Sayangi aku.. Dua kata yang tidak bisa Aurora ucapkan selama ini.. Ia hanya memilih diam saat mendapatkan perlakuan tidak adil dari orang- orang di sekitarnya bahkan keluarganya. Jika dulu dia selalu berfikir bahwa kedua orang tuanya itu sangat menyayangi dirinya karena mereka yang tidak pernah memarahi bahkan menuntut dirinya untuk melakukan apapun dan sangat berbanding terbalik dengan perlakuan ke dua orang tuanya pada kakak dan adiknya.. Tapi semakin dewasa Aurora menyadari bahwa selama ini ia salah.. Justru keluarganya itu sedang mengabaikan dirinya.. Keluarganya tidak peduli dengan apapun yang ia lakukan ...
INGAT !!! Ini hanya cerita fiksi dimana yang mungkin menjadi tidak mungkin dan yang tidak mungkin menjadi mungkin..
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon SunFlower, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
#16
Happy Reading...
.
.
.
Dika melepaskan pelukkannya lalu menatap Rora. "Apa aku boleh bertanya lagi?"
Rora menganggukkan kepalanya. "Hmm. Kamu ingin bertanya apa lagi?"
"Kamu tidak terpaksakan menerimaku." Tanya Dika yang membuat Rora tersenyum.
"Apa kamu ingin aku merubah jawabanku?" Tanya Rora yang langsung dapat penolakkan dari Dika. "Tidak ada yang memaksaku."
FLASH BACK ON
"Tante.. Terima kasih.." Ucap Rora setelah mereka berdua menduduki di kursi yang berada di halaman Villa. "Terima kasih karena sudah membelaku tadi."
"Kamu tidak perlu berterima kasih sayang." Jawab Citra sambil menggenggam tangan Rora. "Jangan dengarkan ucapan mereka."
Rora menganggukkan kepalanya. Setelah itu mereka berdua sama- sama terdiam yang membuat keadaan semakin menjadi canggung. "Ngomong- ngomong tante ingin berbicara apa denganku?" Tanya Rora memecah kesunyian.
"Emm Rora, sebelumnya tante meminta maaf jika tante lancang. Tante ingin membahas soal Dika." Ucap Citra.
"Dika."
Citra terlihat sedikit ragu untuk bertanya tapi ia merasa khawatir dengan perubahan sikap Dika akhir- akhir ini. "Tante merasa akhir- akhir ini Dika menjadi anak yang sedikit pendiam. Tante merasa ini pasti ada hubungannya dengan kamu." Ucap Citra. "Tante tidak bermaksud menyalahkan kamu." Lanjut Citra saat melihat perubahan di wajah Rora.
Rora menundukkan kepalanya.
Citra menghela nafasnya pelan, melihat reaksi Rora, Citra bisa menebak jika perubahan sikap anak lelakinya itu memang karena Rora. Ia menggenggam tangan Rora. "Sebenarnya tante tidak ingin ikut campur permasalahan kalian berdua. Tapi sayang.. Anak tante itu sekarang sering terlihat murung dan lebih pendiam dari biasanya." Citra menjeda ucapannya. "Tante tidak tahu alasan apa yang ada di balik penolakkanmu kepada anak tante. Tapi yang tante tahu pasti bahwa anak tante tulus menyayangi kamu."
"Aku hanya tidak ingin menjadi beban untuk Dika tante. Aku tidak mau merepotkan dan mempermalukan keluarga tante dengan kecacatanku." Jawab Rora lirih.
"Sayang, dengarkan tante. Kamu bukan beban untuk Dika. Om dan tante tidak pernah mempermasalahkan dengan siapa Dika akan menikah yang terpenting untuk om dan tante adalah Dika bahagia. Dan tante yakin kamu adalah sumber kebahagiaan untuk Dika." Ucap Citra. "Beberapa tahun lalu untuk pertama kalinya tante melihat Dika kacau. Untuk pertama kalinya Dika menunjukkan kesedihannya. Saat tante bertanya Dika hanya mengatakan sudah mengecewakan seseorang yang sangat ia cintai. Melihat betapa hancurnya Dika waktu itu membuat tante tahu seberapa besar pengaruh perempuan itu untuknya. Dan baru beberapa bulan yang lalu tante baru tahu perempuan yang membuat anak tante sampai seperti itu adalah kamu."
Kedua mata Rora berkaca- kaca saat mendengar
FLASH BACK OFF
"Papa.. Papa.. Ma, papa ada dimana?" Tanya Dika.
"Papa kamu sedang berada di halaman belakang dengan om Devano. Kenapa?" Tanya Citra penasaran karena melihat wajah Dika yang terlihat senang.
Dika memeluk mamanya erat. "Ma, Dika hari ini merasa senang. Senang sekali." Ucap Dika lalu memberikan jarak antara dirinya dan sang mama. "Rora menerima Dika ma.. Rora sudah menjadi kekasih Dika.. Penantian Dika selama ini tidak sia- sia.. Dika senang ma.." Ucapnya lalu memeluk mamanya lagi dengan sangat erat.
