Cerita ini mengisahkan sepasang suami isteri yang sudah dua tahun lamanya menikah namun tidak kunjung diberikan momongan.
Mereka adalah Ayana dan Zulfahmi.
Namun karena desakan sang ibu yang sudah sangat mendambakan seorang cucu dari keturunan anak lelakinya, akhirnya sang ibu menyarankan untuk menjodohkan Fahmi oleh anak dari sahabat lamanya yang memiliki anak bernama Sarah agar bisa berpoligami untuk menjadi isteri keduanya
Rencana poligami menimbulkan pro dan kontra antara banyak pihak.
Terutama bagi Ayana dan Fahmi sendiri.
Ayana yang notabenenya anak yatim piatu dan tidak memiliki saudara sama sekali, harus berbesar hati dengan rencana yang mampu mengguncangkan jiwanya yang ia rasakan seorang diri.
Bagaimanakah kelanjutan kisah Ayana dan Fahmi?
Apakah Ayana akan menerima dipoligami dan menerima dengan ikhlas karena di madu dan tinggal bersama madunya?
Ikuti kisahnya..
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mahkota Pena, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pulang Umroh
"Kenapa sih otakku memikirkan Ayana terus? Duh, menjadi tidak konsen begini!" Gumamnya lirih.
Kemudian ia bangkit dari posisi semula, ia menuruni anak tangga dan berjalan kearah dapur.
Ia mengambil sebuah cangkir dan ia tuangkan gula serta kopi hitamnya.
Zidan menuangkan air panas, kemudian ia mengaduknya dengan perlahan.
Wajah Ayana hadir kembali dalam pikirannya, senyuman Ayana tergambar jelas dalam ingatannya.
Ia mencoba flashback ketika ia masih menjadi seorang santri dan Ayana masih menjadi gadis kecil yang masih berpakaian sederhana apa adanya.
Belum mengenal kata dandan atau mempercantik diri.
"Ya Allah, mengapa bayangan Ayana hadir terus dalam benakku? Apa yang harus aku lakukan? Semakin aku ingin menghilangkannya, malah semakin nyata!" Ucap lirih Zidan dengan berjalan menuju kamar Bu Fatimah.
Zidan mengintip apakah Bu Fatimah masih terjaga? Namun, ternyata Bu Fatimah telah beristirahat.
Ia berjalan kembali menuju kamarnya dan menyelesaikan untuk mengoreksi tugas para Mahasiswanya.
***
"MasyaAllah, indah sekali pemandangannya, Mas. Aku bisa melihat Ka'bah secara langsung dari kamar kita. Ya Allah, sejak kecil aku sangat memimpikan agar bisa melihat Ka'bah secara langsung. Dan, alhamdulillah kini bisa tercapai. Terima kasih banyak ya, Mas." Ayana yang baru menyelesaikan sholat serta dzikirnya, tiada henti dengan perasaan harunya bisa melihat Ka'bah secara nyata.
Fahmi yang sedang membaca panduan untuk melakukan rangkaian umroh selanjutnya, tampak bahagia ketika mendengar ucap syukur Ayana yang tidak kunjung berhenti.
"Alhamdulillah ya, Sayang. Aku adalah orang pertama yang bisa membawa kamu kesini. Semoga kamu bisa beribadah lebih rajin dan khusyu lagi ya." Jawab Fahmi.
"Alhamdulillah ya, Mas." Sahut Ayana.
Ayana begitu bahagia sekali, kini kehidupannya semakin membaik.
Hanya saja terkadang terbersit untuk dirinya segera memiliki momongan.
(Semoga sepulang Umroh, aku mendapatkan kabar gembira bahwa aku positif hamil ya Allah, semoga ya Allah)
Ucap Ayana dalam do'a nya ketika merenung seraya menatap lekat-lekat Ka'bah diluar sana.
"Sayang, kita istirahat yuk." Ajak Fahmi pada Ayana.
Ayana segera melepaskan mukenanya.
Fahmi dan Ayana naik keatas ranjang.
Sebelum mereka beristirahat, mereka menyempatkan untuk bercakap-cakap.
"Sayang, selama nanti kamu belum hamil, tolong membantu Kak Zidan untuk mengurus Pesantrennya ya. Karena, kamu kan begitu paham bagaimana metode selama di Pesantren itu seperti apa." Fahmi mengusap lembut pundak Ayana.
Ayana berada pada posisi menyandarkan kepalanya di pundak Fahmi, sehingga ia dapat memeluk tubuh Fahmi dengan begitu erat dan nyaman.
