dengan gemetar... Alya berucap, "apakah kamu mau menjadi imam ku?? " akhirnya kata kata itu pun keluar dari lisan Alya yg sejak tadi hanya berdiam membisu.
"hahhh!!! apa!!... kamu ngelamar saya? "ucap afnan kaget
sambil menunjuk jari telunjuknya ke mukanya sendiri.
dengan bibir yg ber gemetar, Alya menjawab" i ii-iya, saya ngelamar kamu, tapi terserah padamu, mau atau tidaknya dgn aku... aku melakukan ini juga terpaksa, nggak ada pilihan.... maaf kalo membuat mu sedikit syokk dgn hal ini"ucap Alya yg akhirnya tidak rerbata bata lagi.
dgn memberanikan diri, afnan menatap mata indah milik Alya, lalu menunduk kembali... karna ketidak kuasa annya memandang mata indah itu...
afnan terdiam sejenak, lalu berkata "tolong lepaskan masker mu, aku mau memandang wajahmu sekali saja"
apakah Alya akan melepaskan masker nya? apakah afnan akan menerima lamaran Alya? tanpa berlama-lama... langsung baca aja kelanjutan cerita nya🤗
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon syah_naz, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
nikah sirri
Alya merasa lega setelah beberapa hari penuh ketegangan. Suasana yang lebih tenang kini mengelilinginya, dan semua masalah yang sempat mengusik pikirannya perlahan mulai teratasi.
Alya duduk di meja belajarnya, matanya terpaku pada layar ponsel. Sebuah pesan masuk dari Mamah Maryam, membuat hatinya berdebar dengan kegembiraan yang tak terkendali.
Ting... Notifikasi dari Mamah Maryam masuk:
"Alya, pertunangan kamu sama anaknya teman Mamah sudah Mamah batalkan... Yaa meskipun ada sedikit salah paham, tapi kamu tenang aja... Semuanya sudah beres kok."
Alya hampir melompat kegirangan. Hatinya yang sempat tertekan kini terasa lega. Tanpa disadari, bibirnya membentuk senyuman lebar.
Namun, ada pesan kedua yang masuk dari Mamah Maryam. Kali ini, kata-katanya membuat Alya terkejut, seolah ada beban yang tiba-tiba datang.
Dan Afnan bersama keluarganya akan datang ke rumah dalam 3 hari lagi untuk silaturrahim katanya.
Alya terdiam sejenak, mulutnya terasa kering. Tak ada perasaan suka atau tertarik sedikit pun pada Afnan, yang menurutnya hanya sama dengan lelaki-lelaki lain yang ingin menjadikan dirinya sekadar "pelengkap" dalam hidup mereka. Namun, entah kenapa, pesan itu membuat hatinya sedikit terhenyak.
Dengan jantung yang berdegup lebih kencang, Alya membuka layar ponsel dan segera mengetik pesan untuk Afnan.
Alya:
“Assalamualaikum, Gus. Jadi, ini beneran , gus Afnan yang datang silaturrahim itu?”
Afnan:
“Waalaikumsalam, Alya. Kamu tenang aja, biar aku yang urus. Semuanya akan baik-baik saja.”
Alya terkesiap membaca jawaban Afnan. Rasa bingung dan ketidakpastian semakin melanda.
Apa yang dimaksud Afnan dengan "aku yang urus"? Semua ini terasa seperti rencana yang disusun tanpa melibatkan pendapat atau perasaan Alya.
Alya:
“Hahhh?? Maksudnya gimana, Gus? ”
Afnan:
“Tenang aja, Alya. Kamu jalanin aja hidup kamu seperti biasa. Tapi ntar,Kamu juga harus bantu aku. Kita harus setimpal.”
Alya memicingkan mata, mencoba mencerna kalimat Afnan yang terdengar penuh teka-teki itu. Apa yang dia maksud dengan ‘setimpal’? Kenapa semuanya terasa seperti sebuah beban yang tak diinginkan?
Alya:
“Ouhhh, baiklah kalau gitu. Aku harus berbuat apa, Gus?”
