NovelToon NovelToon
Diremehkan Karna Miskin Ternyata Queen

Diremehkan Karna Miskin Ternyata Queen

Status: sedang berlangsung
Genre:Fantasi / Mafia / Reinkarnasi / Fantasi Wanita
Popularitas:4k
Nilai: 5
Nama Author: Anayaputriiii

"Diremehkan Karna Miskin Ternyata Queen" Adalah Kisah seorang wanita yang dihina dan direndahkan oleh keluarganya dan orang lain. sehingga dengan hinaan tersebut dijadikan pelajaran untuk wanita tersebut menjadi orang yang sukses.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Anayaputriiii, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 23 Dua Garis Merah

Lisna bersiap berangkat bekerja. Seragam kebidanan yang ia pakai terlihat sedikit sesak saat Hanin melihatnya. Ia merasa bahwa kini sang adik sedikit gemuk.

"Lis, seragammu kok tiba- tiba kekecilan ya kalau aku lihat?"celetuk Hanin saat Lisna berdiri hendak mengambil minum.

"Sirik aja! Seragam kekecilan aja pakek dikomentari." Lisna menjawab ketus, tak peduli jika di hadapannya ada Raffa, dan orang tuanya.

Hanin tersenyum. "Ya udah, maaf kalau kesinggung," celetuknya.

Bu Daning sendiri merasa bahwa apa yang dikatakan Hanin ada benarnya. Putrinya itu terlihat lebih gemuk dari biasanya. Padahal, Lisna paling anti dengan kegemukan. la selalu membatasi diri untuk makan terlalu banyak agar tubuhnya tetap ideal.

Lisna mencebik. "Pak, Bu. Aku berangkat kerja dulu."

"Iya, hati- hati, Lis," jawab Bu Daning.

Saat ia melewati cermin besar diruang tengah, Lisna kepikiran dengan ucapan Hanin. Ia becermin dengan posisi menyamping. Benar, ia memang gemuk. Apalagi dibagian perut. Dan anehnya, ia selalu saja merasa lapar meski sudah makan.

Lisna membuang napas. Sebenarnya, ada kekhawatiran dihatinya. la takut tanda- tanda perubahan bentuk tubuhnya adalah karena kehamilan. Tapi, apa benar kalau ia hamil? Lisna menggigit bibir bawahnya, lalu mengusap perutnya.

"Aku bulan ini belum haid.Tapi... kalau beneran hamil gimana?" gumamnya.

"Besok aja aku tes, ucapnya, lantas segera berangkat ke puskesmas dengan menaiki motor matiknya. Lisna sempat melirik motor vega yang terparkir di sebelah motornya. "Dih, bisa- bisanya motor jadul kayak gini disebelahin sama scoopyku," tukasnya.

Hanin membereskan sisa- sisa piring kotor. Saat ia hendak mencucinya, Raffa menghampiri dan melarangnya.

"Tidak usah dicuci. Cuci saja punyamu. Hanin terkejut. "Tapi, Mas ...."

"Halah! Mau nyuci piring aja dilarang! Itu sudah tugasnya Hanin dari dulu. Ngapain dilarang?!" Bu Daning berkacak pinggang menatap Hanin dan Raffa yang selalu saja membuatnya muak.

Raffa menatap Bu Daning dengan tatapan menuduk. "Hanin adalah istri saya. Saya berhak melarangnya melakukan apa yang saya tidak suka. Itu piring anak kesayanganmu, biar dia cuci nanti setelah dia pulang kerja!"tandasnya.

Bu Daning terbelalak. Tangan yang ia letakkan di pinggang terasa lemas dan jatuh dengan sendirinya. Suara, kalimat, dan tatapan Raffa benar- benar membuatnya takut. Ia sampai kesulitan menelan ludahnya sendiri.

"Bu, sudah. Biarkan saja Hanin ,toh dia sebentar lagi harus kerja. Apa yang dikatakan Raffa kan memang benar. Lisna itu harus mulai diajari tanggung jawab," timpal Pak Abdul.

Bu Daning mendengkus. Lantas, berlalu pergi begitu saja tanpa bicara.

"Nak Raffa, tolong maafkan istri bapak," pinta Pak Abdul pada menantunya.

