Naura, seorang gadis desa, terjerat cinta pria kaya raya—Bimo Raharja, saat memulai pekerjaan pertama di kota.
Pada suatu hari, ia harus menahan luka karena janji palsu akan dinikahi secara resmi harus kandas di tengah jalan, padahal ke-dua belah pihak keluarga saling mengetahui mereka telah terikat secara pernikahan agama.
"Mas Bimo, tolong jangan seperti ini ...." Naura berbicara dengan tangis tertahan.
"Aku menceraikan kamu, Naura. Maaf, tapi aku telah jatuh cinta pada wanita lain."
Baru saja dinikahi secara agama, tapi tak lama berselang Naura ditinggalkan. Masalah semakin besar ketika orang tua Naura tahu jika Bimo menghamili wanita lainnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lintang Lia Taufik, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 16. Keluarga atau Naura?
Malam itu, setelah kejadian di taman, Bimo memutuskan untuk mengambil langkah yang lebih tegas.
Ia duduk di ruang tamu bersama Naura, yang masih terlihat pucat setelah kejadian tadi siang.
Mata Naura menunjukkan kelelahan, baik fisik maupun emosional.
“Naura,” ujar Bimo pelan namun tegas, “aku tidak bisa membiarkan kamu tinggal di sini lebih lama. Nina sudah melampaui batas. Aku takut dia akan melakukan sesuatu yang lebih buruk.”
“Tapi, Mas... ini rumah keluarga Mas. Aku tidak ingin membuat Mas terasing dari keluargamu.” Naura menatap Bimo dengan bingung.
“Keluarga seharusnya melindungi, bukan menyakiti. Kalau mereka tidak bisa menerima kamu, itu masalah mereka, bukan masalah kita.” Bimo menghela napas berat, meraih tangan Naura dengan lembut.
“Tapi, Nina adalah sepupu Mas,” sahut Naura pelan.
“Aku tidak mau Mas sampai kehilangan hubungan baik dengan keluargamu karena aku,” lanjut Naura, akhirnya.
“Aku sudah kehilangan hubungan baik dengan Nina sejak lama,” Bimo menegaskan, nada suaranya penuh keyakinan.
“Dan aku tidak akan membiarkan siapa pun, termasuk dia, menyakitimu lagi,” imbuh Bimo meyakinkan Naura.
Naura masih ragu, tetapi tatapan penuh tekad dari Bimo membuatnya tak mampu membantah.
*
Esok paginya, Bimo dengan cepat mempersiapkan keberangkatan mereka.
Ia meminta pelayan untuk mengemas barang-barang Naura.
Sementara itu, Nina terlihat berdiri di tangga, memandang mereka dengan sinis.
“Mau kabur, ya?” sindir Nina, matanya menyipit ke arah Naura.
“Ini bukan urusanmu, Nina,” jawab Bimo tegas.
“Oh, tapi ini rumah keluargaku juga. Jadi, tentu saja ini urusanku,” balas Nina dengan senyum dingin.
“Kamu benar-benar bodoh, Bimo. Mengorbankan hubungan dengan keluargamu hanya demi perempuan yang tidak punya apa-apa.”
Naura menggigit bibir, hatinya terasa tersayat mendengar kata-kata Nina.
Namun, sebelum ia sempat membalas, Bimo sudah berdiri di depan Nina dengan wajah penuh amarah.
“Cukup, Nina,” ujar Bimo sedikit berteriak sambil menatap tajam.
“Aku tidak peduli apa yang kamu pikirkan. Aku hanya akan mengatakan ini sekali, jangan ganggu kami lagi.”
Tanpa menunggu jawaban dari Nina, Bimo menggandeng tangan Naura dan membawanya keluar setelah berpamitan pada ibunya.
Ya. Ibu Bimo yang notabennya sudah paham watak Nina pun akhirnya hanya diam tanpa membela.
Setelah perjalanan beberapa jam, Bimo dan Naura tiba di apartemen milik Bimo di tengah kota. Tempat semula mereka tinggal.
