Berawal dari ganti rugi, pertengkaran demi pertengkaran terus terjadi. Seiring waktu, tanpa sadar menghadirkan rindu. Hingga harus terlibat dalam sebuah hubungan pura-pura. Hanya saling mencari keuntungan. Namun, mereka lupa bahwa rasa cinta bisa muncul karena terbiasa.
Status sosial yang berbeda. Cinta segitiga. Juga masalah yang terus datang, akankah mampu membuat mereka bertahan? Atau pada akhirnya hubungan itu hanyalah sebatas kekasih pura-pura yang akan berakhir saat mereka sudah tidak saling mendapatkan keuntungan lagi?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rita Tatha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 16
Brian menatap rumah mewahnya dengan lesu. Setelah mengantar Lily pulang, ia pun segera pulang karena sang papa telah menunggu. Bagi Brian, mengobrol dengan sang ayah adalah hal yang sangat tidak mengenakkan. Keduanya selalu terlibat dalam sebuah perbedaan pendapat.
Ketika membuka pintu utama, nampak lelaki paruh baya sedang duduk sembari menyesap secangkir kopi. Rasanya sungguh enggan, tetapi Brian tetap memilih duduk di depan pria itu. Memasang wajah datar tanpa sedikit pun senyuman.
"Kenapa baru datang? Bukankah bertemu klien seharusnya sudah selesai lima jam lalu?"
"Bukan urusanmu." Brian menjawab ketus.
Terdengar helaan napas panjang dari Tuan Regardian. "Apa kita tidak bisa berbicara dengan baik? Aku ini papamu. Yang membesarkanmu."
"Lebih baik katakan saja pada intinya, aku sudah paham. Jika seperti ini kamu sudah pasti memiliki maksud tertentu," tukas Brian. Menatap sang papa dengan dalam.
"Brian Setya Anggara, jangan lupa kalau nama belakangmu tersemat marga. Mau sebenci apa pun padaku, kamu adalah darah dagingku. Lagi pula, berapa kali aku harus menjelaskan kalau ...."
"Kalau kamu bukan yang membuat mamaku meninggal?" sela Brian. Tangannya terkepal erat. "Andai saja waktu itu mama tidak melihatmu berselingkuh, sudah pasti dia tidak akan melakukan hal nekat."
"Aku tidak selingkuh! Kamu hanya salah paham." Tuan Regardian membantah. Kesalahanpahaman itu masih saja terus berlanjut.
"Lalu? Berada di sebuah kamar bersama wanita lain, apa itu bukan perselingkuhan. Berhentilah menjelaskan hal yang membuatku muak. Lagi pula, aku sudah bukan anak kecil lagi yang bisa kamu bohongi sesuka hati."
"Ya, oleh karena itu sudah waktunya kamu menikah dan menemukan pendamping hidup yang tepat. Nona Evelyn, putri tunggal Tuan Antonio Wiratmaja bersedia berkenalan denganmu."
"Tidak! Aku sudah memiliki kekasih pilihanku sendiri. Jadi, aku tidak mau kamu ikut campur urusan pribadiku."
"Siapa wanita itu? Dia dari keluarga apa?" tanya Tuan Regardian mendesak.
"Kamu tidak perlu tahu, bukankah sudah kubilang kalau itu bukan urusanmu. Lebih baik kamu urus saja dirimu sendiri. Jangan melakukan hal yang semakin membuatku merasa muak." Brian bangkit. Membenarkan kemeja yang dikenakan lalu bergegas pergi ke kamar. Rasanya tidak ingin berlama-lama dengan sang ayah.
Selepas kepergian sang putra, Tuan Regardian berkali-kali menghela napas panjang. Tidak tahu lagi harus melakukan cara apa untuk membuat sang putra memaafkannya. Dadanya tiba-tiba terasa sesak, Ardi yang merupakan tangan kanan Tuan Regardian pun menatap cemas.
"Anda baik saja, Tuan?"
"Tidak papa. Sebentar lagi sembuh."
"Tuan, apa saya harus melakukan sesuatu?"
"Apakah kamu tahu wanita seperti apa yang menjadi kekasih Brian? Apa anak buahmu yang mengawasi Brian, mengetahui sesuatu?"
Ardi mengangguk lemah.
"Katakan."
"Tuan, kemarin malam di sebuah restoran yang berada di hotel tempat Tuan Muda menginap, ada kejadian. Tuan Muda nampak membela seorang gadis dan beberapa kali anak buah saya mendengar kalau namanya adalah Lily."
"Lalu?"
"Tuan Brian mengatakan bahwa gadis itu adalah kekasihnya. Di sana juga ada Tuan Arvel. Mereka bahkan berdebat dengan Yasmin yang merupakan putri Pak Santoso, manager di Anggara Group."
"Apa kamu tahu dari keluarga mana wanita itu?" tanya Tuan Regardian tidak sabar. Sementara Ardi hanya diam dan wajahnya nampak ragu. "Kenapa kamu diam saja?"
