Di Kota Sentral Raya, kejahatan bukan lagi bayangan yang bersembunyi—ia adalah penguasa. Polisi, aparat, hingga pemerintah berlutut pada satu orang: Wali Kota Sentral Raya, dalang di balik bisnis ilegal, korupsi, dan kekacauan yang membelenggu kota ini.
Namun, ada satu sosok yang tidak tunduk. Adharma—pria yang telah kehilangan segalanya. Orang tua, istri, dan anaknya dibantai tanpa belas kasihan oleh rezim korup demi mempertahankan kekuasaan. Dihantui rasa sakit dan dendam, ia kembali bukan sebagai korban, tetapi sebagai algojo.
Dengan dua cerulit berlumuran darah dan shotgun di punggungnya, Adharma tidak mengenal ampun. Setiap luka yang ia terima hanya membuatnya semakin kuat, mengubahnya menjadi monster yang bahkan kriminal pun takut sebut namanya.
Di balik topeng tengkorak yang menyembunyikan wajahnya, ia memiliki satu tujuan: Menumbangkan Damar Kusuma dan membakar sistem busuk yang telah merenggut segalanya darinya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Saepudin Nurahim, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Mengincar Target Berikutnya
Darma terbangun dengan napas memburu. Keringat dingin membasahi pelipisnya, dan dadanya naik turun cepat. Mimpi itu datang lagi.
Sinta dan Dwi tersenyum di dalam bayangannya, memanggil namanya dengan suara lembut yang dulu selalu menenangkannya. Tapi detik berikutnya, suara tembakan menggema. Darah mereka membasahi wajahnya.
"Sial..."
Darma mengusap wajahnya dengan kasar, mencoba mengusir perasaan mencekik yang menempel di dadanya. Semua yang terjadi terasa begitu nyata, terlalu menyakitkan.
Tak ada yang sama lagi.
Ia menoleh ke jendela kecil kamar Doni. Cahaya pagi mulai menyelinap masuk, menandakan bahwa hari baru telah tiba.
Tapi bagi Darma, hari itu hanyalah pengingat bahwa ia telah kehilangan segalanya.
Darma keluar dari kamar, berjalan menuju ruang tamu tempat Doni masih tertidur di sofa. Lelaki itu mendengkur pelan, terlihat kelelahan setelah perbincangan panjang mereka semalam.
Darma tidak ingin mengganggunya. Ia butuh udara segar.
Mengenakan jaket tipis dan menyembunyikan wajahnya dengan hoodie, ia keluar dari rumah Doni. Jalanan pagi masih sepi, hanya beberapa orang berlalu lalang.
Langkahnya terasa ringan, tapi hatinya tetap berat.
Ia berjalan ke sebuah warung kecil di pinggir jalan. Seorang ibu tua berdiri di balik etalase kaca, merapikan gorengan yang masih hangat.
"Sarapan, Nak?" tanya si ibu dengan senyum ramah.
Darma mengangguk. "Beli nasi uduk dan kopi."
Ibu itu bergerak cepat, menyiapkan pesanannya. Darma merogoh saku, mengeluarkan beberapa lembar uang dan menyerahkannya.
Saat menerima makanan itu, Darma menatap kantong plastik di tangannya. Dulu, Sinta yang selalu membelikannya sarapan seperti ini.
Seketika, perutnya terasa mual.
Darma menarik napas dalam-dalam, mencoba menahan emosi yang mulai naik ke permukaan. Ia tidak boleh hancur. Tidak sekarang.
Hari ini, ia punya tujuan. Dan itu bukan sekadar bertahan hidup.
Darma duduk di bangku kayu di sudut warung. Ia merogoh saku jaketnya dan mengeluarkan sebungkus rokok. Tangannya gemetar sedikit saat ia menarik sebatang dan menyelipkannya di antara bibirnya.
Krek.
Api dari korek gas menyala sebentar sebelum membakar ujung rokoknya. Ia menghisap dalam-dalam, membiarkan asapnya mengisi paru-parunya sebelum perlahan mengembuskannya. Asap putih melayang di udara, seolah membawa pergi beban yang menggumpal di dadanya.
Sementara itu, kopi hitam di depannya mengepulkan uap tipis. Ia meraih cangkirnya, meniup permukaannya sebentar, lalu meneguk sedikit. Rasanya pahit, seperti hidupnya sekarang.
Matanya tanpa sadar menatap layar televisi kecil yang tergantung di pojok warung. Saluran berita sedang menayangkan siaran pagi, dan wajah seorang pembawa berita perempuan muncul di layar.
"Pagi ini, polisi menemukan puluhan mayat di dalam Gedung Menara Permata. Korban tewas ditemukan dalam kondisi mengenaskan, beberapa di antaranya dimutilasi. Dugaan sementara, kejadian ini adalah pembantaian yang dilakukan oleh seorang pelaku tunggal."
Darma berhenti menghirup rokoknya.
"Polisi menemukan sebuah pesan yang tertulis di dinding dengan darah, berbunyi ‘Adharma’. Hingga saat ini, motif pembantaian masih diselidiki, dan pihak kepolisian menduga kejadian ini berkaitan dengan organisasi kriminal yang beroperasi di Kota Sentral Raya."
Asap rokok yang baru ia embuskan terasa lebih berat di udara.
Ibu warung berdehem kecil, lalu menggeleng. "Astaghfirullah... dunia ini makin kacau. Orang-orang sekarang sudah nggak punya hati, ya?" gumamnya sambil merapikan dagangannya.
Darma tidak menjawab. Ia hanya menatap kosong ke layar TV, membiarkan kata-kata itu menggema di kepalanya.
‘Adharma.’
Ia menarik napas pelan, lalu menghisap rokoknya lagi. Ia tahu ini baru permulaan.
Darma menghabiskan kopi hitamnya dalam satu tegukan terakhir. Pahitnya terasa menghangatkan tenggorokan, namun tidak bisa menghilangkan dingin yang mengendap di hatinya. Ia mematikan rokoknya di asbak logam di atas meja, lalu bangkit dari kursi.
Langkahnya mantap saat ia meninggalkan warung itu. Udara pagi terasa dingin, tetapi pikirannya justru dipenuhi bara api. Raden Wijaya memang berhasil kabur tadi malam, tapi itu bukan akhir. Darma sudah menandai namanya—suatu saat, Raden akan jatuh juga.
Namun, sebelum itu, ada target lain yang harus ia urus.
Pak Jaya.
Supervisor di tempat kerjanya dulu. Seorang pria dengan senyum palsu dan suara ramah, tetapi di baliknya menyimpan kerakusan. Darma sudah lama mencurigai keterlibatannya dalam korupsi di perusahaan logistik tempatnya bekerja. Jika ada orang yang mungkin memiliki informasi tentang Raden Wijaya, atau bahkan orang yang lebih besar di balik semua ini, maka Pak Jaya adalah orangnya.
Darma merogoh ponselnya dan mengetik pesan singkat untuk Doni.
"Gue butuh ketemu. Ada yang harus kita bahas."
Ia memasukkan ponselnya kembali ke dalam saku, lalu menarik napas dalam. Matanya menatap lurus ke depan. Hari ini, satu per satu, mereka yang terlibat dalam kematian keluarganya akan mulai jatuh.