NovelToon NovelToon
Dinikahi Sang Duda Kaya

Dinikahi Sang Duda Kaya

Status: sedang berlangsung
Genre:Pernikahan Kilat / CEO / Dijodohkan Orang Tua / Duda / Nikah Kontrak / Berbaikan
Popularitas:6.2k
Nilai: 5
Nama Author: Savana Liora

​Kiana Elvaretta tidak butuh pangeran. Di usia tiga puluh, dia sudah memiliki kerajaan bisnis logistiknya sendiri. Baginya, laki-laki hanyalah gangguan—terutama setelah mantan suaminya mencoba menghancurkan hidupnya.

​Namun, demi mengamankan warisan sang kakek, Kiana harus menikah lagi dalam 30 hari. Pilihannya jatuh pada Gavin Ardiman, duda beranak satu yang juga rival bisnis paling dingin di ibu kota.

​"Aku tidak butuh uangmu, Gavin. Aku hanya butuh statusmu selama satu tahun," cetus Kiana sambil menyodorkan kontrak pra-nikah setebal sepuluh halaman.

​Gavin setuju, berpikir bahwa memiliki istri yang tidak menuntut cinta akan mempermudah hidupnya. Namun, dia salah besar. Kiana tidak datang untuk menjadi ibu rumah tangga yang penurut. Dia datang untuk menguasai rumah, memenangkan hati putrinya yang pemberontak dengan cara yang tak terduga, dan perlahan... meruntuhkan tembok es di hati Gavin.

​Saat g4irah mulai merusak klausul kontrak, siapakah yang akan menyerah lebih dulu?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Savana Liora, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

​Bab 3: Lamaran Bisnis di Toilet Pria

​"Minggir."

​Kiana menepis bahu seorang office boy yang sedang mengepel lantai koridor dengan langkah lebar. Dia tidak peduli dengan tanda peringatan 'Lantai Basah' berwarna kuning mencolok, atau tatapan bingung beberapa pria yang baru saja keluar dari pintu kayu jati berukir di depannya.

​Papan tanda kecil berlapis emas di pintu itu bertuliskan GENTLEMAN. Toilet pria. Area terlarang bagi wanita manapun yang masih punya urat malu.

​Tapi Kiana Elvaretta sudah memutus urat malunya sejak dua hari yang lalu, tepat saat dia memutuskan bahwa Gavin Ardiman adalah solusi tunggal untuk menyelamatkan warisan kakeknya.

Sudah dua hari kehilangan kesempatan bicara empat mata dengan Gavin, membuat Kiana nekat. 

​Tanpa mengetuk, Kiana mendorong pintu berat itu hingga terbuka lebar.

​Brak!

​Suara pintu yang membentur dinding memecah keheningan di dalam ruangan yang beraroma jeruk nipis dan pembersih lantai mahal itu.

​Di depan wastafel marmer panjang, Gavin Ardiman tersentak. Pria itu sedang menunduk, membasuh wajahnya dengan air dingin. Kemeja mahalnya sedikit basah di bagian kerah, dan rambutnya yang tadi rapi kini sedikit berantakan dengan tetesan air yang jatuh ke dahi.

​Gavin mengangkat wajah, menatap pantulan cermin dengan mata melebar. Saat melihat sosok Kiana berdiri di ambang pintu dengan tangan bersedekap dan dagu terangkat, ekspresi kaget Gavin berubah menjadi kilatan amarah.

​"Kamu gila?" desis Gavin. Dia menyambar tisu gulung dengan kasar untuk mengeringkan wajahnya. "Ini toilet pria, Kiana! Matamu rabun atau otakmu yang konslet?"

​Kiana tidak bergeming. Dia justru melangkah masuk, lalu dengan santai memutar kunci pintu utama dari dalam.

​Klik.

​Suara kunci itu terdengar sangat nyaring di ruangan bergema tersebut.

​Gavin mundur selangkah, kewaspadaannya meningkat drastis. Dia menatap pintu yang terkunci, lalu kembali menatap Kiana seolah wanita itu adalah pasien rumah sakit jiwa yang lepas.

​"Buka pintunya," perintah Gavin dingin, suaranya rendah namun penuh ancaman. "Kalau ada yang masuk dan melihat kita berdua di sini, besok saham perusahaan saya bisa anjlok karena digosipkan dengan nenek sihir seperti kamu."

