Setelah pernikahan yang penuh kekerasan, Violet meninggalkan segala yang lama dan memulai hidup baru sebagai Irish, seorang desainer berbakat yang membesarkan putrinya, Lumi Seraphina, sendirian. Namun, ketika Ethan, mantan suaminya, kembali mengancam hidup mereka, Irish terpaksa menyembunyikan Lumi darinya. Ia takut jika Ethan mengetahui keberadaan Lumi, pria itu akan merebut anaknya dan menghancurkan hidup mereka yang telah ia bangun. Dalam ketakutan akan kehilangan putrinya, Irish harus menghadapi kenyataan pahit dari masa lalunya yang kembali menghantui.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Maple_Latte, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
EP: 10
Begitu Irish duduk, tangan Direktur Anton tanpa ragu menyentuh bahunya, senyum licik mengembang di wajah lelaki itu. Tubuh Irish seketika menegang. Ia menoleh, memaksakan senyum yang kaku. Ia tahu, senyum itu akan dianggap sebagai bentuk persetujuan.
Direktur Anton tampak puas. Ia mencondongkan tubuh, menatapnya dari dekat. "Nona Irish, saya senang sekali kamu bisa datang malam ini."
"Terima kasih atas undangannya, Direktur Anton. Saya merasa terhormat." Suara Irish terdengar lembut, meskipun di dalam hatinya ia ingin meludahi dirinya sendiri karena menjilat.
“Haha, kau memang pintar menyenangkan orang,” gumam Direktur Anton, membelai rambutnya sendiri dengan bangga. Lalu ia menunjuk ke sudut ruangan yang temaram. “Seperti janjiku tempo hari, aku akan memperkenalkanmu pada klien istimewa. Nah, itu dia!”
Irish mengikuti arah dagu itu. Di sudut ruangan yang minim cahaya, terlihat seorang pria duduk santai, kaki bersilang, segelas anggur di tangannya.
“Aku butuh waktu berbulan-bulan untuk mengatur pertemuan ini. Dan malam ini, jika kau bisa memenangkannya, tak hanya kerja sama dengan perusahaan kami yang akan kau dapat, tapi juga seluruh koneksi di Kota ini. Apa pun yang kau inginkan bisa kau raih.”
Irish meremas tangannya kuat. Ia tahu betul apa maksud Direktur Anton. Wanita-wanita sebelumnya telah gagal, dan kini, dia, Irish, adalah kartu terakhir.
Segelas anggur disodorkan padanya. "Kesuksesan malam ini ada di tanganmu, Nona Irish."
Ia menatap gelas itu. Napasnya tersendat. Ia menggigit bibir bawah, lalu menerimanya dengan tangan gemetar. Dengan senyum yang terlatih, ia bangkit dan melangkah menuju pria itu.
“Halo. Boleh aku menemanimu minum?” suaranya lembut, meski langkahnya terasa seperti berjalan di medan perang.
Pria itu mengangkat kepala tanpa senyum. “Tidak tertarik.”
Suara itu. Irish membeku. Jantungnya melonjak. Ia mengenali suara itu, dalam, dingin, tajam, dan...... terlalu familiar.
Ia menatap pria itu lebih lekat, mencoba melihat jelas di balik pencahayaan remang. Saat Ethan akhirnya menoleh dan mata mereka bertemu, dunia seakan berhenti berputar.
Ethan?
Ethan pun tampak terkejut. Sorot matanya langsung berubah saat mengenali wajah wanita yang duduk di sampingnya.
Gaun hitam tanpa punggung itu, rambut yang ditata rapi menjuntai lembut, dan sepatu hak tinggi berkilau perak, bukan tampilan seorang wanita yang dulu ia kenal sebagai polos dan naif.
Mata Ethan menyipit. Ia menelusuri wajah lembut yang kini dibalut riasan tipis namun menggoda, bibir merah itu tersenyum, namun menyimpan kegetiran.
Irish melihat ekspresi keterkejutan itu, dan senyumnya mengeras. Kenapa pria ini ada di sini? Bukankah dia sudah menjadi suami dari wanita lain yang terkenal anggun dan sopan? Bukankah seharusnya dia tidur nyenyak di villa mewahnya malam ini?
Tapi ternyata, pria “baik” itu pun berada di tempat seperti ini. Dan itu bukan urusannya.
Empat tahun telah menjadikan mereka orang asing. Hari ini, mereka bertemu lagi dalam keadaan paling ironis, ua menjadi wanita penghibur, dan Ethan adalah “klien”. itu adalah kaya kasar yang dia sematkan untuk dirinya malam ini, demi mendapatkan pekerjaannya kembali.
Irish mengangkat gelasnya.
“Presiden Ethan, kebetulan sekali bisa bertemu Anda di sini.”
Ethan tidak menjawab, rahangnya mengeras.
“Apa Anda tidak ingin bersulang?” Irish menyentuh gelasnya ke milik Ethan.
Tanpa menunggu jawaban, ia menenggak anggurnya dalam sekali teguk.
Namun sebelum ia sempat menurunkan gelas, tangan Ethan meraih pergelangan tangannya.
“Irish... kau...”
“Shh~.” Irish menaruh telunjuk di bibir Ethan dan tersenyum. “Aku bukan gadis polos empat tahun lalu, Tuan Ethan. Aku adalah Irish yang baru, yang tahu cara bertahan hidup dalam dunia yang kotor ini.”
Ethan tertegun. Wanita ini, yang pernah ia tinggalkan dengan selembar surat cerai dan sejumlah uang kompensasi, kini berubah total. Ia tak tahu, bahwa keputusannya telah membuat seorang wanita menjadi asing baginya.