"Tuan ... saya memerintah anak buah saya untuk membuntuti Tuan Muda sampai rumah gadis itu. Nona Lily itu sepertinya hanya dari kalangan biasa. Rumahnya sederhana. Ia tinggal bersama dengan ayahnya dan seorang wanita paruh baya."
"Kamu memang hebat. Tidak sia-sia aku memperkerjakan kamu selama ini. Kamu selalu bisa diandalkan." Tuan Regardian menatap Ardi dengan bangga. "Apa kamu tahu dia bekerja di mana?"
"Toko Bunga milik Tuan Rama."
"Rama?" Kening Tuan Regardian mengerut dalam ketika mendengar nama yang tidak asing. "Apa maksud kamu, Rama itu ...."
Ardi mengangguk cepat. "Iya, Tuan Ramadhanu Prasetya. Sahabat baik Tuan Muda."
Tuan Regardian lagi-lagi menghela napas panjang. "Kalau begitu, kamu atur rencana agar aku bisa bertemu dengan wanita itu. Akan kulihat seperti apa wanita yang dekat dengan putraku, jangan sampai wanita itu hanya memanfaatkan putraku untuk memeras harta keluarga Anggara saja."
"Baik, Tuan."
****
Pagi ini Lily kembali mengayuh sepeda untuk berangkat kerja. Setelah tiga hari tidak datang ke toko bunga milik Rama, rasanya ia sudah rindu sekali. Setibanya di sana, Ines yang baru saja sampai pun langsung berteriak histeris.
"Lily, gue kangen banget sama elu." Ines memeluk sahabatnya dengan erat.
"Enggak usah lebay! Kita cuma enggak bertemu tiga hari bukan tiga abad!" sahut Lily. Walaupun mulutnya berdecak, tetapi tangannya membalas pelukan sang sahabat.
"Habisnya elu enggak nongol-nongol. Gue pikir elu keenakan jadi pacar milyader."
"Mulut elu! Ingat ya, gue sama Om Tampan itu cuma kekasih pura-pura. Oh ya, elu sama Arvel gimana?"
Ines tersenyum simpul ketika mendengar nama pria idamannya disebut. Melihat hal itu, Lily semakin gencar menggoda.
"Ciee ... makin semangat hidup, nih. Idola udah tinggal di sini lagi." Lily menyenggol lengan Ines untuk menggodanya. Benar saja, wajah Ines langsung memerah saat itu juga.
"Jangan nyebelin, Ly! Hubungan gue sama Arvel biasa aja. Habis reuni waktu itu, dia ngantar gue pulang terus ...."
"Terus apa?" tanya Lily penasaran. Apalagi saat melihat senyum Ines yang mengembang. "Elu enggak mungkin mampir hotel terus ehem ehem, 'kan?"
"Astaga!! Mulut elu emang sialan ya!" Ines mendadak kesal dan memukul lengan Lily cukup kencang. Tidak peduli meski gadis itu sudah meringis kesakitan.
"Bukannya sudah waktunya masuk kerja?"
Suara Rama mengejutkan dua gadis itu. Sejak kapan bosnya itu berdiri di samping mereka. Dengan segera mereka hendak memulai kerja, tetapi Rama justru meminta Lily untuk masuk ke ruangannya.
"Dipecat gak loh!" ledek Ines.
"Sialan! Diem lu! Kalau sampai gue dipecat, elu bakal kesepian." Lily bergegas karena tidak ingin Rama berteriak memanggil namanya.
Setibanya di dalam ruangan, Lily berdiri berhadapan dengan Rama. Gadis itu terus menunduk karena tidak berani menatap Rama. Tatapan lelaki itu nampak menajam.
"Lily ...."
"Pak, saya minta maaf. Saya memang bersalah, tapi saya mohon jangan pecat saya, Pak." Lily menangkup tangan di depan dada sambil memasang wajah memelas.
"Siapa yang mau memecatmu?"
"Bapak lah, siapa lagi. Bos saya 'kan Pak Rama." Lily masih saja berani menjawab.
"Sepertinya kamu memang benar-benar ingin dipecat."
"Eh, tidak, Pak. Saya tidak bermaksud begitu."
"Sekarang katakan padaku, apa benar kamu dan Brian sudah pacaran?" tanya Rama tanpa basa-basi. Lily mengangguk cepat. "Sejak kapan?"
"Pak Rama tanya sendiri sama Om Tampan."
Mendengar jawaban Lily, terdengar embusan napas kasar berkali-kali. Hal itu membuat Lily bingung.
"Kenapa, Pak? Jangan-jangan Pak Rama cemburu ya?"
"Ti-tidak!" sahut Rama sambil memalingkan wajah tidak berani menatap Lily.
kenapa Lily begitu syok melihat Om tampan datang yang ikut hadir dimalam itu 🤦