bagaimana jika seorang CEO menikah kontrak dengan agen pembunuh bayaran
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon SOPYAN KAMALGrab, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
rencana ke singapura
Setelah menjenguk Pak Budi, Amira, Andika, dan rombongan melanjutkan perjalanan menuju rumah besar milik Andika.
Rumah itu sebenarnya adalah rumah milik Viona di Indonesia. Bangunannya sangat megah dan luas. Viona hanya memiliki satu anak, yaitu Pratama, yang merupakan ayah Andika sekaligus suami Renata. Di rumah tersebut juga tinggal Bagus dan Serina. Mereka semua menetap di tempat yang sama demi alasan keamanan, mengingat Viona adalah seorang pebisnis besar yang tentu saja memiliki banyak musuh.
Mobil rombongan melaju dengan kecepatan cukup tinggi. Tidak ada yang berani menghentikan iring-iringan dari Pratama Grup. Mobil mereka sudah dilengkapi tanda khusus, sehingga setiap kali melintas, kendaraan lain memilih untuk menepi dan memberi jalan.
"Stop!" pekik Amira tiba-tiba.
"Bruk!"
Mobil yang dikendarai Andika mendadak ditabrak dari belakang oleh mobil bodyguard mereka.
"Gila! Kenapa berhenti mendadak?" bentak Andika kesal.
"Gue mau pipis! Cepat cari pom bensin!" teriak Amira dengan wajah serius.
"Pipis saja di sini!" balas Andika dengan ketus.
Pletak!
Kepala Andika langsung dijitak Amira tanpa ampun.
Andika mendelik marah, sementara Amira malah melotot lebih galak.
Robert dan sopir hanya bisa menahan tawa. Mereka sudah terbiasa dengan keributan dua manusia ini.
"Cari pom bensin! Gue mau kencing!" desak Amira, menahan kesal.
"Jalan saja!" seru Andika, malas meladeni.
Namun, tanpa banyak bicara, Amira mulai membuka resleting celananya.
"Dasar gila!" pekik Andika panik.
"Makanya cari pom bensin atau hotel!" hardik Amira.
Andika akhirnya menyerah. Ia memberi isyarat pada sopir untuk mencari tempat pemberhentian secepatnya.
"Memang agak lain kalau orang kaya," pikir Amira sambil menghela napas, "mau pipis saja mesti cari hotel."
Mobil pun berbelok keluar jalan utama, mencari tempat yang layak demi memenuhi permintaan darurat si ratu ribut itu.
Sesampainya di hotel, suasana sudah riuh. Para pegawai mulai dari security sampai manajer sibuk berlari ke sana kemari. Kabar cepat beredar: Andika sedang melakukan sidak. Padahal, kenyataannya, Andika hanya mengantar Amira ke hotel untuk ke toilet.
Amira yang dadanya masih acak-acakan segera keluar dari mobil. Ia memakai celana jeans belel dan kaus lusuh yang sudah berbau asam, maklum saja, selama di penjara ia jarang mandi.
Turun seorang diri, Amira bergegas mencari toilet. Namun baru beberapa langkah, seorang security menghadangnya.
"Stop! Gembel dilarang masuk. Bos besar mau datang!" hardik security itu.
Amira menatapnya dingin, lalu tanpa banyak bicara, ia menginjak keras kaki security itu.
"Arghhh!" teriak security kesakitan.
"Kejar dia!" seru yang lain.
Namun, Robert buru-buru muncul.
"Biarkan. Dia orangnya Bos," tegas Robert.
"Siap, Bos," sahut para security.
Sementara itu, Andika masih malas keluar dari mobil, padahal para manajer sudah berkumpul untuk menyambutnya.
Amira dengan santai masuk ke toilet. Setelah menyelesaikan urusannya, ia berjalan santai ke lobi.
Di lobi, ia berpapasan dengan Desi.
Desi langsung terbelalak, wajahnya pucat.
"K-Kenapa kamu masih hidup?" suaranya bergetar.
Amira menyeringai. "Kata siapa aku masih hidup? Aku sudah mati... tapi matinya bohong, hehe," balas Amira santai.
"B-Bagaimana mungkin?" gumam Desi, gemetar.
Amira menatapnya tajam. "Semua mungkin kalau pembunuhnya murahan," katanya santai.
Lalu Amira menambahkan, "Oh ya, makasih ya atas transferannya. Sepuluh juta lumayan. Dua juta buat Jamal, delapan juta buat gue. Adil, kan?"
Desi hanya bisa menatap tanpa kata-kata, tubuhnya bergetar ketakutan.
Desi mengeluarkan ponselnya dengan gemetar.
"Pak, gimana sih? Wanita sialan itu masih hidup!" keluh Desi, suaranya penuh kekesalan.
"Mana mungkin? Jamal sudah kirim foto mayatnya," jawab ayahnya, Herman, dengan tenang.
"Jamal bohong, Pak! Dia cuma ambil uangnya doang. Uangnya malah dibagi dua sama Amira. Malah Amira yang dapat lebih banyak, Pak!" seru Desi, hampir menangis karena panik.
