"Cahaya akan menuntun kita pulang"
Setelah berhasil berbagai masalah dengan para vampir, Benjamin justru dihadapkan kembali dengan masalah lainnya yang jauh lebih serius. Dia dan teman-temannya terus menerus tertimpa masalah tanpa henti. Apakah Benjamin dan yang lain bisa mengatasi semua ini?
Mari kita simak kembali, bagaimana kelanjutan kisah Benjamin dan yang lainnya!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon LIMS OFFICIAL, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Away
"Kau jadi sama merepotkannya seperti si bodoh Clara" gumam Sheena mencoba bangkit.
Berryl tampak sudah siap menghadapi vampir di hadapannya. Sheena bergerak secepat kilat mencekik leher Berryl.
"Kau merusak wajah cantikku, matilah kau!" Sheena mulai mencoba membunuh gadis itu.
Berryl dengan usahanya mengeluarkan sesuatu. Ia menempelkannya pada kening Sheena dan, "HUAAA" teriak gadis itu melepas cengkramannya dari leher Berryl.
Berryl bangkit ia meraih sebuah pisau. Namun, "Kau pikir kau bisa membunuhku begitu saja?!" ketus Sheena menahan rasa panas itu seraya meraih tangan Berryl.
Ia mencampakkan gadis itu ke meja makan. Berryl terkapar, ia mencoba bangkit menahan sakit di punggungnya.
Sheena menarik rambut panjang Berryl. "Berani sekali kau menantangku sejauh ini. Padahal tadinya aku hanya ingin mengubahmu dengan cepat" ujar Sheena tertawa meledek.
"Tapi setelah dipikir lagi, sepertinya tidak ada gunanya aku mengubahmu" gumam Sheena mengambil pisau.
Ia sudah siap menusuk leher gadis itu. Namun, "Enyahlah kau!" sebelum niatnya terlaksana, dia lebih dulu tercampak.
"Berryl!" Clara tiba dan segera meraih gadis itu. "Bawa dia, sepertinya adikmu lebih beringas dari perkiraanku" gumam Sharon dengan mata merahnya itu.
Clara memilih untuk menurut dan membawa Berryl pergi. Sheena mulai bangkit. "Lama tidak berjumpa, Sheena" sapa Sharon tetap waspada.
"Kau suka membuat onar, Ednard" jawab Sheena kesal seraya menghancurkan meja.
"Wanita selalu menyalahkan pihak pria"
Sheena bangkit dan ia mencoba untuk meraih kepala Sharon. Gadis itu tampak seperti psikopat yang haus membunuh.
Sharon dengan tenang menghindari setiap serangan. Ia kembali berhasil mencampakkan Sheena hingga menabrak dinding.
"Kau merepotkan sekali" gumam Sheena kembali bangkit. Gadis itu kembali bangkit. Ia pantang menyerah dan terus mencoba meraih kepala Sheena. Ketika tangan gadis itu hampir berhasil meraihnya. "Di luar perkiraanku" gumam Sharon tetap tenang seraya menahan gadis itu.
"Aku tidak suka orang yang ikut campur" ujar Sheena menyeringai. "Masalah Clara, juga masalahku" jawab Sharon dengan tenang.
"Oh, ya? Benarkah? Ke mana kau saat dia membutuhkanmu?" tanya Sheena mencoba lepas. "Lalu kau? Sebagai adiknya, di mana hati nurani dan pikiranmu? Kau merebut semua miliknya dan melalui jalan yang salah"
Sheena yang mendengarnya berubah marah. Ia menendang Sharon segera. Gadis itu akhirnya berhasil meraih leher Sharon. "Kau tidak tahu apapun, jadi jangan mengatakan sesuatu yang tidak benar"
Sheena berhasil memutus kepala Sharon.
"Selanjutnya adalah-"
Gadis itu seketika terdiam ketika ia sudah berbalik badan. Sharon berdiri seraya menyandarkan tubuhnya di pintu, dengan tangan yang bersilang.
"Bagaimana mungkin?" gumam Sheena tidak percaya dan kembali memastikan siapa yang baru saja ia bunuh. Kepala Sharon masih di sana tergeletak. Namun tiba-tiba saja kepala Sharon dan tubuhnya berubah menjadi kepingan abu.