"Kamu yakin, Mas? Aku bisa turut mengelolanya?" Ayana masih ragu akan kemampuannya.
"Aku yakin sekali, sayang. Kamu pasti bisa!" Fahmi memberikan semangat dan mensupport Ayana.
Ayana tersenyum manis. Ia kembali mengeratkan pelukannya yang begitu nyaman.
"Terima kasih ya, Mas. Atas keyakinan dan kepercayaannya."
"Sama-sama, sayang. Oh iya, soal ucapan Ibu untuk kita segera memiliki momongan, jangan terlalu dipikirkan ya. Mungkin memang kita belum saatnya diberikan kepercayaan oleh Allah. Jadi, kita harus tetap semangat." Fahmi memberikan semangat untuk Ayana dan jangan berlarut-larut dalam kesedihan dalam penantian momongan.
Allah yang berkuasa, Allah pula yang memiliki takdir.
Tinggal bagaimana kita menjalani hari-hari serta menunggu datangnya sebuah kabar gembira itu.
"Iya, Mas. Semoga kita disegerakan memiliki momongan ya." Sahut Ayana.
"Aamiiiin, memangnya kamu ingin punya anak berapa nantinya?" Fahmi bertanya dan menggoda Ayana.
Ayana terlihat berpikir sejenak, membayangkan ketika ia nanti memiliki banyak anak pasti rumah akan terasa sangat ramai.
"Hmm.. Aku ingin punya banyak anak, Mas. Mungkin lima cukup kali ya, Mas?" Ayana membayangkan jika ia mempunyai lima anak, dua perempuan dan tiga laki-laki.
"Wah, lumayan banyak ya. Kamu sanggup?" Tanya Fahmi.
"InsyaAllah sanggup, Mas. Hehehe supaya nanti masa tuaku tidak kesepian." Jawab Ayana dengan yakin.
"Alhamdulillah, semoga ya, sayang. Ya sudah, kita istirahat yuk. Sudah malam!" Fahmi mengajak Ayana untuk segera beristirahat.
Keduanya terlelap sembari berpelukan. Ayana dan Fahmi istirahat lebih awal, karena mereka harus bangun lebih awal karena besok pagi akan pergi ke kota Madinah.
***
"Ustadz, barang-barang diletakkan dimana ya, Ustadz?" Tanya Kamal kepada Zidan.
Zidan terlihat sibuk membolak-balikkan kertas pada ruangannya.
Ruangan Zidan sudah dipasang AC, sehingga akan terasa dingin dan sejuk ditengah-tengah teriknya matahari.
Bahkan, ia telah menyiapkan ruangan khusus untuk Ayana ketika nanti ia sudah mulai mengajar.
Ia mendesign secara cantik dan terlihat elegan.
"Hmm, letakkan digudang dulu ya, Kamal. Nanti kalau adik ipar saya sudah pulang umroh, dia yang akan menatanya." Jawab Zidan dengan mata masih fokus pada kertas-kertas itu.
"Baik, Ustadz. Saya permisi dulu." Pamit Kamal.
Kamal segera memasukkan barang-barang ke gudang.
Kini tim Zidan sudah bertambah kembali. Berawal dari Kamal, ada juga Amir yang turut membantu pekerjaan Kamal.
Serta ada pula Hikmah untuk membereskan ruangan-ruangan yang masih kotor dan berdebu.
Ia rajin sekali menyapu, mengepel dan mengelapnya setiap harinya, walau Pesantren itu belum dibuka.
Untuk bagian pendaftaran anak-anak santri, sudah ada Agata yang selalu bersedia dari pagi hingga sore menerima pendaftaran para santri baru yang akan segera mondok di Pesantren Zidan.
Zidan mengerahkan karyawannya untuk mengatur sementara Pesantrennya.
Karena, Zidan masih bertugas mengajar di Kampus.
Kemungkinan, ketika Pesantren sudah buka.
Ia akan mengurangi jam mengajar di Kampus, agar waktunya lebih banyak di Pesantren.
***
Hari ini adalah hari kepulangan Fahmi dan Ayana dari Umroh.
Seluruh keluarga Bu Fatimah telah mempersiapkan segala hidangan dan sambutan dengan begitu mewah.
Bu Fatimah mengundang para tetangga dan beberapa keluarga lainnya.
"Zidan, apakah Ibu pantas menggunakan gamis ini?" Bu Fatimah tampak bergaya dengan memamerkan gamis berwarna cokelat tua untuk menyambut kedatangan Fahmi dan Ayana, kepada Zidan.