“Ayo,” kata Irish lirih.
“Kita pernah saling mengenal, bukan? Bantu aku malam ini. Biar Direktur Anton puas, dan aku bisa kembali ke tempat yang seharusnya.”
Ia mengangkat gelas lagi ke arahnya, seolah tidak ada luka, tidak ada dendam.
Ethan menatap cairan merah itu, lalu menatap matanya yang kini tampak kosong.
“Irish,” suaranya pelan namun penuh tekanan. “Apa kau... benar-benar sedang kekurangan uang?”
Tangan Irish yang memegang gelas itu menjadi kaku saat mendengar pertanyaan itu.
"Apakah aku kekurangan uang?!" batinnya memberontak. Tentu saja dia kekurangan uang! Selama empat tahun terakhir, hidupnya tak pernah lepas dari jeratan kekurangan.
Ethan menatap Irish, membaca reaksi yang tak bisa disembunyikan dari wajahnya. Dia diam sejenak, lalu perlahan mendorong gelas dari tangan Irish.
"Saat kita menandatangani surat perceraian empat tahun lalu, kompensasi untukmu sudah kusiapkan. Tapi kamu tidak pernah mengambilnya. Uang itu masih ada. Kalau kamu mau, aku bersedia menambahkannya."
Irish mendengarnya dengan jelas. Hatinya lelah, nyaris mengucap "Aku menerima." Uang itu bisa menyelesaikan semua kesulitannya. Dia, Vivi dan Nathan bisa hidup nyaman, tanpa harus merendahkan diri di hadapan orang seperti Direktur Anton.
Namun, Irish menggertakkan gigi. Tidak. Kalau dia menerimanya sekarang, apa gunanya perjuangannya selama empat tahun terakhir?
Jika Ethan masih memiliki sedikit rasa manusiawi, maka rasa bersalah itu akan terus menghantuinya. Dan Irish tidak akan membiarkan itu lenyap. Dia bisa tunduk pada siapa pun, tapi tidak pada Ethan.
Saat Ethan menunggu jawaban dan Irish tetap diam, dia mengambil keputusan sendiri. "Berikan aku nomor rekeningmu. Sekretarisku akan segera menghubungimu."
Irish tersenyum dingin. "Presiden Ethan, apakah aku bilang aku akan menerima uangmu?" Dia mengayunkan gelas anggur di tangannya dengan pelan, wajahnya cantik dan misterius di bawah cahaya redup.
"Berikan saja uang itu pada istrimu. Kudengar dia sudah lama tidak bisa punya anak. Mungkin itu karma."
"Irish, jangan keterlaluan!" Ethan mencengkeram pergelangan tangannya. Anggur tumpah dari gelas mereka.
"Yang bersalah adalah aku. Tidak ada hubungannya dengan Carisa!"
"Tidak ada?" Irish tertawa dingin. Ia mendekat dan berbisik, "Kamu menikahiku, tapi tetap menyimpan wanita lain di hatimu. Dan dia tahu kamu menikah, tapi tetap jadi selingkuhanmu. Kalian berdua sama busuknya."
"Irish!" cengkeraman Ethan menguat. Irish meringis, tapi tidak mundur.
"Kenapa? Karena aku bilang yang sebenarnya?" Ia menatap Ethan dengan mata pedih.
Ethan diam. Cengkeramannya melemah. Tatapannya kehilangan ketajaman. Ada penyesalan dalam hatinya yang tidak bisa ia tolak. Sejak awal bisnisnya, ia jarang merasa bersalah atas sesuatu. Tapi Irish... dia berbeda.
"Tetap saja, aku akan minta sekretarisku menghubungimu," katanya pelan.
"Sudah kubilang, aku tidak menginginkannya," tegas Irish. Dia mengangkat gelas yang isinya tinggal setengah, menatap Ethan dalam-dalam.
"Hari ini, kita hanya mitra bisnis. Ayo bersulang. Minum saja. Sesederhana itu."
"Kalau aku tidak mau minum?" Ethan menantangnya. Dia menatap wanita di hadapannya, dulu polos, sekarang berani. Dia heran, marah, dan terkesan sekaligus.
Irish tidak gentar. Dulu, ia takut padanya. Tapi sekarang tidak. Tidak lagi.
"Kalau begitu..." Irish belum selesai bicara. Ia langsung meneguk anggur dari gelas, lalu mendekat, menekuk tubuhnya, dan mengecup bibir Ethan.
Matanya terpejam, bulu matanya bergetar, ada keraguan sekilas. Tapi dia melanjutkan.
Rasa anggur berpadu dengan aroma tubuh Irish memenuhi indera Ethan. Dia terkejut, hendak mendorong Irish, tapi anggur sudah mengalir ke tenggorokannya.
Ethan menepis Irish, menatapnya dengan campuran bingung dan geram.
"Kenapa kamu bisa berubah sejauh ini?"
Irish tersenyum. Tangan masih di leher Ethan. "Sekarang kamu sudah bersulang denganku, kan?"
Dia menambahkan dengan suara pelan, nyaris berbisik.
Empat tahun lalu, setiap kali Ethan pulang ke rumah, selalu ada aroma wanita lain di tubuhnya. Sekarang, dia ingin perempuan itu merasakan hal sama yang pernah dia rasakan dulu
Irish memang tidak merencanakan pertemuan ini. Tapi setelah bertemu Ethan, dia tahu, dia ingin membalas dendam.
Membayangkan wajah istri Ethan saat mencium bau wanita lain dari tubuh suaminya membuat hati Irish puas. Kadang, balas dendam adalah satu-satunya cara untuk menyembuhkan luka. Tak peduli berapa lama waktu berlalu.