"Iya, Pak. Saya juga minta maaf jika saya bersikap lancang tadi."

Raffa menundukkan kepala. Lantas ia salim dan pamit bekerja begitupula dengan Hanin. Hanin berboncengan dengan Raffa. Mereka menjadi pusat perhatian para tetangga pagi ini.Banyak dari para wanita baik yangmasih gadis mau pun paruh baya menaruh iri hati pada Hanin karena suaminya sangat tampan dan gagah.

"Duh, gak nyangka kalau ternyata suami si Hanin itu ganteng banget. Tahu gitu. Dulu aku gak ikut- ikutan buat grebek si Hanin,"celetuk seorang wanita bernama Sari. la gadis muda berusia dua puluh dua tahun yang rumahnya berhadapan dengan rumah Hanin.

"Iya, ya. Kukira sama lelaki yang jelek atau gimana gitu. Lah Lisna bilangnya cuma sama pria asing gitu doang," timpal seseorang yang lain.

"Eh, tapi tapi ... kalau ganteng doang tapi kere juga gimana ya?"

"Iya. Sama- sama susah. Ganteng doang kalau gak banyak duit buat apa? Mending calonnya Lisna tuh, si Arya. Udah pengusaha,sekarang merangkap jadi orang kantoran."

Pujian demi pujian dilontarkan kaum gibah itu untuk Lisna dan hinaan untuk Hanin. Mereka lupa bahwa dirumah mereka, setumpuk pekerjaan sudah menanti. Saking serunya topik pembicaraan sampai mereka lupa dengan tugas yang sebenarnya.

Lisna berdiri di sudut ruang bersalin dengan wajah cemberut.Peluh mengalir di dahinya, dan ia terus menatap seorang ibu yang sedang berjuang melahirkan diranjang persalinan. Ini adalah hari yang entah keberapa ia menjalani tugasnya sebagai asisten bidan. Sebenarnya ia sudah ingin menyerah saja rasanya.

"Ibu, kuatkan, ya. Jangan lupa atur nafasnya," Ujar Bu Widya.

bidan senior yang membimbingnya. Lisna besengut karena hanya dalam beberapa jam pertama, ia sudah harus menghadapi momen-momen yang kini selalu menjadi mimpi buruknya. Salah satunya,membersihkan kotoran yang tak sengaja keluar saat ibu- ibu mengejan.

Saat pasien berikutnya kembali mengalami hal serupa, Lisna tak bisa lagi menahan rasa jijiknya. Ia mendekati Bu Widya dengan nada protes. "Bu, kenapa saya terus yang disuruh bersihin ini? Kan masih ada bidan yang lain."

Bu Widya mengangkat alis, menatap Lisna dengan tegas. "Lisna, kamu tahu apa yang paling penting di ruang bersalin? "

Lisna mendengkus pelan. "Ya, melahirkan bayinya, Bu."

"Salah," Bu Widya memotong cepat. "Yang paling penting adalah memastikan ibu dan bayi selamat, apa pun yang terjadi. Kalau kamu gak bisa tahan membersihkan kotoran atau lendir, kamu sebaiknya pikir ulang kariermu didunia medis."

Lisna terdiam. Ucapan itu menusuk, tapi ia tahu Bu Widya benar. Sebelum Lisna bisa membalas, Bu Widya menambahkan, "Kamu tahu Membersihkan kotoran itu adalah hal kecil. Dibandingkan perjuangan ibu yang bertaruh nyawa melahirkan, apa yang kamu lakukan ini gak seberapa."

Lisna menunduk, menahan kesal. Ia merasa dirinya terlalu menyedihkan karena selalu ditugaskan untuk hal yang satu itu.

Ia kembali ke pasien dengan perasaan campur aduk, berusaha menahan rasa jijiknya sambil membersihkan pasien dengan hati-hati.

Siang hari menjelang sore, Lisna merasa sangat lelah dari biasanya. Ia memutuskan beristirahat sambil makan gado gado yang biasanya ia beli. Namun, saat suapan pertama masuk dan tertelan, Lisna langsung mual dan segera lari ke kamar mandi. Ia muntah- muntah, seolah makananyang ia makan terasa aneh di lidahnya.