Afnan:
“Kamu nggak usah berbuat apa-apa, cukup sekolah yang bener aja dulu. Biarkan aku yang ngurus semuanya. Tapi kalau ada yang nanya soal kita, terutama dari mama kamu, kamu jawab aja iya. Gampang kan?”
Alya mengerutkan kening membaca pesan Afnan. Jawaban singkat itu terdengar sangat sederhana, namun tidak bisa menghilangkan rasa aneh yang mulai mengendap di hatinya. Kenapa harus seperti ini? Kenapa semuanya terasa terlalu mudah bagi Afnan? Apa yang sebenarnya dia inginkan?
Alya:
“Iya, dah...” jawab Alya dengan malas, meskipun hatinya masih penuh tanda tanya.
Alya meletakkan ponsel di atas meja, matanya kosong menatap layar ponsel yang kini tak lagi memunculkan pesan. Perasaannya campur aduk.
Ada rasa lega karena pertunangannya dibatalkan, ada pula rasa jengkel terhadap sikap Afnan yang seolah menganggap segala sesuatu bisa diatur dengan mudah.
Padahal, baginya ini bukan soal yang bisa dianggap remeh.
Hari-hari berikutnya terasa seperti rutinitas yang mengalir begitu saja. Namun, pikiran Alya tak pernah bisa lepas dari pesan singkat yang diterimanya beberapa hari lalu.
Setiap kali ia berusaha untuk fokus pada pelajaran atau aktivitas lainnya, bayangan tentang Afnan dan situasi yang akan datang selalu menghantui pikirannya.
......................
Hari itu, tiba-tiba suara ketukan pintu mengalihkan perhatian Alya dari pikirannya.
Tok... Tok... Tok...
"Assalamualaikum, Alya," terdengar suara halus dari luar.
Alya membuka pintu, dan di hadapannya berdiri Afnan, mengenakan pakaian rapi dengan senyum yang sangat berbeda dari biasanya. Senyum itu, bagi Alya, lebih terasa seperti senyum yang penuh dengan perhitungan.
"Waalaikumsalam," jawab Alya singkat, menjaga jarak dan tak terlalu antusias.
Alya merasa cemas dan tak nyaman, meskipun ia mencoba untuk tetap
. Ia sudah merasa cukup dengan semua interaksi yang ada, dan kini kedatangan Afnan ke kost-nya semakin membuatnya merasa terpojok.
"Maaf, Gus. Kenapa Gus datang ke sini? Kenapa nggak bilang dulu kalau mau datang?" tanya Alya, suaranya penuh ketegasan.
Ia sudah tidak ingin terlibat dalam drama ini lebih lanjut. "Lebih baik Gus Afnan pulang aja deh... Nanti jadi fitnah lagi."
Alya berusaha menutup pintu dengan cepat, namun tangan Afnan dengan sigap menahannya.
"Tunggu, aku mau ngomong," kata Afnan, suaranya sedikit terburu-buru namun tetap terdengar serius.
Alya menarik napas dalam-dalam. Ia merasa cemas, namun tetap berusaha untuk tetap mengendalikan situasi. "Kan bisa lewat WA aja, Gus. Nanti dilihat orang, apa kata mereka?" ujar Alya, mencoba menghindari lebih jauh lagi percakapan ini.
Namun Afnan tetap berdiri di depan pintu, tak menunjukkan tanda-tanda akan pergi. "Alya, aku nggak mau ada kesalahpahaman. Aku perlu bicara langsung dengan kamu," jawabnya, nada suaranya lebih lembut kali ini, namun masih tetap tegas.
Alya hanya bisa menatapnya dengan tatapan datar. "Gus, saya nggak punya waktu untuk ini. Tolong pulang sekarang juga."
Melihat Alya yang begitu tegas, Afnan akhirnya menghela napas dan menarik tangannya dari pintu. "Aku nggak akan lama-lama. Aku cuma ingin memastikan bahwa semuanya jelas antara kita, Alya."
Alya masih memandangi Afnan, merasa semakin tak nyaman dengan kehadirannya. “Cukup jelas, Gus. Saya tidak ingin membahas apapun sekarang ini.”
Afnan mengangguk pelan, walau tatapannya tidak bisa disembunyikan bahwa ada ketegangan yang tersisa. “Oke. Kalau itu keinginanmu, aku akan pergi.”
