Kirana Larasati, gadis yang baru saja lulus SMA, harus menghadapi kenyataan pahit. Adiknya menderita sakit kanker, namun masalah ekonomi membuat adiknya terpaksa dirawat di rumah sendiri. Kirana ingin bekerja dan membantu orang tuanya. Suatu hari, tetangganya bernama Lilis menawarkannya pekerjaan sebagai pengasuh anak.
Kirana bertemu dengan Bastian Rajendra, seorang duda yang memiliki satu anak perempuan bernama Freya Launa.
Awalnya, Kirana hanya berniat bekerja untuk mendapatkan uang demi pengobatan adiknya. Namun, kedekatan Kirana dengan Freya, serta tanggung jawabnya yang besar, membuat Bastian mengambil keputusan tak terduga. Bastian menawarkan sebuah pernikahan kontrak dengan janji akan menanggung seluruh biaya pengobatan adiknya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nur Sabrina Rasmah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
"Antara Diculik atau Dijadikan Permaisuri"
Kirana berlari menuruni tangga dengan wajah yang masih terasa terbakar. Di lantai bawah, ia melihat Mbak Lilis sedang sibuk menata meja makan bersama Mbok Yem. Bastian menyusul di belakang dengan langkah tenang, kini sudah mengancingkan kemejanya meski belum mengenakan jas, tampak jauh lebih rapi dan berwibawa.
"Lilis," panggil Bastian tegas namun tidak sedingin biasanya.
Lilis segera menoleh dan menghentikan pekerjaannya. "Iya, Tuan?"
"Siang ini, saya akan mengajak Kirana ke mall untuk membeli semua keperluan dan perbelanjaannya," ucap Bastian. Kirana yang baru saja sampai di dekat meja makan langsung menoleh dengan mata membelalak. Beli perbelanjaan? Perasaan baju gue masih banyak, batinnya heran.
Bastian melanjutkan, "Kamu dan Mbok Yem kerjakan semua pekerjaan rumah dengan baik selama kami pergi. Besok, gaji kamu dan Mbok Yem akan saya tambah sebagai bonus."
Mbak Lilis dan Mbok Yem saling berpandangan dengan binar mata bahagia. "Wah, terima kasih banyak, Tuan! Siap, laksanakan! Semua beres!" sahut Lilis dengan semangat 45.
Bastian melirik Kirana yang masih mematung. "Siapkan dirimu. Setelah sarapan kita berangkat. Saya tidak suka menunggu lama."
Kirana mendekati Lilis saat Bastian sedang menerima telepon di ruang tengah. "Mbak... ini beneran? Kok tiba-tiba banget beli belanjaan? Terus bonus buat Mbak Lilis itu maksudnya apa?" bisik Kirana panik.
Lilis menyenggol lengan Kirana sambil senyum-senyum penuh arti. "Aduh Rana, kamu itu beruntung banget! Kayaknya Tuan Bastian serius mau 'merombak' kamu biar siap jadi nyonya di rumah ini. Udah, ikut aja, mumpung dikasih kartu kredit tanpa batas!"
"Tapi Mbak, saya ngerasa kayak mau dijual tahu nggak!" gerutu Kirana pelan.
"Dijual ke pria ganteng dan kaya mah semua orang mau, Ran! Udah, sana makan yang banyak, tenaga kamu bakal habis buat nemenin si 'Kelinci Gede' itu keliling mall," goda Lilis lagi.
Kirana duduk di meja makan dengan perasaan campur aduk. Di satu sisi, ia bahagia karena Luki akan segera dibawa ke rumah sakit siang ini sesuai janji Bastian. Namun di sisi lain, ia merasa hidupnya benar-benar sudah tidak lagi menjadi miliknya sendiri sejak tangan besar itu menjabat tangannya tadi pagi.
"Luki, demi kamu, Kakak rela deh dandan kayak manekin mall," gumam Kirana sambil menyuap nasi gorengnya dengan lesu, sementara di seberang sana, Bastian memperhatikannya dengan tatapan yang sulit diartikan—tatapan seorang pria yang sudah memiliki rencana besar untuk masa depannya.
Di dalam mobil mewah yang aromanya sangat maskulin itu, suasana terasa sangat sunyi. Bastian fokus mengemudi, sementara Kirana duduk gelisah di kursi samping kemudi, terus-menerus menarik ujung bajunya. Pikirannya melayang pada adegan "pelukan" dan tawaran nikah semalam yang membuatnya merinding.
Kirana menoleh sedikit ke arah Bastian yang tampak sangat tampan namun tetap kaku seperti patung. Dengan kepolosannya yang tak terkendali, ia akhirnya membuka suara.
"Tuan..." panggil Kirana pelan.
"Hmm?" sahut Bastian tanpa menoleh.
"Tuan... saya ini masih kecil, lho. Baru lulus SMA, masih delapan belas tahun. Tolong ya, Tuan, jangan apa-apain saya. Jangan dimacem-macemin ya nanti di mall atau di mana pun," ucap Kirana dengan wajah serius.
Ciiiiitt!
Bastian menginjak rem sedikit mendadak karena kaget, beruntung jalanan sedang sepi. Ia menoleh ke arah Kirana dengan tatapan yang sulit diartikan.
"Aelah, kenapa tiba-tiba suka ngomong gini lagi sih?" gumam Bastian sambil memijat pelipisnya.
"Ya kan saya waspada, Tuan! Habisnya Tuan tiba-tiba ngajak nikah, terus mau belanja banyak. Di film-film yang saya tonton, itu biasanya tanda-tanda mau diculik atau dijadiin... ah sudahlah!" Kirana membuang muka ke jendela dengan pipi menggembung.
Bastian kembali melajukan mobilnya. "Dengarkan saya, Kirana. Saya memang mengajakmu menikah, tapi saya tidak akan melakukan sesuatu yang tidak kamu inginkan. Sekarang, fokus saja. Kita akan beli baju yang layak. Saya tidak mau rekan bisnis saya mengira saya menikahi anak kecil yang tersesat di mall."
"Tuh kan! Tuan ngatain saya anak kecil lagi!" protes Kirana. "Gini-gini saya udah punya KTP ya!"
Bastian hanya bisa menggelengkan kepalanya. "Terserah apa katamu. Yang penting nanti di mall, jangan panggil saya Tuan atau Pak. Panggil saya Mas atau namaku saja."
"Ogah! Panggil Mas? Berasa kayak lagi manggil tukang bakso langganan saya di desa!" celetuk Kirana jujur.
"Kirana Larasati..." Bastian memperingatkan dengan nada rendah yang terdengar berbahaya.
"Iya, iya! Mas Bastian!" ralat Kirana cepat-cepat sebelum bosnya itu benar-benar meledak.
Bastian mendengus kecil. Ternyata membawa Kirana keluar rumah jauh lebih menguras emosi daripada memimpin rapat pemegang saham. Namun, di balik kekesalannya, ia merasa hari ini akan menjadi hari yang paling tidak membosankan dalam hidupnya selama bertahun-tahun terakhir.
di bab sblm nya jg gitu aku masih diem..eeh ini ketemu lg..kesel sm majikan boleh² aja tp g mesti ngebatin dengan kata² kotor.