"Sialan si Jamal..." geram Herman. "Ya sudah, nanti Papa yang urus."
"Urus cepat, Pak! Kalau dia masih hidup, nyawaku dalam bahaya. Papa tahu sendiri gimana kondisi Dani setelah dipukuli Amira," tambah Desi, wajahnya pucat ketakutan.
Di markasnya, Herman langsung menghubungi Jamal. Beberapa deringan berlalu sebelum akhirnya diangkat.
"Jamal, lu udah bohongin gue! Balikin uang gue!" bentak Herman tanpa basa-basi.
"Lu yang gila, Herman! Lu kasih data ngaco. Kata lu cuma tukang ojol perempuan. Taunya, wanita gila!" Jamal membalas dengan nada tinggi.
"Gue nggak mau tahu. Kalau lu nggak berhasil singkirin dia, balikin duit gue!" ancam Herman.
"Kalau lu nagih terus, gue bakar rumah lu! Gue cuma kebagian dua juta. Anggap saja itu uang berobat buat gue!" hardik Jamal sebelum memutus sambungan telepon.
Sementara itu, di hotel tempat Amira berada, ia berjalan santai ke arah lobi.
Tak ada satu pun staf yang berani menghentikannya. Siapa pun yang satu mobil dengan Andika Pratama pasti bukan orang sembarangan, meski penampilannya terlihat acak-acakan.
Tak lama, rombongan Andika keluar dari hotel. Para staf dan manajer hotel menarik napas lega.
"Ternyata bukan sidak... cuma mampir," bisik seorang staf.
"Itu wanita siapa ya? Kok bisa-bisanya Bos Andika ke sini cuma nganter perempuan buat pipis?" tanya staf lain, penasaran.
"Mungkin pacarnya," sahut yang lain.
"Ih, pacarnya Bos cuma Nyonya Bianka. Itu juga gagal nikah kemarin," bantah rekannya.
"Tutup mulut kalian! Jangan bergosip di jam kerja!" tegur salah satu atasan mereka tegas.
Para staf pun buru-buru membubarkan diri, berpura-pura sibuk. Namun dalam hati, mereka tetap bertanya-tanya, siapa sebenarnya wanita yang bisa membuat pewaris Pratama Grup sampai repot begitu.
Begitu masuk ke dalam mobil, Andika langsung melirik Amira dengan kesal.
"Ribet banget sih hidup lo," gerutunya sambil memasang sabuk pengaman.
Amira cuek. Ia malah membuka botol air mineral dan minum santai, seolah tak peduli dengan tatapan membunuh Andika.
Robert, yang duduk di kursi depan, berusaha keras menahan tawa. Suasana di dalam mobil terasa aneh — tegang tapi kocak.
"Kalau bukan karena perusahaan, gue ogah banget urusan sama lo," desis Andika, setengah memaki.
Amira mengangkat alis santai. "Kalau bukan karena bapak gue, gue juga ogah liat muka lo, Mas Dika," balasnya ketus.
“Dengar baik-baik,” kata Andika sambil menunjuk Amira. “Lu harus hargai jasa-jasa gue. Gue udah bebasin lu dari penjara, gue udah bayarin biaya perawatan bapak lu, gue juga udah nganterin lu pipis! Jadi, lu harus bayar jasa gue.”
Amira melirik Andika, dalam hati bergumam, "Apa nih maunya bocah, kalau mau badan gue, gue potong-potong sosisnya."
Andika menatap tajam. "Kenapa lu diam?" tanyanya curiga.
"Awas aja kalau dia banyak permintaan, gue lempar dia ke Bantar Gebang sekarang juga." pikir andika dalam hati
“Apa yang harus gue lakukan?” akhirnya Amira bertanya, malas.
“Lu harus ikut gue ke Singapura. Lu gak boleh nolak! Walau lu mabok udara, lu harus tetap ikut!” perintah Andika keras.
Suasana mendadak hening. Semua orang menunggu reaksi Amira.
“Emmmmmmmuahhhh!” amira tiba-tiba mencium andika dan memeluknya erat
“Dasar gila! Mulut lu bau!” semprotnya kesal, sambil mengelap pipinya dengan tangan.
“Kamu memang suamiku yang baik... Akhirnya gue bisa lihat singa mabok!” serunya girang. Sambil tertawa
“Loh, kok singa mabok?” Tanya andika heran
Amira nyengir lebar. “Iya, itu, di Singapura ada patung singa keluar air. Dia muntah, kan? Nah, dia itu singa masuk angin, makanya muntah terus sampe sekarang. Gue mau ngerokin dia nanti!”
“hahahahahahah” Robert tak tahan lagi dia tertawa terbahak-bahak sampai mobil terguncang, dia sudah tidak tahan dari tadi mau ketawa. Robert tak peduli walau nanti dimarahi andika
tapi kenapa yah oma viona selalu menuduh allesandro setiap ada masalah perusahaan? dan bagaimana nasib andika selanjutnya
seru nih amira hajar terus