Zidan yang tengah berdiri didepan pintu kamar Bu Fatimah pun tersenyum dan berjalan mendekati Bu Fatimah.
"Wah, tentu dong, Bu. Ibu masih pantas menggunakan apa saja. Ibu masih cantik! Kalau ada pak haji lihat, mungkin sudah terpikat dengan Ibu." Zidan tersenyum dengan kekehannya menggoda Bu Fatimah.
"Ih, kamu apa-apaan sih? Ibu sudah tua begini, mana ada yang masih mau dengan Ibu." Bu Fatimah menjadi besar kepala ketika dipuji oleh Zidan.
"Siapa tahu, Bu. Kan supaya ada yang menemani, Ibu. Biar tidak kesepian boboknya, hehehe." Zidan kembali menggoda Bu Fatimah.
"Kamu ini, sudah ah. Nanti keburu Fahmi dan Ayana datang, Ibu belum rapih deh." Bu Fatimah segera melanjutkan untuk berdandan.
Zidan terkekeh melihat Ibunya menjadi bahan candaan baginya.
"Zidan! Sebentar lagi Fahmi dan Ayana sampai rumah kata Pak Karto. Kurang lebih lima menit lagi akan tiba ke rumah!" Nabila sibuk menyiapkan beberapa macam hidangan dan minuman.
Nabila hanya menengok sebentar ke kamar Bu Fatimah, lalu melanjutkan kembali menuju dapur serta mondar-mandir ke ruang tengah sebagai tempat untuk jamuan.
Semua telah tersaji dimeja panjang, layaknya seperti model prasmanan.
Jadi, para tetamu tinggal memilih dan menyendokkan sesuai dengan selera mereka.
"Baik, Kak. Sebentar lagi Ibu selesai, aku akan keluar bersama Ibu." Sahutnya.
Zidan sendiri pun tak kalah tampannya. Ia mengenakan gamis panjang berwarna hitam yang dulu sempat ia beli ketika kuliah di Kairo.
Karena dulu ia membelinya dengan size yang terlalu besar dan dulu tubuhnya masih ramping serta kurus, kini gamis yang ia beli telah muat ditubuhnya.
Tubuhnya kini sudah lebih padat dan berisi, lebih macho dan lebih kekar. Sehingga, gamis yang ia beli kini telah dapat dikenakan.
Menjadi terlihat lebih tampan dari biasanya.
Sudah seperti para Habaib-habaib saja si Zidan ini. Apalagi ditambah dengan bulu jambangnya yang halus membuat semakin seperti ala-ala arabian look.
"Assalamu'alaikum!" Ucap salam Fahmi dan Ayana.
"Wa'alaikumsalam, alhamdulillah kalian sudah tiba dirumah dengan selamat. Ayo masuk Fahmi, Ayana." Jawab Nabila.
Terdengar suara Nabila menyapa Fahmi dan Ayana.
"Bu, mereka sudah pulang. Ayo segera keluar. Ibu lama sekali dandannya!" Zidan sudah sangat tidak sabar menyambut kedatangan Fahmi dan Ayana.
Namun, yang utama Zidan ingin jumpai dan lihat adalah Ayana.
Rasa rindunya pada Ayana tidak dapat ia bendung lagi.
"Iya, ayo, Zidan!" Sahut Bu Fatimah.
Zidan dan Bu Fatimah keluar dari kamar.
"Wah, anak dan menantu Ibu sudah pulang rupanya. Apa kabar kalian, Nak?" Sapa Bu Fatimah merentangkan kedua tangannya hendak memeluk Fahmi dan Ayana.
Fahmi dan Ayana langsung berjalan mendekati Bu Fatimah dan Zidan.
Mereka meraih tangan Bu Fatimah dan kemudian mencium punggung tangan Bu Fatimah. Setelah itu melepas rindu dengan berpelukan.
"Kak, Zidan. Bagaimana kabarnya?" Fahmi menyalami Zidan. Dengan mencium punggung tangan Zidan, dan kemudian berpelukan.
"Alhamdulillah, sehat. Kamu apa kabar selama disana?" Zidan bertanya kepada Fahmi.
"Alhamdulillah, Kak. Kami baik-baik saja." Jawab Fahmi.
Zidan menangkupkan kedua tangannya didepan dada dengan memandang Ayana, begitu juga sebaliknya, Ayana juga melakukan hal yang sama.
"Alhamdulillah, Kamu sendiri apa kabar, Ayana?"