"Mama senang mendengarnya. Jangan mengecewakannya lagi. Jaga dia baik- baik." Ucap Citra sambil mengusap punggung sang anak. "Tapi apa hubungannya dengan papa?" Tanya Citra sedikit tidak mengerti.
"Dika cuma mau bilang kalau Dika mau menerima tawaran papa." Jawab Dika antusias.
"Tiba- tiba banget kamu Dik. Kenapa? Bukan kah kemarin kamu masih kekeh untuk menolak tawaran papa?" Tanya Rendra yang datang bersama Devano.
Dika tersenyum lebar hingga menampakkan deretan gigi putihnya. "karena aku ingin segera menikah." Jawab Dika membuat semua orang yang ada di sana terkejut.
"Menikah? Mau menikah dengan siapa kamu?" Tanya Devano pada keponakannya itu.
"Siapa lagi kalau bukan dengan pujaan hatinya." Saut Citra.
"Jangan bilang dengan gadis bu..."
"Berhenti." Bentak Dika. "Tidakkah tante berfikir bahwa apa yang akan tante ucapkan atau keluarkan dapat menyakiti orang lain. Apa tante tidak takut jika suatu saat perkataan tante menyakiti hatinya lalu dia membalasnya dengan doa dan doanya menembus langit. Rora selama ini diam karena dia khawatir perkataannya akan melukai hati orang lain. Jadi lebih baik tante diam, karena mulai saat ini aku tidak akan tinggal diam jika ada yang menghina Rora." Tegas Dika.
"Sudah- sudah." Potong Rendra yang tidak ingin sampai ada keributan. "Setelah pulang dari sini papa akan mengajari kamu beberapa hal. Jadi bulan depan kamu sudah bisa menggantikan papa di perusahaan. Bagaimana?"
Dika menoleh menatap papanya lalu menganggukkan kepalanya. "Tentu saja. Dika akan berusaha sebaik mungkin dan tidak akan mengecewakan papa."
.
.
.
Hari ini mereka akan kembali pulang setelah menghabiskan waktu satu minggu ini untuk berlibur.
"Tante." Panggil Dika pada Elina. "Rora ikut bersama Dika ya." Ijinnya sambil menakupkan kedua tangannya memohon.
"Ck." Elina berdecak kesal. "Tapi pulangkan dia dengan selamat." Jawab Elina. "Awas kalau sampai ada yang lecet meskipun sedikit tante pasti akan membuat perhitungan dengan kamu." Ancam Elina.
"Tidak akan." Jawab Dika sambil memeluk Elina dari samping.
Aluna menatap kesal ke arah Rora. Perhatian uyang di dapatnya dari semua orang benar- benar membuat Aluna merasa iri. Seharusnya dirinyalah yang ada di posisi itu sekarang bukan Rora. Seharusnya ia lah yang menjadi pusat perhatian dan mendapatkan kasih sayang semua orang bukan Rora.
"Kenapa harus kamu?" Tanya Aluna dalam hati sambil menggenggam kedua tangannya.
Sepanjang perjalanan menuju bandara Dika benar- benar tidak melepaskan genggaman tangannya pada Rora. Berulang kali ia usap punggung tangan yang berada di dalam genggamannya itu dengan sesekali memberikan kecupan yang membuat Rora merasa malu karena di dalam mobil itu tidak hanya ada mereka berdua tapi ada kedua orang tua Dika, Ayudia dan Daniah. Disaat Mereka berdua sama- sama terdiam tidak berani berbicara setelah mendapatkan ancaman dari Dika semalam.
Elina menyerahkan satu persatu tiket sesui dengan nama masing- masing. Dika mengerucutkan bibirnya saat mengetahui bahwa di dalam pesawat nanti mereka akan duduk terpisah. Rora mendapatkan tempat duduk tepat di sebelah Bara sedangkan Dika bersama Aluna.
"Apa kamu ingin tukar?" Tawar Rora pada Aluna. Meskipun tidak bisa melihat tapi Rora tahu pasti bahwa Aluna sedang kesal kepada dirinya.
"Ck." Bara berdecak. "Tidak perlu menyusahkan. Perjalanan ini hanya akan memakan waktu beberapa jam saja." Ucap Bara yang membuat Aluna dan Dika semakin mengerucutkan bibirnya karena kesal.
"Sudahlah sayang, tidak apa- apa kamu sementara dengan Bara dulu." Saut Elina. "Nantikan kalian masih bisa satu mobil lagi kan." Lanjut Elina.
Dika masih menekuk wajahnya bahkan saat mereka semua sudah tiba di Surabaya.
Citra membawa Rora untuk mendekat ke arah Dika. "Lihatlah anak mama masih manyun." Ucap Citra pada Rora lalu beralih pada anak lelaki satu- satunya. "Ini pacarnya di jaga." Goda Citra.
Rora meraba mencari tangan Dika untuk ia genggam. "Sudah dong manyunnya. Kita sudah tiba loh." kali ini giliran Rora yang menggodanya.
.
.
.
Jangan lupa tinggalkan jejak...