Tempat itu berada di salah satu gedung tinggi yang mewah, dengan pemandangan langsung ke kota besar yang gemerlap.
Naura tahu bahwa tempat ini jauh lebih aman daripada rumah keluarga Bimo, tetapi ia juga merasa canggung berada di lingkungan yang begitu asing baginya.
“Kamu lebih suka di tempat ini?” tanya Bimo sambil menaruh koper Naura di sudut ruangan.
“Tempatnya indah... tapi aku merasa seperti menyusahkan Mas.” Naura mengangguk pelan.
Bimo mendekat, menggenggam kedua tangan Naura.
“Kamu tidak pernah menyusahkan aku, Naura. Justru aku yang harus minta maaf karena membawamu ke dalam semua masalah ini.”
Naura tersenyum canggung.
Hari itu, Bimo memutuskan untuk menghabiskan waktu di apartemen bersama Naura.
Ia memasak makanan sederhana untuk mereka berdua—hal yang jarang ia lakukan sebelumnya.
“Mas bisa masak juga?” tanya Naura, setengah terkejut melihat Bimo sibuk di dapur.
“Jangan kira aku ini cuma bisa bekerja atau menghabiskan uang. Aku juga punya keahlian lain, lho.” Bimo tertawa.
Mereka makan bersama sambil berbincang ringan. Untuk sesaat, Naura merasa seperti berada di dunia yang berbeda, jauh dari semua konflik yang pernah mereka alami.
Namun, malam itu, ketika Naura sedang bersiap untuk tidur, ia termenung di depan jendela.
Pemandangan kota yang gemerlap di bawahnya terasa begitu jauh dari kehidupannya di desa.
“Apa aku benar-benar cocok berada di sini?” gumamnya pelan.
Bimo, yang mendengar suara kecil Naura, menghampirinya.
“Apa yang kamu pikirkan, Sayang?”
Naura menoleh, sedikit terkejut.
“Mas, aku merasa terlalu jauh dari duniaku. Semua ini terasa seperti mimpi yang tidak nyata.”
Bimo menarik Naura ke dalam pelukannya.
“Kamu adalah bagian dari duniaku sekarang, Naura. Tidak peduli seberapa jauh tempat ini dari asalmu, aku akan memastikan kamu merasa nyaman di sini.”
Naura membalas pelukan Bimo, tetapi hatinya masih dipenuhi keraguan.
Ia tahu bahwa cinta mereka tidak akan berjalan mulus.
Ada terlalu banyak halangan di depan mereka, dan ia tidak yakin apakah ia cukup kuat untuk menghadapi semuanya.
Namun, sebelum ia sempat melanjutkan pikirannya, telepon Bimo berdering.
Wajahnya berubah serius saat melihat nama di layar.
“Maaf, Naura. Aku harus mengangkat ini,” katanya sebelum berjalan menjauh.
Naura memperhatikan Bimo berbicara di telepon, nada suaranya terdengar rendah tetapi tegas.
Ia tidak bisa mendengar apa yang dibicarakan, tetapi firasatnya mengatakan bahwa ini bukanlah kabar baik.
Ketika Bimo kembali, ekspresinya sulit dibaca. “Ada apa, Mas?” tanya Naura dengan cemas.
“Tidak apa-apa,” jawab Bimo singkat, mencoba tersenyum.
“Kamu istirahat saja.”
Namun, Naura tahu bahwa sesuatu sedang terjadi. Dan ia merasa bahwa kebahagiaan yang baru saja ia rasakan mungkin tidak akan bertahan lama.
*
Malam semakin larut, dan apartemen menjadi sunyi.
Naura sudah tertidur di kamar, sementara Bimo duduk di ruang tamu dengan ponselnya.
Ia sedang memeriksa pesan-pesan yang masuk ketika tiba-tiba sebuah panggilan masuk dari ibunya.
Bimo mengerutkan kening. Jam sudah menunjukkan lewat tengah malam, ibunya jarang menelepon di waktu seperti ini. Ia segera menjawab panggilan itu.