"Satu kosong" ledek Sharon tersenyum simpul. Sheena yang kesal mengepal tangannya. Sharon tiba-tiba saja menembus pintu.
Gadis itu tentu terkejut. Ia tiba-tiba tercampak ketika ada benturan keras dari belakang.
Sheena yang sudah menahan amarahnya akhirnya meraih leher Sharon segera.
"Apa ini?!" batin gadis itu terkejut.
Pandangan di hadapannya berubah.
"Sheena.."
"Sheena!"
Gadis itu tersadar. "Di mana ini? Apa yang terjadi?" ia terkejut ketika ia mendapati sekelilingnya dipenuhi bunga.
"Kau sudah sadar?" tanya seseorang padanya. Clara duduk tepat di hadapannya.
"Clara.." gumam Sheena terkejut mendapati keberadaan kakaknya. "Rasanya sudah sangat lama kita tidak bertemu" ujar Clara tersenyum lembut. Sheena terdiam kaku.
Ada sesuatu yang mengganggu pikirannya dan mengganjal di dalam hatinya. Tanpa ia sadari air matanya turun.
"M-Maafkan aku" gumam gadis itu menunduk dalam. Ia mulai menangis. Clara meraih adiknya itu lalu memeluknya.
"Maaf karena aku sudah melakukan berbagai kejahatan padamu" ujar Sheena di pelukan itu. "Aku selalu memaafkanmu, Sheena"
Setelahnya.
"Maaf.." gumam Clara dengan nada bicara yang bergetar. Sheena akhirnya tersadar ketika sesuatu menusuk punggungnya hingga menembus jantungnya.
"Terimakasih" kalimat terakhir itulah yang berhasil membuat tangisan pilu mulai terdengar. Berryl memperhatikan melalui pintu. Sementara Sharon bersandar di dinding memperhatikan itu.
"Maafkan aku karena aku gagal mendidikmu" gumam Clara memeluk adiknya yang sudah kaku dan dingin. Sejak awal gadis itu memang sudah mati, namun kali ini Clara benar-benar harus menerima kenyataan bahwa ia kehilangan adiknya- Sheena Huston.
Beberapa saat.
"Terimakasih, Ednard" ujar Clara setelah mereka selesai memakamkan Sheena. "Sudah kubilang, namaku Sharon. Bukan Ednard" jawab Sharon tertawa kecil mendengarnya.
"Aku terbiasa memanggilmu dengan sebutan itu. Apa kau langsung pulang ke rumahmu?" tanya Clara memastikan kembali.
"Mungkin, mereka pasti sudah mencariku" jawab Sharon seraya mengenakan topinya. "Hubungi aku kapanpun jika kau butuh" pesan Sharon berbalik badan lalu hendak meninggalkan Clara dan Berryl di sana.
"Ed.. maksudku, Sharon!" panggil Clara sebelum Sharon benar-benar menghilang. Hujan mulai turun. "Kenapa kau kembali? Kau bilang kau tidak ingin mengencaniku bahkan menikahiku dengan alasan kau tidak punya tujuan semacam itu. Sebenarnya aku untukmu siapa? Dan apa alasan kembali?" tanya Clara masih penasaran di sela-sela suara hujan itu.
Sejenak Sharon terdiam. Ia menoleh lalu ke belakang pada wanita itu.
"Aku kembali karena aku tidak ingin hidupmu berakhir" jawab Sharon tersenyum. Ia kembali menatap lurus.
"Hanya itu?" tanya Clara tampak sedih. Ia seperti mengharapkan jawaban lain.
"Karena aku mencintaimu"
......................
"Sharon sebenarnya pergi ke mana? Mengapa dia belum kembali juga?" Patricia sudah berjalan maju mundur sedari kemarin mungkin lebih dari 200 kali. "Aku muak melihatmu maju mundur begitu" ujar Patrick menghela nafas lelah.
Damian hanya bisa tertawa kecil melihat tingkah kekasihnya. "Ini sangat tidak biasa, Patrick. Bayangkan saja ini sudah hampir seminggu dia pergi tanpa kabar. Jika kau melapor ke polisi mereka akan curiga kita siapa"
Patrick si sulung, Veronica si tukang pelerai, Patricia si tukang emosi, Sharon si saksi keributan, Esmeralda si pemancing emosi, dan Marella lemah lembut.
