Reyhan menikahi Miranda, wanita yang dulu menghancurkan hidupnya, entah secara langsung atau tidak. Reyhan menikahinya bukan karena cinta, tetapi karena ingin membalas dendam dengan cara yang paling menyakitkan.
Kini, Miranda telah menjadi istrinya, terikat dalam pernikahan yang tidak pernah ia inginkan.
Malam pertama mereka seharusnya menjadi awal dari penderitaan Mira, awal dari pembalasan yang selama ini ia rencanakan.
Mira tidak pernah mengira pernikahannya akan berubah menjadi neraka. Reyhan bukan hanya suami yang dingin, dia adalah pria yang penuh kebencian, seseorang yang ingin menghancurkannya perlahan. Tapi di balik kata-kata tajam dan tatapan penuh amarah, ada sesuatu dalam diri Reyhan yang Mira tidak mengerti.
Semakin mereka terjebak dalam pernikahan ini, semakin besar rahasia yang terungkap.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mamicel Cio, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Keputusan Berat
Malam itu, Mira duduk di ruang kerja pribadinya, menatap kosong ke tumpukan dokumen di mejanya. Tangannya menggenggam pena, tetapi pikirannya melayang entah ke mana. Dadanya terasa sesak, bukan karena lelah, tetapi karena keputusan yang harus diambilnya malam ini.
Ia sudah terlalu lama berusaha, terlalu lama bertahan dalam pernikahan yang penuh kebencian.
Reyhan tidak pernah melihatnya sebagai istri, hanya sebagai alat balas dendam. Berulang kali Mira mencoba mengetuk hati pria itu, berusaha membuatnya mencintai dirinya, tetapi semakin ia mencoba, semakin dingin perlakuan Reyhan.
“Aku tidak akan pernah memaafkanmu selama aku hidup… kecuali kau mati.”
Kata-kata itu masih terngiang di kepalanya, terus menghantui seperti bayangan yang tak bisa diusir.
Mira menghela napas panjang, mencoba mengusir air mata yang menggenang di sudut matanya. Dengan tangan gemetar, ia meraih ponselnya dan menekan nomor seseorang yang sudah ia percayai sejak lama.
Nada sambung berbunyi beberapa kali sebelum akhirnya suara seorang pria menjawab.
“Mira? Ada apa malam-malam begini?”” suara itu terdengar hangat, penuh perhatian.
“Hendi… aku butuh bantuanmu.” Mira menggigit bibirnya, berusaha menahan getaran dalam suaranya.
Di seberang telepon, Hendi terdiam sejenak. “Tentu, apa pun untukmu. Ada masalah di perusahaan?”
Mira menarik napas panjang sebelum akhirnya mengucapkan kata-kata yang selama ini ia takuti.
“Aku ingin mengurus perceraian.”
Keheningan yang panjang menyusul setelahnya.
“Apa? Mira, kamu serius?” suara Hendi terdengar tidak percaya.
“Aku sudah tidak tahan, Hendi. Aku sudah berusaha, tapi Reyhan tidak akan pernah mencintaiku… dia tidak akan pernah memaafkan aku.” Mira menutup matanya, mencoba menenangkan diri.
“Mira… Kamu yakin ini keputusan yang tepat? Aku tahu betapa kau mencintai Reyhan.” Hendi menghela napas berat.
“Aku juga tahu, tapi cinta saja tidak cukup, Hendi. Aku sudah lelah berjuang sendiri.” Mira tertawa kecil, tetapi terdengar getir.
Di seberang sana, Hendi mengusap wajahnya, berusaha mencerna semua ini. “Aku masih tidak percaya kamu benar-benar ingin melakukan ini.”
“Aku juga tidak percaya, Hendi.Tapi ini yang terbaik, bukan?” Mira tersenyum pahit.
Hendi menutup matanya sejenak. Di dalam hatinya, ada rasa lega yang sulit ia ungkapkan.
Selama ini, ia hanya bisa melihat bagaimana Mira terus menderita di sisi pria yang tidak pernah menghargainya. Tapi di sisi lain, ia juga tahu bahwa Mira tidak akan pernah benar-benar bisa berhenti mencintai Reyhan.