"Astaga, apa ini? Apa benar dugaanku?" Lisna mengusap wajahnya. Dadanya berdebar kencang. "Kalau memang positif, aku harus meminta Mas Arya segera menikahiku."

Sore harinya, Lisna pulang dengan tubuh yang lelah. Di rumah, ia mendapati Bu Daning sedang duduk di ruang tamu sambil menyiangi petai.

"Kamu kok lemes banget?" tanya Bu Daning sambil menatap Lisna yang menjatuhkan diri kesofa.

Lisna menghela napas. "Hari ini aku bantu persalinan, Bu. Gak cuma satu, tapi tiga sekaligus."

Bu Daning tersenyum tipis. "Hebat dong. Jadi makin dekat kecita- citamu jadi bidan, kan? Terus bisa buka praktik sendiri nanti."

Lisna menggeleng lesu. "Gak juga. Aku malah mikir ulang.Ternyata aku terlalu jijik untuk pekerjaan ini. Tiap kali ada yang buang kotoran waktu lahiran, aku mau muntah. Gimana aku bisa bertahan kalau setiap hari harus menghadapi hal kayak gitu?"

Bu Daning terdiam sejenak, lalu meletakkan pisaunya."Lis,kamu ingat waktu kecil, kamu sering main rumah- rumahan? Kamu selalu jadi dokter atau bidan dan ibu jadi pasien?"

Lisna tersenyum samar. "Iya, aku ingat. Aku dulu suka banget pura- pura jadi bidan."

"Kamu dulu bilang mau nolongin orang banyak. Apa sekarang cita- cita itu berubah cuma karena hal kecil kayak ini?" tanya Bu Daning, matanya menatap Lisna penuh arti. Selain itu dalam hati, ia takut jadi omongan orang kalau sampai Lisna berhenti jadi bidan.

Lisna terdiam. Kata- kata sangIbu membawanya kembali ke masalalu, saat ia kecil dan begitu yakin akan mimpinya. Ia ingat betapa ia ingin menjadi seseorang yang bisa menyelamatkan nyawa orang lain. berkata pelan.

"Tapi, "Ibu benar." Akhirnya Lisna bagaimanapun juga aku jijik, Bu," rengeknya.

"Hala, jangan ngalem begitu dong, Lis. Kamu mau semua orang merendahkan kamu nanti?" todong Bu Daning.

"Dulu, kamu yang ngotot jadi bidan, sekarang mau berhenti cuma gara- gara gak mau ngebersihin kotoran."

Lisna besengut. Namun, tak dapat membantah ucapan sang Ibu.

"Lisna?"

"Apa?"Lisna tak mengalihkan pandangannya dari ponsel. lama sih bertukar pesan dengan Arya.

"Ibu pikir kalau ucapan Hanin tadi pagi benar. Kamu ini loh makin gendut. Apa akhir- akhir ini kamu banyak makan?" tanya Bu Daning.

Gerakan jemari Lisna terhenti."Iya. Aku sering jajan akhir- akhir ini. Makanya aku gendutan. Wajar dong? Soalnya aku hidup enak?" tukasnya.

Bu Daning tersenyum. "Iya,benar. Ya udah kalau begitu. Ibu mau naruh pete ini di dapur. Biar besok dimasak sama Hanin."

"Iya ...." Lisna memutar malas bola matanya. "Besok pagi ... aku akan tau hasilnya," gumamnya.

Menik menyambut kedatangan Pak Brata dari pertemuan dengan salah satu koleganya di hotel ternama. la sengaja memakai pakaian berbahan satin dan menerawang saat suaminya masuk ke kamar.

"Gimana pertemuannya, Pa?" tanya Menik seraya bergelayut manja di lengan Pak Brata.

"Berjalan lancar, Ma." Pak Brata duduk di tepi ranjang. la dengan dibantu Menik, melepaskan kemeja yang melekat di tubuhnya.

"Baguslah kalau begitu," kata Menik seraya berjalan meletakkan kemeja suaminya di bak khusus pakaian kotor.

"Enak Raffa nanti bisa nerusin perusahaan yang sudah kamu jalanin selama ini, Pa." Menik menyeletuk. la menyingkap rambutnya ke belakang telinga.