Begitulah gambaran indah Gerald bersaudara. "Dia juga bisa menjaga dirinya. Dia sama sepertimu, kakek tua yang masih tahu arah" ujar Esmeralda perlahan menuruni anak tangga.
Patricia mengelus dada menahan amarah. Berdebat dengan Esmeralda hanya akan menguras tenaga pikiran, jiwa raganya.
"Kapan kain ini bisa dilepas dari mataku?" tanya Esmeralda memilih untuk duduk. "Ketika Sharon kembali. Dia yang memasangnya" jawab Joseph yang kebetulan berkunjung hari itu.
"Yang benar saja, bagaimana jika Sharon justru mati di luar sana tanpa kita tahu. Maka selamanya aku akan bertingkah seperti orang buta" Marella hanya bisa tertawa kecil mendengar ocehan saudarinya itu.
"Bersabarlah, Espe" saran Joseph tampak sedang mencari sesuatu di dalam kulkas.
"Hey, Marella. Kau mau es krim?" tawar Joseph menemukan es krim di dalam kulkas itu. "Tentu" jawab Marella tentu saja mau.
"Benjamin tiba" gumam Esmeralda mendapati aroma Benjamin mulai mendekat. Namun keningnya berkerut. "Ada apa?" tanya Marella terheran. Esmeralda tidak menjawab, dan memilih untuk mengambil tongkat pemandu jalan yang diberikan Jessi padanya.
Ia segera berjalan menuruni anak tangga. Patrick yang terheran tentu mengikuti adiknya itu dari belakang. "Tunggu saja di sini" pesan Patrick ketika Patricia mengekorinya.
Patricia memilih untuk menurut. Marella juga masih harus menggunakan kursi roda untuk sementara waktu. Operasi pada kakinya tentu tidak bisa pulih dalam waktu singkat.
Sementara Esmeralda turun dan menunggu di halaman depan. Benar saja, Benjamin tiba, namun ia datang bersama seseorang, Rain.
Setelah beberapa lama Rain tidak berada di Sitka, ia akhirnya kembali.
"Hey, tenanglah. Kenapa kau hanya melunak pada Joseph dan Mia saja?" tanya Rain tertawa kecil ketika Esmeralda memperlihatkan raut wajah serius walaupun matanya ditutup.
"Kau sudah kembali? Dari mana saja kau?" tanya Patrick terkejut melihat kehadiran Rain di sana. "Aku pergi ke Canada, kampung halaman ibuku. Dan saat kembali, aku dengar Sharon menghilang" jawab Rain tersenyum santai.
"Kau masih berhalusinasi bukan?" tanya Rain mendadak serius. Patrick menatap Benjamin seakan bertanya. Benjamin mengangkat bahunya merasa tidak memberitahu apapun.
"Bagaimana kau tahu?" tanya Esmeralda memiringkan kepalanya terheran. "Aku juga tidak tahu" Esmeralda menghela nafas malas menanggapi jawaban itu.
"Ada sesuatu yang ingin kusampaikan" ujar Rain segera. "Sesuatu?" gumam Esmeralda menaikkan sebelah alisnya.
"Sharon mungkin akan kembali hari ini. Dia hanya berkelana sebentar" ujar Benjamin segera. "Dari mana kau tahu?" pertanyaan itu berhasil membuat Benjamin terdiam.
"Seharusnya kau menyimpannya sendiri, nak" saran Rain tertawa kecil. Dia tahu ada sesuatu yang dimiliki Benjamin, yang tidak dimiliki Canis ataupun Ruby.
Esmeralda mendekatinya. Benjamin tentu mundur sejenak. "Sejak awal aku memang tidak terlalu percaya padamu. Kau pasti tahu sesuatu selama ini" ketus Esmeralda.
Patrick segera menarik Esmeralda. "Sudahlah, ayo masuk. Marella sudah menunggumu, Ben" saran Patrick segera.
Esmeralda berbalik badan lalu berjalan memasuki rumah. Benjamin akhirnya bisa kembali bernafas, setelah ia menahannya beberapa saat.
"Mohon dimaklumi, Ben. Emosinya belum stabil" ujar Patrick ketika Esmeralda tampak mulai menaiki tangga. "Ada energi lain di sini yang membuatnya jadi seperti itu" jawab Rain seraya mencari-cari sesuatu.