“Halo, Bu? Ada apa?” tanyanya, suaranya sedikit cemas.
Di seberang telepon, suara ibunya terdengar panik.
“Bimo, kamu harus pulang secepatnya. Eyang Putri sakit!”
Jantung Bimo berdegup kencang.
“Sakit? Apa yang terjadi?” tanyanya cemas.
“Eyang jatuh sakit setelah mendengar tentang pernikahan sirimu dengan Naura,” jawab ibunya dengan nada marah.
“Kenapa kamu tidak memberi tahu Eyang kemarin, Bimo? Kenapa Eyang harus mendengar berita itu dari orang lain?”
Bimo terdiam, matanya menatap kosong ke depan.
Ia tahu keluarganya tidak akan mudah menerima pernikahannya dengan Naura, tetapi ia tidak menyangka berita itu akan sampai ke telinga Eyang Putri dan menyebabkan hal seperti ini.
“Aku tidak ingin menyakiti siapa pun, Bu,” katanya akhirnya.
“Aku hanya ingin melindungi Naura.”
“Melindunginya?!” suara ibunya naik.
“Lalu bagaimana dengan Eyangmu ternyata tidak setuju dengan semua ini, Bimo. Dia merasa kamu mempermalukan keluarga!”
Bimo menekan dahinya dengan tangan, mencoba menguasai emosinya.
“Aku akan pulang besok pagi, Bu. Aku ingin melihat keadaan Eyang.”
“Pastikan kamu datang, Bimo,” ibunya menegaskan sebelum menutup telepon.
Bimo menatap ponselnya dengan ekspresi campur aduk.
Ia merasa terjebak di antara tanggung jawab kepada keluarganya dan cintanya pada Naura.
Pagi harinya, Naura bangun dengan senyuman tipis. Ia menemukan sarapan sederhana di meja makan—Bimo jelas telah bangun lebih awal untuk menyiapkannya.
Namun, saat ia mendekati ruang tamu, ia melihat Bimo berdiri di dekat jendela, menatap keluar dengan ekspresi serius.
“Mas?” panggil Naura pelan.
Bimo menoleh, wajahnya terlihat letih.
“Naura, ada sesuatu yang harus aku bicarakan denganmu.”
Naura mengerutkan kening, firasat buruk langsung menghantamnya.
“Ada apa, Mas?”
“Eyang Putri sakit,” ujar Bimo perlahan.
“Dia jatuh sakit setelah mendengar tentang pernikahan kita.”
Naura tertegun, napasnya tercekat.
“Mas, aku… aku tidak tahu harus bilang apa.”
“Bukan salahmu,” potong Bimo, mencoba menenangkannya.
“Ini masalah keluarga, dan aku harus menyelesaikannya. Tapi aku ingin kamu tahu bahwa aku tidak akan meninggalkanmu, apa pun yang terjadi.”
Naura menggigit bibirnya, matanya mulai basah.
“Tapi kalau keluarga Mas tidak bisa menerima aku ...”
“Aku akan membuat mereka menerima kita,” kata Bimo dengan penuh keyakinan.
“Aku akan kembali ke rumah untuk berbicara dengan mereka. Aku akan menjelaskan semuanya.”
“Tapi Mas... bagaimana kalau mereka tetap menolak?” suara Naura bergetar.
Bimo menarik Naura ke dalam pelukannya.
“Aku tidak peduli, Naura. Kamu adalah istriku, dan aku akan memperjuangkan kita.”
Namun, jauh di lubuk hatinya, Bimo tahu bahwa semua ini tidak akan mudah.
Dengan berat hati, ia melepaskan pelukan itu dan mulai bersiap untuk kembali ke rumah keluarganya.
Naura menatap punggung Bimo saat pria itu mengemasi barang-barangnya.
Hatinya dipenuhi rasa cemas dan ketakutan. Ia tahu bahwa cinta mereka sedang diuji, dan ia tidak yakin apakah mereka akan mampu melewati semuanya.
(Bersambung)
si Naura pun bodoh juga Uda di ingatkan