Pak Brata bergeming. la menatap lurus ke depan. Tatapannya tertuju pada sebua foto anak kecil yang tak lain adalah Raffa. "Bukan aku, tapi Amira," ucapnya pelan.

Kening Menik berkerut. "Mbak Mira?"

Pak Brata membuang napas panjang. Hatinya begitu nelangsa setiap kali mengingat Bu Mira. Jujur saja, ada rasa sesal yang terus menghantuinya sejak mengusir Bu Mira dari rumah besar itu. Namun, apalah daya? Semua sudah terjadi dan berjalan sejauh ini. Baik Bu Mira dan Raffa sudah telanjur membencinya.

"Sudahlah, tidak perlu dibahas. Aku mau mandi dulu. Tolong kamu siapkan bajuku," kata Pak Brata.

Menik tersenyum manis. "Iya,Pa." Senyumnya menghilang usai Pak Brata masuk ke dalam kamarmandi. sama wanita tua itu," gumam

"Ternyata dia masih teringat Menik.

Sementara itu di kantor Nirwana, Raffa masih menyelesaikan sisa pekerjaannya.Saat ini ia menyapu lantai dua, dimana ruangan Arya berada. Tepat saat pekerjaannya hampir selesai, Arya sengaja membuang putung rokok di lantai, tepat di sisi kanan kaki Raffa.

sampah, Pak Arya?" Raffa menatap Arya yang tingkahnya begitu arogan. Pria itu berdiri dengan bersidekap di depan dada layaknya karyawan dengan jabatan tertinggi.

"Anda tidak mengenal tempat Arya berdecak. "Kan ada kamu. Kamu kan punya tugas bersihin sampah. Sama aja kamu itu tempat sampah!" balasnya seraya tersenyum sinis.

Raffa menyeringai. Tanpa banyak kata, ia membersihkan putung rokok tersebut.

"Apa Anda tidak tahu aturan diperusahaan ini?" tukasnya seraya memasukkan sampah yang ia sapu ke tong sampah.

"Dilarang merokok di area kantor. Kalau Bos perusahaan ini tahu, Anda bisa kena masalah."

Arya memicingkan mata. "Ini bukan rumah sakit. Tak masalah kalau aku merokok di sini. Lagian Bos juga gak ada di sini. Kecuali kamu yang ngadu kalau sampai Bos tahu."

Raffa mengendikkan bahu.

"Terserah Anda."

"Woylah, kamu cuma OB! Bisa ga bersikap hormat sama aku?"

Aku bisa laporin kamu ke Pak Wirya, dan kamu bisa dipecat," ancam Arya.

"Silakan saja." Mulut Arya ternganga.

"Santai sekali jawabanmu. Kamu sama Hanin emang cocok. Udah sama- sama miskin tapi belagunya sundul langit!"

Raffa dengan cepat menarik krah kemeja Arya hingga lelaki arogan itu terkejut dengan sikap Raffa yang tiba- tiba.

"Hei, a- apa yang kamu lakukan? Aku bisa melaporkanmu!"Arya yang tubuhnya kalah tinggi dan kalah besar, kalah kekutaan. Ia bahkan sampai berjinjit saat Raffa menarik krah kemejanya.

Arya menelan ludahnya kasar saat beradu tatapan dengan Rafa.

"Sialan!" gumamnya dalam hati.

"Aku bisa menahan diri kalau kau hanya menghinaku. Tapi, kalau kau sebut nama istriku, menghilangkan nyawamu dalam sekejap saja akan aku lakukan." Raffa menyeringai.

Arya melotot. "Pa, Papaaa!"teriaknya meminta bantuan papanya.

Raffa tersenyum. "Bagaimana bisa anak papa sepertimu bekerja di sini?"

"Lepaskan aku, atau kau akan menyesal!" Kata Arya.

Pak Herman yang baru keluar ruangan terkejut melihat putranya bertengkar dengan Raffa.

"Apa-apaan ini, Raffa? Apa yang kamu lakukan?!" Suaranya menggelegar.Untungnya suasana kantor sepi karena karyawan sudah banyak yang pulang.