"Energi lain?" gumam Benjamin terheran. "Ini dia" ujar Rain menemukan sesuatu. Sebuah kristal biru yang tampak lebih seperti jimat.
"Aneh, sejak kapan orang-orang masih percaya mengirimkan sihir aneh seperti ini?" tanya Patrick mendekati Rain dan menatap kristal itu.
"Ada energi negatif yang dimasukkan dalam benda ini" gumam Rain tampak serius.
Benjamin dan Patrick saling adu pandang.
Beberapa saat.
"Penyihir?" gumam Patrick terkejut ketika Mia menyebutkan apa yang dilihatnya dari kristal itu. "Benda ini milik seorang penyihir. Dia seorang pemuda seusia Rain. Dan dia manusia biasa"
Penjelasan dari Mia membuat Benjamin mulai berpikir. "Jujur saja, makin ke sini semua alur yang kita ikuti jadi berantakan. Aku bingung dengan apa yang sebenarnya terjadi" ujar Benjamin mengacak rambutnya frustasi.
"Kau terlalu memikirkannya" ujar Morenthes yang sedari tadi hanya mendengar percakapan mereka. Benjamin menghela nafas lelah.
"Aku hanya takut mereka justru akan menyerang keluargaku" gumam Benjamin menatap lurus.
"Lebih baik kau menenangkan dirimu di suatu tempat, Ben. Jauh dari keramaian" saran Mia seraya menikmati teh tawar buatan Morenthes.
"Begitulah, mungkin jika ayah sudah kembali dan Marella semakin membaik.. aku akan berlibur sendirian" jawab Benjamin tertarik dengan saran yang diberikan Mia padanya.
"Ahk iya, Mia. Apa kau tidak bisa mendeteksi di mana Sharon? Atau kapan dia kembali?" tanya Patrick masih mengkhawatirkan Sharon.
"Dia baik-baik saja. Mungkin dia belum bisa kembali dalam waktu terdekat"
......................
"Berhati-hatilah, kau yakin kau bisa pergi sendirian?" tanya Charlie memastikan keponakannya yang berniat pergi mendaki gunung sendirian.
Chadwick Highschool sudah memberikan liburan untuk siswa dan siswi mereka. Benjamin tentu ingin menikmati liburannya.
"Ya, aku akan menghubungimu jika aku sudah turtun" jawab Benjamin memasukkan tas nya ke dalam bagasi mobil.
Charlie akan mengantar Benjamin ke tempat tujuan, setelahnya Benjamin akan menikmati liburan seorang diri.
Ketika semua sudah beres, mereka akhirnya berangkat. Tujuan mereka ialah, gunung Verstovia, yang berada di timur Sitka.
Selama perjalanan hanya ada suasana hening dan diam. "Paman, aku ingin bertanya padamu" ujar Benjamin memecah keheningan di antara mereka. "Mengenai apa, nak?" tanya Charlie balik seraya memastikan.
"Apa Jen bercerita tentang konflik keluarga Petersone?" tanya Benjamin lagi. "Ya. Dia menceritakannya" jawab Charlie membenarkan. Pria tua itu fokus mengemudikan mobil yang dikendarai mereka.
"Apa paman juga tahu tentang Canis dan Ruby?" tanya Benjamin menatap lurus ke depan. Charlie terdiam. Ia menghela nafas.
"Aku lebih dulu tinggal di Sitka daripada ayah dan bibimu. Jadi aku tahu semua seluk beluk mereka, termasuk serigala, pemburu darah, dan.. penyihir"
Benjamin yang mendengarnya menatap Charlie terkejut. "Penyihir?" gumam Benjamin terheran. Sejauh ini, dia tidak pernah mendengar rumor apapun tentang sihir ataupun penyihir.
"Yang lebih dulu menempati wilayah ini ialah para penyihir. Tapi yang aku tahu untuk sekarang, mereka sudah tidak lagi mendiami Sitka. Mereka menghilang satu persatu"
Penjelasan itu membuat Benjamin tertegun. "Apa paman pernah berhadapan dengan mereka? Atau bibi? Atau justru Jen dan sepupuku yang lain?" tanya Benjamin makin penasaran.
"Kakekmu, Ben" Benjamin terdiam mendengarnya. Ia menatap Charlie yang fokus mengemudi, dengan tatapan tidak percaya.