​"Nenek sihir yang punya tiga pelabuhan utama di Jawa, Pak Gavin," koreksi Kiana tenang. Dia berjalan mendekat, bunyi hak sepatunya beradu keras dengan lantai keramik. "Dan saham kamu justru akan meroket kalau kamu mau dengar tawaran saya lima menit saja."

​"Saya nggak tertarik dengar apa pun dari mulut kamu. Minggir." Gavin mencoba menerobos lewat samping Kiana untuk mencapai pintu.

​Tapi Kiana gesit. Dia merentangkan tangan, menghalangi jalan Gavin. Tubuh mereka berjarak sangat dekat sekarang. Kiana bisa mencium aroma aftershave mahal bercampur keringat tipis dari tubuh pria itu. Gavin tinggi, jauh lebih tinggi dari dugaannya, membuat Kiana harus mendongak sedikit untuk menatap matanya.

​"Menikahlah dengan saya," tembak Kiana langsung.

​Langkah Gavin terhenti mendadak. Dia mematung.

​Hening.

​Hanya suara tetesan air dari kran wastafel yang kurang rapat terdengar: tik...tik...tik...

​Gavin mengerjapkan mata dua kali, seolah memastikan pendengarannya tidak rusak. Dia menatap Kiana dari ujung rambut sampai ujung kaki, lalu tertawa. Tawa yang kering, sinis, dan meremehkan.

​"Hah... Saya pikir kamu cuma ambisius, ternyata kamu benar-benar sudah gila," cibir Gavin sambil menggelengkan kepala. "Apa? Bisnis ekspedisimu bangkrut sampai kamu harus jual diri begini?"

​Wajah Kiana memerah padam mendengar hinaan itu, tapi dia menahan diri untuk tidak menampar pipi mulus pria di depannya. Emosi hanya akan menggagalkan negosiasi.

​"Jaga mulutmu," balas Kiana tajam. "Elva Express baik-baik saja. Keuntungannya naik tiga puluh persen kuartal ini, terima kasih sudah bertanya. Ini bukan soal uang. Ini soal kesepakatan yang saling menguntungkan."

​"Menguntungkan?" Gavin melipat tangan di dada, menatap Kiana dengan pandangan merendahkan. "Bagian mana yang menguntungkan buat saya? Menikah dengan saingan bisnis yang kerjanya cuma marah-marah dan mendebat saya di setiap rapat asosiasi? Terima kasih, saya lebih memilih hidup melajang sampai tua."

​"Yakin?" Kiana tersenyum miring. Dia mengeluarkan kartu as-nya. "Bahkan kalau saya tawarkan akses penuh ke jalur laut timur milik Elva Express tanpa biaya sewa selama satu tahun?"

​Senyum sinis di wajah Gavin lenyap seketika.

​Mata elangnya menyipit. Sebagai pebisnis logistik, Gavin tahu persis nilai tawaran itu. Jalur laut timur adalah "nadi" yang selama ini dikuasai keluarga Kiana. Ardiman Logistics selalu kesulitan menembus pasar sana karena biaya sewa pelabuhan yang mahal dan birokrasi yang dipersulit oleh pihak Kiana. Akses gratis ke sana berarti penghematan miliaran rupiah dan ekspansi pasar yang gila-gilaan.

​"Kamu..." Gavin menelan ludah, jakunnya bergerak naik turun. "Kamu mau kasih akses jalur timur? Cuma demi status istri?"

​"Benar. Satu tahun," tegas Kiana. Dia mengangkat satu jari telunjuk. "Cuma satu tahun. Setelah itu kita cerai. Kamu dapat pasar timur, saya dapat buku nikah. Simpel."

​Gavin terdiam sejenak, otaknya jelas sedang berhitung. Tapi kemudian dia mendengus kasar.

​"Tawaran yang menggiurkan, harus saya akui. Tapi jawabannya tetap tidak."

​Kiana terperangah. "Kenapa? Kamu bodoh? Itu tawaran emas!"