Raffa melepaskan cengkeramannya. Ia menegakkan badannya. Sementara Arya menarik napas dalam dalam dan mengembuskannya beberapa kali.

"Papa, dia OB yang kurang ajar! Bisa- bisanya dia menarik krah bajuku!" Arya mengadu sambil mengibas- ngibaskan pakaiannya. Seolah- olah bekas sentuhan tangan Raffa adalah najis.

Pak Herman mendekati Raffa."Saya kecewa sama kamu, Raffa. Bagaimana bisa kamu melakukan hal tidak sopan begitu?" todongnya.

Raffa mengangguk hormat."Saya hanya menjaga kehormatan istri saya. Sebagai sesama suami, Anda pasti bisa merasakan bagaimana rasanya jika istri dihina orang lain. Pasti marah, kan?"

Pak Herman menghela napas."'Sudah, pergilah dari hadapanku!"

Raffa mengangguk. Lantas berlalu pergi seraya menyeret alat-alat kebersihannya.

"Arya, kamu jangan cari gara-gara sama dia!" tegur Pak Herman

"Halah, cuma OB saja. Apa yang papa takutkan?"

"Papa cuma gak mau kamu dapat masalah, Nak. Raffa tidak pernah membuat masalah. Papa tidak mau kalau kamu sampai dapat masalah hanya karena berdebat sama dia," tukas Pak Herman.

"Iya, iya. Ya udah ayo pulang, pa!" Ajak Arya.

"Iya."

Di dalam mobil yang sama, Pak Herman menasehati Arya agar tidak bertindak gegabah dalam melakukan sesuatu di perusahaan.

"Papa lihat kamu sering mencari muka sama para atasan. Untuk apa, Ar?"

"Buat apalagi, Pa? Jelas jelas aku mau jabatan yang lebih tinggi."Arya menjawab sembari fokus menyetir.

Pak Herman berdecak. "Tidak usah sampai begitu, Ar. Kamu seperti penjilat saja. Lebih baik bekerja yang rajin dan tunjukkan kalau kamu mampu. Nanti, seiring berjalannya waktu pasti jabatanmu akan naik," tuturnya.

"Kelamaan, Pa. Aku maunya cepet."

"Kamu ini, udah dikasih tahu yang baik malah ngeyel."

...****************...

Lisna memandangi test pack ditangannya dengan tatapan campur aduk antara panik dan bahagia. Dua garis merah itu begitu jelas, seperti tamparan sekaligus harapan. la menarik napas panjang, mencoba menenangkan dirinya. Sebuah senyum kecil tersungging dibibirnya.

"Ini saatnya. Mas Arya pasti akan segera menikahiku," gumamnya pelan, seperti berusaha meyakinkan dirinya sendiri.

Namun, bayangan wajah ibunya yang tegas dan ayahnya yangpenuh wibawa melintas di benaknya. Mereka tidak pernah menyangka putri kedua merekayang selalu dibanggakan bisa terjebak dalam situasi seperti ini. Perut Lisna mual, bukan karena kehamilannya, tetapi karena ketakutan pada reaksi keluarganya.

Lisna memutuskan untuk menyimpan kabar ini sendiri, setidaknya sampai Arya memberinya kepastian. la tahu Arya mencintainya, tetapi apakah pria itu siap menikah dalam waktu dekat?

"Ah, aku akan mendesak Mas Arya nanti."

Lisna melangkah keluar dari kamar mandi dengan langkah berat. Ia menyembunyikan testpack itu di dalam laci mejanya, dibalik tumpukan buku kuliahnya dulu yang jarang ia buka. la tahu,waktunya belum tepat untuk memberitahu siapa pun kecuali Arya.

Lisna menunduk, menatap dan mengusap perutnya yang kini ada kehidupan baru di dalamnya.

"Lagian kenapa bisa sampek hamil sih? Mas Arya emang bodoh karena kebablasan kemarin," tukasnya.

1
Nurae
Ini cerita nya sedih... ☹️
viddd
Greget bangett sama kelakuan lisna dan ibunya,, cepet rilis episode selanjutnya dong
viddd
Good ceritanya
viddd
Kasian lisna, baru episode 1 aja sedih ceritanya 🥲
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!