Setelah kehilangan anaknya dan bertahun-tahun hidup dalam bayang-bayang penghinaan dari suami serta keluarganya, Amira memilih meninggalkan masa lalu yang penuh luka.
Dalam kesendirian yang terlunta-lunta, ia menemukan harapan baru sebagai ibu susu bagi bayi milik bukan orang sembarangan.
Di sana-lah kisah Amira membuang kelemahan di mulai.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon zenun smith, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Draft
Sepulang dari panti lansia, Arga dan Amira kembali seperti sediakala. Diam. Seakan tidak pernah ada kedekatan di antara mereka. Tidak ada tanda-tanda bahwa sebelumnya Amira pernah bersandar di dada Arga. Bahkan semut pun enggan bergosip, dibungkam oleh sikap dingin Arga yang kembali seperti biasa.
Tanpa sepatah kata, Arga langsung menuju kamarnya. Amira pun beranjak ke kamar Tuan Kecil.
"Mamama..."
Suara ceria Arkha langsung menyambutnya, tangan mungilnya terulur minta digendong. Amira segera memeluk bocah itu, seraya berbisik meminta maaf karena telah meninggalkannya seharian. Tapi tentu saja, Arkha belum paham arti permintaan maaf itu. Ia hanya tertawa senang bisa kembali bersama Amira.
Sesampainya di kamar, Amira segera mengecek kebutuhan Arkha. Meski sebagian besar sudah diurus staf lain, ia tetap ingin memastikan semuanya baik-baik saja. Atau mungkin, ia hanya butuh waktu berdua dengan anak itu.
Sambil menemani Arkha bermain sampai anak itu tertidur, pikiran Amira malah melayang ke ucapan Tuan Arga tadi siang, tentang berterima kasih dengan benar. Kenapa dia akhir-akhir jadi berhutang bayaran akan sesuatu yang dilakukan Tuan Arga tanpa diminta?
Amira juga terbayang-bayang kembali bagaimana Arga memperlakukannya begitu perhatian, meskipun dengan gaya lain di mulut, lain diperbuatan.
"Astaghfirullah... sadar, Amira. Dia itu bos kamu. Juga suami dari temanmu." Amira mengingatkan dirinya sendiri. Tapi sedetik kemudian, senyum kembali melengkung tanpa ia sadari. Amira sulit sekali menepis terkesimanya ia kepada Tuan Arga. Kalau ingat Tuan Arga, Amira bawaannya kepengen senyam-senyum melulu.
"Sadar, Amira, sadar. Tuan Arga itu pria yang sangat sibuk dan hebat. Tidak mungkin dia akan memikirkan hal-hal seperti yang sedang kamu rasakan sekarang. Jangan berharap lebih pada manusia, Amira. Sudah cukup. Fokuslah pada hidupmu sendiri, dan pada Tuan Kecil yang menjadi tanggung jawabmu sekarang."
Amira menggeleng pelan, mencoba menepis pikiran-pikiran yang mulai memenuhi kepalanya. Ia lalu membawa Tuan Kecil beranjak untuk tidur karena malam semakin malam untuk seukuran bocil.
Lagipula Amira sudah memiliki ide berterimakasih dengan benar kepada Tuan Arga besok. Mengucap terimakasih, lalu masakin saja makanan kesukaan laki-laki itu. Amira tidak tahu saja, bila ada orang lain yang masak untuk Arga selain koki pilihan, maka prosedur pengamanannya bisa menjadi ketat sekali. Bisa-bisa ketika masak, dirinya dipelototi bodyguard dari awal sampai selesai.
...****...
Di sisi lain, setelah selesai menyiapkan semua kebutuhan Tuan Arga seperti biasa, Pak Genta akhirnya punya waktu untuk beristirahat. Ia pun melangkah ke dapur dengan niat ingin membuat secangkir kopi. Tidak disangka, di sana masih ada ada Buana yang sedang menyeduh kopi menggunakan mesin.
Meski sama-sama orang kepercayaan di rumah itu, baik Pak Genta maupun Buana tidak pernah menggunakan anak buah untuk urusan pribadi. Mereka hanya memberi perintah bila itu menyangkut kebutuhan sang majikan.
Melihat Pak Genta datang, Buana pun menyapa dengan hangat. Pak Genta membalas sapaan itu dan duduk di meja dapur, ikut menikmati kopi bersama.
Obrolan ringan berubah menjadi sedikit lebih serius ketika Pak Genta membuka suara,
"Mas Buana, saya mau tanya, kenapa mulai hari ini saya tidak lagi diperkenankan melaporkan perkembangan Tuan Kecil?"
Buana mengangguk pelan lalu menjawab, "Itu perintah langsung dari Tuan Arga. Beliau ingin laporan soal Tuan Kecil disampaikan langsung oleh Nona Amira ke nomor pribadinya."
"Oh, begitu. Hanya soal Tuan Kecil saja, atau ada hal lain juga, Mas Buana?"
"Sejauh ini, hanya tentang Tuan Kecil. Urusan rumah tangga lainnya tetap dilaporkan oleh Bapak ke saya, nanti saya yang teruskan ke Tuan Arga," jawab Buana tenang sembari lanjut menyeruput kopi.
"Baiklah, saya mengerti."