​"Karena harga yang harus dibayar terlalu mahal, Kiana!" bentak Gavin. Suaranya menggema di dinding toilet. "Harga diri adalah kewarasan saya! Saya nggak butuh istri yang cuma bikin pusing. Saya sudah cukup pusing dengan pekerjaan dan..." Gavin memutus kalimatnya, tampak menyesal sudah bicara terlalu banyak.

​"Dan anak kamu?" sambar Kiana cepat.

​Rahang Gavin mengeras. Tatapannya berubah menjadi tajam dan berbahaya. "Jangan bawa-bawa Alea. Dari mana kamu tahu soal anak saya?"

​"Tembok hotel ini tipis, Pak Gavin. Dan suara kamu waktu terima telepon tadi cukup keras buat didengar satu ballroom," bohong Kiana dengan mulus. Padahal dia menguping. "Gonta-ganti pengasuh lima kali dalam sebulan? Wow. Rekor yang impresif. Putrimu pasti punya bakat khusus dalam meneror orang dewasa."

​"Diam kamu," geram Gavin, melangkah maju mengintimidasi. "Kamu nggak tahu apa-apa soal Alea. Minggir dari pintu, atau saya panggil sekuriti buat seret kamu keluar."

​Kiana tidak mundur. Jantungnya berdebar kencang karena takut, tapi dia menutupinya dengan topeng boss lady yang sempurna. Ini satu-satunya kesempatannya. Kalau Gavin keluar dari pintu ini, Kiana tamat. Rio akan merebut perusahaan, dan Kakek akan kecewa.

​"Saya tahu kamu putus asa, Gavin!" seru Kiana, menahan dada bidang Gavin dengan telapak tangannya saat pria itu hendak meraih gagang pintu. "Kamu butuh seseorang buat urus rumah tangga kamu yang berantakan itu! Kamu pikir kamu bisa fokus ekspansi bisnis kalau tiap jam ditelepon guru karena anakmu bikin ulah? Kamu pikir klien bakal percaya sama CEO yang bahkan nggak bisa ngatur satu anak kecil?"

​Gavin menepis tangan Kiana kasar. "Dan kamu pikir kamu bisa? Kamu?!" Gavin tertawa mengejek. "Wanita karir yang bahkan nggak tahu cara masak air? Wanita yang hidupnya cuma diisi rapat dan memecat karyawan? Kamu mau jadi ibu buat Alea? Jangan bercanda! Alea bakal memakanmu hidup-hidup dalam lima menit!"

​"Coba saja!" tantang Kiana, matanya menyala. "Saya sudah menghadapi buruh pelabuhan yang mogok kerja, preman pasar yang minta jatah, sampai pejabat korup yang minta suap. Kamu pikir saya takut sama anak tujuh tahun?"

​"Alea bukan preman pasar, Kiana. Dia anak yang terluka karena kehilangan ibunya!" Gavin berteriak tepat di depan wajah Kiana. 

Napasnya memburu. Emosi yang selama ini dia pendam sendirian seolah meledak keluar. "Dia butuh kasih sayang, bukan manajer operasional yang mengatur hidupnya kayak barang kargo! Dan kamu... kamu adalah orang terakhir di dunia ini yang punya naluri keibuan!"

​Kata-kata itu menohok ulu hati Kiana. Sakit, tapi benar. Kiana memang tidak punya pengalaman menjadi ibu. Dia bahkan ragu dia punya hati yang lembut. Tapi dia punya logika. Dan dia punya tekad.

​"Mungkin saya bukan ibu peri yang bisa nyanyiin lagu pengantar tidur," ucap Kiana, suaranya merendah tapi penuh penekanan. 

Dia menatap mata Gavin lekat-lekat. "Tapi saya bisa pastikan dia nggak akan kesepian. Saya bisa pastikan dia punya seseorang yang berdiri di sampingnya waktu dia butuh pembelaan. Dan yang paling penting... saya nggak akan berhenti. Saya bukan pengasuh bayaran yang bakal kabur cuma karena dia nakal. Saya terikat kontrak. Saya bakal bertahan, Gavin. Suka atau tidak, saya opsi paling stabil yang kamu punya sekarang."

​Gavin terdiam. Dadanya masih naik turun karena emosi, tapi tatapannya tidak setajam tadi. Kata "stabil" sepertinya menyentuh titik lemahnya. Stabilitas adalah hal yang paling mahal bagi seorang single parent yang sibuk.