Dengan langkah berat, Afnan akhirnya mundur, meninggalkan kost Alya. Namun, meski langkahnya pergi, ada sesuatu yang menggantung dalam pikiran Alya.
Ia merasa tak sepenuhnya bebas dari situasi ini, dan entah kenapa, hatinya tetap dipenuhi pertanyaan dan rasa bingung yang sulit ia hilangkan.
Setelah menutup pintu, Alya kembali ke dalam, matanya kosong menatap ruang sekitarnya. Namun, perasaan tidak nyaman itu tetap menggelayuti hatinya.
......................
Dalam perjalanan pulang, Afnan terdiam sejenak, seolah terjebak dalam ingatannya sendiri. Ia mengingat peristiwa yang baru saja terjadi dua hari lalu, sebuah kenangan yang tak bisa dilupakan.
Flashback# .
Di tengah keramaian, Afnan berdiri tegak, memegang tangan abi Ahmad di hadapannya. Di depan mereka, para saksi dan orang tua sudah siap menyaksikan momen bersejarah itu.
"saya Terima nikah dan kawinnya alya mumtaza binti ahmad riyadhus sholihin dengan maskawin tersebut dibayar tunai! " ucap Afnan dengan lantang, menandakan ijab kabul yang sah.
"Sah!!," jawab seorang Habaib yang menjadi wali bagi alya, disambut dengan suara serentak dari keluarga kedua belah pihak.
"Gimana saksi sah?,Sah!!..." ucap mereka, hampir bersamaan, menambah suasana haru dalam ruangan itu.
"Alhamdulillah," ucap Afnan dan keluarganya hampir bersamaan, menandakan semuanya telah resmi.
Afnan kemudian melangkah maju untuk bersalaman. Pertama, ia menyalami Abi Ahmad, kemudian Mamah Maryam, dengan penuh rasa hormat. Setelah itu, ia menyalami kedua orang tuanya, yang tersenyum bangga, meski ada sedikit rasa cemas di mata mereka.
Tiba giliran Abi Ahmad berbicara, suara lembut namun penuh makna keluar dari bibirnya. "Sekarang Abi, titip Alya yah..." ucap Abi Ahmad, dengan mata yang sedikit berkaca-kaca, penuh haru dan kebanggaan.
Afnan merasa dadanya sesak mendengar kalimat itu. Meski pernikahan ini terkesan seperti takdir yang sudah ditentukan, ada perasaan aneh yang mulai mengganggu pikirannya.
Meskipun ia tahu ini adalah langkah yang benar, ada bagian dari dirinya yang merasa terikat pada peran yang lebih besar daripada yang ia bayangkan.
flashback off#
# #
Afnan duduk di ruang tamu, memandangi cincin di jarinya dengan tatapan penuh tanda tanya. Ia tahu, menikah dengan Alya secara diam-diam adalah keputusan yang tidak bisa diubah, namun ia merasakan keraguan dalam dirinya.
Perasaannya terhadap Alya sangat kompleks—antara rasa cinta yang tulus dan keinginan untuk memiliki kedekatan yang lebih meskipun kenyataannya hubungan mereka lebih seperti sebuah rahasia.
Pikirannya berputar, mencari cara untuk mendekati Alya tanpa membuatnya merasa tertekan atau terbebani.
Afnan tahu, meskipun sudah menjadi suami sahnya, ia harus berhati-hati dengan setiap langkahnya.
Alya yang tegas, dingin, dan tidak mudah terbuka, menjadikan situasi ini semakin sulit. Namun, Afnan tidak akan menyerah begitu saja. Dia yakin, ada cara untuk mendapatkan hatinya, meskipun mungkin bukan dengan cara yang langsung.
Afnan memutuskan untuk memberi ruang dan waktu, namun dengan cara yang lebih halus—menunjukkan perhatian yang tidak mengganggu dan membangun kedekatan perlahan-lahan.
Ia tahu bahwa meskipun dia sudah menjadi suami Alya, jalan untuk mendapatkan cinta sejati dari Alya akan lebih panjang dan penuh tantangan.
baper