Kali ini giliran Buana yang bertanya, "Ngomong-ngomong, Pak, apakah Tuan Arga pernah meminta nomor pribadi Nona Amira ke Bapak? Soalnya biasanya kalau butuh kontak siapa pun, beliau selalu lewat saya."
Pak Genta mengernyit, mencoba mengingat-ingat. Beberapa detik kemudian ia menggeleng pelan.
"Seingat saya, tidak pernah, Mas Buana. Tumben ya, biasanya kalau butuh info, selalu tanya ke kita dulu. Walaupun info itu dari anak buah, tetap lewat kita."
"Iya, betul, Pak," sahut Buana sambil menyesap kopinya. "Mungkin ada hal dilakukan Tuan Arga tanpa kita ketahui."
"Mudah-mudahan memang begitu ya, Mas Buana. Asalkan Tuan Arga melakukan itu bukan karena beliau merasa tidak puas dengan kinerja kita. Terus terang, saya kadang khawatir, mungkin karena usia saya yang sudah tidak muda lagi, kinerja saya kurang maksimal di mata beliau."
"Saya mengerti kekhawatiran Bapak. Tenang saja, menurut saya Pak Genta masih prima dalam menjalankan tugas."
Sepenggal kalimat itu mampu menerbitkan senyum Pak Genta.
"Mas Buana tumben masih di sini?" tanya Pak Genta. Buana hanya senyum sebagai bentuk memberi jawaban. Kalau ditanya begitu lalu Buana hanya senyum, Pak Genta sudah mengerti apa maksudnya.
...****...
Sementara itu, di kamar Arga.
Usai mandi, Arga hanya mengenakan handuk kimono. Tubuhnya masih ada sisa bulir air saat ia duduk dan menyantap makan malamnya di kamar. Suapannya tenang dan teratur, sambil satu tangan lainnya sibuk berkutat dengan HP.
Dahinya berkerut. Tatapan matanya serius, seperti sedang memantau sesuatu yang tidak boleh luput barang sedetik.
Begitu suapan terakhir masuk ke mulutnya, ia pun bangkit. Kemudian Arga mengenakan setelan baju santai, menyematkan jam tangan pintar di pergelangan, lalu memasukan HP ke saku celana.
Tangannya membuka laci meja. Sebuah pist0l ia ambil dari sana lalu diselipkan di balik bajunya.
Cangkir kopi yang tadi dibawa Pak Genta ia raih dengan satu tangan. Langkahnya kemudian mengarah ke pintu rahasia, dimana itu adalah jalan pintas menuju kamar putranya. Arga memang bertujuan pergi ke kamar tersebut.
.
.
Bersambung.
.
.
Di balik layar, Arga berhasil mendapatkan nomor ponsel Amira.
Suatu malam, ketika Amira baru saja mengetahui bahwa Arga memiliki pintu rahasia yang langsung tembus ke kamar Tuan Kecil, dan Arga juga mengaku kadang suka datang diam-diam malam-malam, membuat Amira jadi paranoid sendiri.
Malam itu, Amira gelisah. Tidur tidak kunjung datang. Rasa penasaran mengusiknya, ingin tahu, benarkah Arga akan masuk lewat pintu itu? Tapi dia tidak bisa bertindak gegabah. Jadi, ia memilih strategi untuk berpura-pura tidur.
Dan benar saja. Tidak lama setelah kamar sunyi, terdengar suara pintu rahasia terbuka. Dari celah rahasia itu, muncul siluet Arga.
Deg.
Amira langsung berakting tidur pulas, memilih posisi paling aman yaitu tengkurap.
Ia mengintip dari sela bulu matanya. Awalnya, Arga hanya berdiri sejenak di sisi tempat tidur bayi, memandangi Arkha. Amira sempat berpikir, Oh, cuma mau lihat anaknya. Habis itu balik, kan?
Tapi ternyata tidak.
Arga melangkah pelan menuju samping tempat tidur Amira. Ia mengambil HP wanita itu yang berada di atas nakas.
Waduh, HP-ku mau diapain? pikir Amira dalam hati, panik setengah mati.
Tidak sampai di situ. Arga lalu duduk di sisi ranjang dan menggenggam tangan Amira. Ia ingin meminjam telunjuknya untuk membuka kunci layar.
Amira langsung berpikir cepat. Kayaknya seru kalau pura-pura reflek, ya. Lagian aku kan lagi tidur, jadi gak salah dong.
Alih-alih membiarkan jarinya membuka layar, Amira malah menggerakkan telunjuknya sembarangan dan--tuk!--menyodok wajah Arga tepat di dahinya.
Arga terdiam sejenak. Dia tahu Amira pura-pura tertidur. Arga pun mau membalas Amira dengan bergumam yang agak mengerikan.
"Kurang ajar. Mau dibikin sup kau!"
Amira merinding sebadan-badan. Seluruh bulu kuduknya berdiri. Detik itu juga, ia pasrah, membiarkan jarinya membuka pola kunci ponselnya. Arga pun membuka layar, berkutat sebentar lalu bangkit dan pergi lewat pintu yang sama.
Amira akhirnya bisa menarik napas lega.
Mau nebak, takut salah 🤦♀️
Terserah author aja, yang penting up-nya jangan lama-lama