“Baiklah,” akhirnya Hendi berbicara. “Jika ini yang kamu inginkan, aku akan membantumu.”
Mira mengangguk, meskipun Hendi tidak bisa melihatnya.
“Terima kasih, Hendi.”
“Tapi sebelum kita lanjut, aku ingin bertanya sesuatu.”
“Apa?”
“Apa kamu benar-benar siap melepaskannya?”
Mira terdiam. Dadanya terasa sesak. Jawabannya seharusnya mudah, tetapi kenapa hatinya justru menjerit?
“Aku…” Mira menarik napas panjang. “Aku harus siap.”
Hendi mendengar suara Mira yang bergetar dan ia tahu, betapapun kerasnya Mira mencoba meyakinkan dirinya sendiri, jauh di lubuk hatinya, wanita itu masih berharap.
“Baiklah, aku akan mulai mengurus dokumen-dokumen yang diperlukan.”
“Terima kasih, Hendi.”
Setelah menutup telepon, Mira menatap kosong ke luar jendela. Hatinya terasa hampa, tetapi ia berusaha meyakinkan dirinya bahwa ini keputusan yang benar.
Namun, jauh di lubuk hatinya, ada sesuatu yang berbisik…
Apakah Reyhan akan peduli? Apakah dia akan berusaha menghentikanku?
Mira tidak tahu. Yang ia tahu, ia sudah lelah berjuang sendirian.
Hendi menatap layar laptopnya dengan tatapan penuh tekad. Jemarinya lincah mengetik, mengumpulkan semua dokumen yang diperlukan untuk mengajukan gugatan cerai Mira terhadap Reyhan.
Ini adalah momen yang sudah lama ia nantikan, kesempatan untuk membawa Mira keluar dari neraka yang selama ini ia jalani bersama Reyhan.
Sejak dulu, Hendi sudah mencintai Mira, tapi perasaan itu selalu ia pendam. Ia tahu Mira terobsesi dengan Reyhan, pria yang tidak pernah memperlakukannya dengan layak.
Namun, sekarang keadaan berubah. Mira akhirnya menyerah dan ingin berpisah. Ini adalah celah yang tidak akan ia sia-siakan.
Hendi menyandarkan tubuhnya di kursi, matanya menerawang.
"Aku bisa membuatnya bahagia. Aku bisa mencintainya dengan tulus, tidak seperti Reyhan yang hanya tahu menyakitinya." Ia menarik napas panjang dan kembali fokus.
Dokumen-dokumen perceraian mulai tersusun rapi. Ia akan memastikan proses ini berjalan cepat. Semakin cepat Mira bebas dari Reyhan, semakin cepat ia bisa membuat wanita itu melihat ke arahnya.
Namun, jauh di lubuk hatinya, ia tahu bahwa ini tidak akan mudah. Mira masih mencintai Reyhan dengan seluruh hatinya. Ia tahu betapa besarnya luka yang Reyhan tinggalkan, dan luka itu akan sulit disembuhkan.
"Tapi aku akan bersabar. Aku akan ada di sisinya, hingga dia bisa melihat bahwa akulah pria yang benar-benar pantas untuknya."
Dengan senyum kecil, Hendi meraih ponselnya. Ia menghubungi seseorang yang bisa mempercepat proses ini. Tidak ada yang akan menghalangi niatnya untuk memiliki Mira.
Tidak Reyhan. Tidak siapa pun.
Mira duduk di sebuah kafe yang cukup sepi sore itu. Tangannya menggenggam cangkir kopi yang sudah mulai dingin, tapi ia bahkan tidak peduli. Pikirannya terlalu kacau. Di depannya, Hendi duduk dengan setumpuk dokumen di dalam map cokelat.
Mata Mira terpaku pada berkas itu. Jantungnya berdegup kencang. Jadi… ini akhirnya?
"Aku sudah menyiapkan semuanya, kamu tinggal tanda tangan di beberapa bagian, nanti aku yang urus sisanya." ujar Hendi dengan suara lembut, mencoba tidak menunjukkan kegembiraan yang ia rasakan.