​"Kenapa harus saya?" tanya Gavin pelan, suaranya serak. "Ada ribuan laki-laki di Jakarta. Kenapa kamu ngotot ngejar saya?"

​"Karena kamu kaya," jawab Kiana jujur tanpa berkedip. "Kamu nggak butuh uang saya. Kamu nggak akan coba merampok perusahaan saya di belakang punggung. Dan kamu dingin. Kamu nggak akan jatuh cinta sama saya, dan saya nggak akan jatuh cinta sama kamu. Itu sempurna. Nggak ada drama, nggak ada sakit hati. Murni bisnis."

​Gavin menatap wanita di depannya dengan pandangan yang sulit diartikan. Antara jijik, kagum, dan bingung.

 Wanita ini benar-benar pragmatis sampai ke tulang-tulangnya. Tidak ada basa-basi romantis, tidak ada kepura-puraan manis. Kiana menawarkan transaksi, sejelas transaksi jual beli kontainer.

​"Kamu gila," gumam Gavin lagi, kali ini tanpa nada marah. Hanya kelelahan.

​"Saya realistis," balas Kiana. "Jadi gimana? Deal? Jalur timur buat kamu, buku nikah buat saya. Satu tahun. Setelah itu kita kembali jadi musuh."

​Gavin mengusap wajahnya kasar. "Saya nggak bisa mutusin hal seserius ini di toilet pria, Kiana. Minggir. Saya mau pulang."

​"Jawab dulu. Ya atau tidak?" desak Kiana, merentangkan tangan lagi menghalangi pintu.

​"Kiana, minggir!" bentak Gavin, kesabarannya habis.

​"Nggak mau! Sebelum kamu bilang oke!"

​"Saya bilang minggir atau saya..."

​Gavin mengangkat tangan, hendak memindahkan tubuh Kiana secara paksa agar menyingkir dari pintu. Tapi gerakannya terhenti saat saku jasnya bergetar hebat diiringi nada dering telepon yang nyaring.

​Lagu 'Baby Shark' mengalun keras memenuhi toilet.

​Kiana menahan tawa. "Ringtone kamu selera humornya tinggi juga."

​"Diam. Ini Alea yang atur," gumam Gavin, wajahnya memerah karena malu. Dia merogoh ponselnya dengan kasar.

​Layar ponsel itu menyala. Nama 'Kepala Sekolah SD Pelita Bangsa' tertera di sana.

​Firasat buruk langsung menyergap Gavin. Ini baru jam lima sore. Kenapa kepala sekolah menelepon?

​Gavin menekan tombol terima dengan jari gemetar, lalu menempelkan ponsel ke telinganya. Matanya tetap terkunci pada wajah Kiana yang menatapnya dengan rasa ingin tahu.

​"Halo? Selamat sore, Bu Kepala Sekolah. Ada masalah apa lagi?" sapa Gavin, berusaha terdengar tenang meski suaranya tegang.

​Suara wanita di seberang sana terdengar histeris, nyaris menangis. Volume suaranya cukup keras hingga Kiana bisa mendengarnya samar-samar di ruang yang sunyi itu.

​"Pak Gavin! Tolong segera datang ke sekolah sekarang juga! Kami sudah tidak sanggup lagi!"

​"Pelan-pelan, Bu. Apa yang terjadi? Alea berkelahi lagi?" tanya Gavin sambil memejamkan mata, bersiap mendengar kabar buruk.

​"Bukan berkelahi, Pak! Alea... Astaga, saya sampai gemetar..." Kepala sekolah itu menarik napas panjang. "Putri Bapak baru saja membakar tong sampah besar di halaman belakang sekolah! Apinya hampir merembet ke gudang olahraga! Kami sudah panggil satpam untuk memadamkan, tapi Alea malah mengunci diri di ruang guru sambil memegang gunting, mengancam akan memotong rambut siapa saja yang mendekat!"

​Gavin merasa lututnya lemas seketika. Darah seolah surut dari wajahnya.

​Membakar tong sampah? Mengancam pakai gunting?

​Ini bukan kenakalan biasa lagi. Ini sudah masuk tahap kriminal untuk ukuran anak tujuh tahun.

