayana sudah mengenakan apron, bersiap menjalani tugasnya.
“Kalau Mbak ingin tahu… tanyakan pada Bapak kalian. Kenapa Sandrawi sampai bekerja di tempat ini,” ucapnya datar, lalu pergi ke kerumunan.
Renaya terpaku. “Bapak…?” gumamnya, kebingungan. Kenapa harus bertanya pada Baskoro? Apa hubungannya Bapak mereka dengan semua ini?
Pertanyaan-pertanyaan baru menyesakkan dada Renaya, membuat kepalanya semakin berat.