Mira tidak langsung menjawab. Tangannya gemetar saat meraih map itu, membukanya perlahan. Ia membaca lembar demi lembar, kata-kata hukum yang terasa begitu dingin dan menyakitkan.
Perceraian.
Kata itu seakan menikam dadanya.
"Kenapa diam?" Hendi bertanya hati-hati.
Mira mengangkat wajahnya, menatap mata sahabatnya itu.
"Hendi… apa aku benar-benar harus melakukan ini?" Suaranya terdengar rapuh, nyaris berbisik.
Hendi mengepalkan tangannya di bawah meja, menahan dorongan untuk meraih tangan Mira.
"Mira… kamu tahu ini yang terbaik. Reyhan nggak akan pernah berubah. Dia terus menyakitimu. Kamu pantas mendapatkan yang lebih baik."
Mata Mira berkaca-kaca. "Tapi aku mencintainya, Hendi…"
Hendi menarik napas panjang, mencoba menenangkan amarah yang membuncah di dadanya. Kenapa sih, Mira? Kenapa kamu masih mencintai pria yang memperlakukanmu seperti sampah?
"Tapi dia nggak mencintaimu, Mira. Kamu mau sampai kapan bertahan dengan seseorang yang bahkan nggak peduli kalau kamu terluka? Kamu ingat apa yang dia katakan terakhir kali? 'Aku nggak akan pernah memaafkanmu, kecuali kamu mati.' Itu yang dia bilang, kan?" katanya tegas
Mira menunduk, air matanya jatuh ke atas dokumen itu. Kata-kata Reyhan memang terukir jelas di ingatannya, tapi hatinya masih enggan menerima kenyataan.
Hendi mengulurkan pena, mendorongnya ke arah Mira. "Ini kesempatanmu untuk keluar dari penderitaan, Mira. Aku akan selalu ada buatmu."
Mira menatap pena itu. Tangannya terangkat pelan, tapi sebelum ia bisa menyentuhnya, ia tiba-tiba menarik tangannya kembali.
"Aku butuh waktu," katanya pelan.
Hendi mengepalkan rahangnya, berusaha menyembunyikan kekecewaannya.
"Oke. Tapi jangan terlalu lama, Mira. Semakin cepat kamu keluar dari bayang-bayang Reyhan, semakin cepat kamu bisa memulai hidup baru."
Mira hanya mengangguk lemah. Ia tahu Hendi benar. Tapi… kenapa hatinya masih terasa begitu sakit?
Mira duduk di tepi ranjangnya, tatapan kosong menatap pantulan dirinya di cermin. Wajahnya pucat, lingkaran hitam menghiasi matanya akibat malam-malam panjang yang dihabiskannya untuk menangis. Namun, semua itu tak ada artinya dibandingkan rasa sakit yang mengoyak hatinya.
Kata-kata Reyhan terngiang di kepalanya.
"Aku nggak akan memaafkanmu selama aku hidup… kecuali kamu mati."
Mira tersenyum getir. Kematian. Itu satu-satunya hal yang Reyhan inginkan darinya. Bukan cinta, bukan pengampunan, bukan pengertian, hanya kematian.
"Kalau aku mati… apakah dia akhirnya bisa hidup dengan tenang?" Ia berdiri perlahan, tubuhnya lemas, tapi pikirannya begitu jernih.
Langkahnya menuju kamar mandi terasa ringan, seolah tak ada beban. Air di bathtub mengalir, uap hangat memenuhi ruangan, menciptakan kabut tipis di cermin.
Mira membuka gaunnya perlahan, membiarkan tubuhnya tenggelam dalam air yang semakin meninggi.
Matanya terpejam, pikirannya melayang pada semua yang telah terjadi.
Saat pertama kali Reyhan menyentuhnya setelah pernikahan, tapi bukan dengan kelembutan, melainkan dengan kebencian.
Saat setiap tatapannya seperti pisau tajam yang menusuk jiwanya.
Saat kata-katanya seolah menampar lebih keras daripada tangan yang pernah menampar wajahnya.
Saat dia mengatakan ingin Mira mati.
Air mulai menutupi sebagian wajahnya, napasnya melambat.
"Kalau aku mati… apakah Reyhan akan puas?"
Bersambung...