"Kakek?" gumam Benjamin terkejut. "Apa kau tahu penyebab ayah dan ibumu bercerai?" tanya Charlie balik. "Ayah selalu pergi ke pulau Baranof kampung halaman kakek, aku juga tidak tahu dia melakukan apa di sana" jawab Benjamin sejujurnya malas mengungkit masa lalu itu.
"Kakekmu terserang sebuah sihir jahat. Alice bekerja sebagai dokter hewan dan dia saat itu mendapat panggilan dari pasien rutinnya ke Washington. Karena itulah, Bernandez selalu pulang pergi ke rumah kakekmu. Dia terlalu sibuk. Sepulangnya dia dari sana, dia kembali sibuk menjadi kepala kepolisian dan sibuk mengurus kasus. Jane hanya butuh sedikit perhatian dari ayahmu, namun dia terlalu sibuk. Sehingga mereka memutuskan untuk bercerai"
Benjamin terdiam mendengarnya. Ia tidak pernah tahu alasan itu. "Aku selalu memarahi ayahmu. Dia bahkan pernah hampir mati saat kepolisian berhadapan dengan buronan pembunuh berantai. Bahkan saat itu, Jane masih mengkhawatirkan ayahmu. Walaupun saat itu mereka sudah 6 bulan bercerai"
Penjelasan terakhir yang menjawab pertanyaan yang selama ini berkecamuk di benak kecil remaja itu. Jawaban itu adalah alasan utama, mengapa Jane terkadang masih berkabar dengan Bernandez, dan Robert memakluminya.
"Pantas saja ayah selalu menelpon Daddy Robert, perihal kehamilan ibu" gumam Benjamin tertawa kecil. "Jangan pernah menyalahkan kedua orang tuamu, nak. Mereka bahkan selalu berusaha memenuhi kewajiban mereka"
Benjamin tertawa kecil mendengarnya. "Aku tidak pernah membandingkan ayah dan ibu. Mereka hanya mengikuti ego masing-masing" gumam Benjamin kini membayangkan senyuman dari pria gagah dan wanita lembut yang selalu mengkhawatirkan dirinya yang semakin dewasa.
Perbincangan itu membuat Benjamin terlena dan lupa bahwa ia sedang menempuh perjalanan bersama Charlie, menuju gunung Verstovia.
Hinga beberapa saat perjalanan, mereka akhirnya sampai. "Kau sungguh tidak ingin ditemani, nak? Kerabatku kebetulan juga akan mendaki siang ini" tawar Charlie masih merasa ragu.
"Paman, aku akan menjaga diri dan pulang tanpa cacat. Cukup doakan aku selamat sampai puncak" jawab Benjamin terkekeh.
"Baiklah. Nikmati liburanmu, nak" ujar Charlie melepas kepergian keponakannya. Langkah demi langkah memisahkan mereka, sampai ketika Benjamin tidak lagi terlihat dari pandangannya, Charlie memutuskan kembali masuk mobil.
"Kau punya anak yang luar biasa, Bernan" gumam Charlie tersenyum tipis. Ia menyalakan mesin mobil, dan ia kembali mengemudi untuk pulang ke rumah. Di sisi lain Benjamin menikmati perjalannnya melewati pohon-pohon yang lebat.
Cuaca masih sangat kondusif dan bersahabat, jadi dia sangat menikmati perjalanannya.
"Hey, anak muda. Kau sendirian?" tanya seorang pria yang juga ikut mendaki. "Ahk iya, aku sendiri" jawab Benjamin terkekeh. Situasinya canggung, karena sebenarnya Benjamin lebih sering bersama Joseph atau Damian ke manapun.
"Aku kira kau bersama pria itu. Sedari tadi dia mengikuti langkahmu" ujar pria itu membuat Benjamin terdiam. "Pria.. mana?" tanya Benjamin tanpa sadar, dan ia menghentikan langkahnya.
"Di belakang" jawab pria itu. Benjamin segera menoleh. Matanya melotot terkejut. Ia segera mengenal siapa orang yang mengikutinya.
"Ada apa?"
"Tolong, aku tidak mengenal dia siapa"
lanjut deh thor... semangat 🙏👍💐
selamat berjuang /Good/
saling peduli, saling melindungi, saling berbagi.
setia kawan 👍❤️
sampe bingung mana kawan mana lwwan 🤭
semangat terus ya thor...❤
lanjut thor 🙏❤️