​"Sa-saya... saya segera ke sana," jawab Gavin terbata-bata. "Tolong jangan panggil polisi. Saya mohon. Saya akan ganti semua kerugiannya. Tolong jaga dia sampai saya datang."

​Gavin menurunkan ponselnya perlahan. Tangannya terkulai lemas di sisi tubuh. Wajahnya pucat pasi, terlihat sepuluh tahun lebih tua daripada beberapa menit yang lalu.

​Dia menatap Kiana dengan tatapan kosong. Kesombongan dan arogansinya tadi lenyap, digantikan oleh keputusasaan seorang ayah yang gagal total.

​Kiana, yang mendengar percakapan itu, tidak tersenyum mengejek. Wajahnya justru berubah serius. Dia melihat kehancuran di mata Gavin.

​"Sekolah?" tanya Kiana singkat.

​Gavin mengangguk kaku, tenggorokannya tercekat. "Dia bakar tong sampah. Dan sandera ruang guru."

​"Oke," kata Kiana. Dia tidak banyak tanya. Dia bergeser dari depan pintu, lalu memutar kunci klik hingga terbuka.

​Gavin hendak melangkah keluar dengan gontai, tapi Kiana menahan lengannya. Cengkramannya kuat dan mantap.

​"Kamu nggak bisa ke sana sendirian dengan muka kacau begitu, Gavin. Kamu bakal diamuk massa atau malah bikin Alea makin ngamuk," ucap Kiana tegas.

​"Terus saya harus apa? Membiarkan dia ditangkap?" suara Gavin pecah.

​"Saya ikut," kata Kiana.

​Gavin menatapnya bingung. "Apa?"

​"Saya ikut ke sekolah. Sekarang," ulang Kiana sambil menarik tangan Gavin keluar dari toilet. "Anggap ini masa percobaan alias free trial sebelum kita tanda tangan kontrak."

​"Kamu mau ngapain di sana? Nambah masalah?"

​Kiana menoleh, memberikan tatapan tajam yang penuh percaya diri.

​"Menjinakkan monster kecilmu. Dan membuktikan kalau saya pantas dapat tanda tanganmu di buku nikah itu."

​Tanpa menunggu persetujuan Gavin, Kiana menyeret pria besar itu menyusuri koridor hotel, mengabaikan tatapan heran orang-orang. Kiana tahu, ini adalah momen penentuannya. Jika dia bisa menaklukkan anak Gavin hari ini, besok Adijaya Group akan aman dalam genggamannya.

1
shenina
Alea; auntie Kiana is my superhero 👏😍
shenina
ceritanya bagus 👍👍🤩
shenina
kiana.... selamatkan gavin dari wewe gombel.... 🤣🤣🤣🤣
Nor aisyah Fitriani
lanjuttt
Savana Liora
mantap kak
Savana Liora
asiaaapp
Nor aisyah Fitriani
uppp teruss seharian cuma nungguin kirana
Nischa
yeayyy akhirnya kiana sadar juga dengan perasaan nyaaa, uhhh jadi ga sabar kelanjutannya😍
Savana Liora
😄😄😄 iya, mantap kiana ya
shenina
😍😍
shenina
woah badass kiana 👍👍
shenina
🤭🤭
Savana Liora: halo. terimakasih udah baca
total 1 replies
shenina
👍👍
Savana Liora: makasih ya 😍😍
total 1 replies
Savana Liora
hahahaha
Nor aisyah Fitriani
upp teeuss thorr baguss
Savana Liora: asiaaap kk
total 1 replies
Nischa
lanjut thorr, ga sabar kelanjutannya🥰
Savana Liora: sabar ya. lagi edit edit isi bab biar cetar
total 1 replies
Nischa
cieee udah ada rasa nih kyknya, sekhawatir itu sm Gavin😄
Savana Liora: hahahaha
total 1 replies
Nor aisyah Fitriani
upp kak cerita nya baguss
Savana Liora: bab 26 udah up ya kak
total 1 replies
Nor aisyah Fitriani
baguss bangett
Savana Liora: makasih kak.😍 selamat membaca ya
total 1 replies
Feni Puji Pajarwati
mantap Thor...ceritanya gak kaleng2...maju terus buat karya nya...semangat...
Savana Liora: terima kasih supportnya kakak
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!