Bukan Salah Jodoh

Selepas Maghrib, Atun sedang bersiap-siap di kamarnya. Beberapa kali ia menilik dandanan juga pakaiannya. Wanita itu sungguh tidak percaya diri dengan baju bagus yang dipakainya.

"Dah lah Dek, kamu sudah cantik kok!" puji Abdul, pria itu sudah selesai mengganti bajunya dengan baju kemeja batik bercorak hitam putih, hampir sama dengan baju yang di pakai Atun, motifnya hitam dan putih.

"Makasih Mas." ucapnya langsung menggandeng Abdul. Ya, dia senang meskipun baju yang dipakainya di beli dengan uang hasil judi. Namun apa boleh buat, tak ada yang lain selain pakaian itu. Atun mendesah di dalam hati, ia tidak mau merusak suasana hanya karena uang Abdul yang tak halal itu. Lagipula, mereka sudah saling meyakinkan untuk tidak memakai uang itu lagi kedepannya.

Mereka berangkat menuju rumah emak Rodiah berjalan kaki menyusuri gang dan tikungan yang tidak begitu jauh.

"Kok masih sepi Yo Mas." kata Atun, melihat sekeliling rumah emaknya belum nampak kehadiran siapapun.

"Iya, mungkin sebentar lagi." jawab Abdul ikut memindai sekitar rumah itu. Ia paham betul jika istrinya ragu untuk masuk kedalam, apalagi acara belum dimulai. Sudah pasti omelan emaknya akan menjadi-jadi jika melihat Atun datang lebih dulu.

"Kita duduk di sana saja Mas." tunjuk Atun, mereka menuju sisi kiri rumah emak Rodiah, halaman samping yang tidak begitu terang juga terdapat pohon bunga kertas yang lumayan rimbun.

"Ini kan kamarmu Dek?" tunjuk Abdul pada dinding yang mereka sandari.

"He'em." Atun mengangguk saja, namun kemudian ia menatap suaminya. "Kok Mas Tahu?" tanya Atun heran.

"Aku sering menguping saat kamu dimarahi emakmu." jawab Abdul, nyengir kuda.

Atun tersenyum getir, ia jadi ingat setiap malam ia harus menerima omelan dan kemarahan emaknya. "Sebenarnya, emak tidak begitu galak kalau sama Mbak Rara ataupun Mbak Ajeng." ungkapnya sedih.

"Aku tahu, makanya aku jadi berniat untuk menikahimu." ucap Abdul merangkul pundak istrinya.

"Apa kamu kasihan sama aku Mas?" Atun mendongak lagi wajah Abdul.

"Awalnya iya, dulu waktu kamu masih SMP. Dari sejak itu aku malah sering memperhatikan kamu, akhirnya aku menyadari bahwa kamu itu cantik dan aku jatuh cinta sama kamu. Tapi sayang, waktu itu kamu masih cilik!" Abdul terkekeh mengenang masa SMP istrinya.

Tentu saja, Atun ikut terkenang dengan masa-masa itu. Ia begitu ringkih, ia begitu tak berdaya dalam menghadapi setiap kemarahan emaknya. Atun yang kurus, tinggi, memakai baju putih biru yang sudah kumal, hanya bisa menangis dan menangis, belum lagi di sekolah ia mendapatkan perlakuan tak baik dari beberapa teman sekolahnya.

Bruakk!!!

Atun dan juga Abdul terkejut mendengar suara keras berasal dari dalam rumah, sepertinya, pintu kamar Atun itu di buka dengan kasar.

"Ono opo Yo Dek?" tanya Abdul hampir berbisik.

Atun menggeleng, ia mencari-cari celah untuk mengintip.

"Bukannya membuat bangga orang tua? Ini malah membuat malu! Kamu itu tidak ada bedanya sama Atun! Kawin kok semaumu sendiri! Apakah penampilan mu yang selalu menor ini sebegitu murahnya?" suara emak Rodiah terdengar begitu marah.

"Mak! Aku tidak murahan. Tapi bagiku lebih baik tidak jual mahal daripada tidak mendapatkan apa yang aku inginkan. Jadi emak tidak perlu berharap banyak, apalagi meminta uang dari calon suamiku. Yang terpenting sekarang dia mau menikahi aku!"

"Tapi emak malu kalau harus menikahkan anak dengan cara sembunyi-sembunyi seperti ini. Emak maunya menikahkan anak dengan meriah, mengundang orang-orang penting dan memperlihatkan kamu dan suamimu itu dengan bangga." kesal emak Rodiah lagi.

"Halah, bilang saja emak kesal karena tidak mendapatkan apa-apa." Ajeng mencebik.

"Iya! Emak membesarkan kamu dengan susah payah, dan dia menikahimu dengan gratis. Enak di dia, enggak enak di emak!"marah Mak Rodiah lagi.

"Kalau emak mau enak, harusnya Emak menjaga Atun dengan baik, bukannya malah marah-marah dan selalu marah. Akhirnya gagal dan dia kabur meninggalkan emak."

"Diam kamu! Gak usah menyalahkan emak!" bentak Mak Rodiah.

"Bukan Ajeng menyalahkan Emak, tapi emak memang salah. Harusnya Emak sedikit bersikap baik kepada Atun, jadinya dia betah dan berpikir untuk membalas budi. Bukannya menyiksa dan membuatnya tertekan."

"Diammmm!!!!" teriak Mak Rodiah, bahkan kedua orang yang menguping itu sampai menjauhkan telinganya.

Brakkk!!!

Terdengar pintu kamar Atun itu dibanting keras oleh Mak Rodiah yang sedang emosi.

"Apa kita pulang saja Mas?" tanya Atun.

"Jangan Dek, itu lihat ada mobil yang baru saja datang." tunjuk Abdul pada dua mobil hitam sedang parkir di halaman rumah mertuanya.

"Itukan pak lurah Mas." ucap Atun memperhatikan seorang pria baru saja turun dari mobil.

Kedua pengantin baru itu terus memperhatikan, ternyata dua mobil itu berisikan keluarga pak lurah. Dan tak lama kemudian beberapa orang tetangga Atun pun ikut berdatangan.

"Ayo kita masuk." Abdul menarik tangan istrinya, mengajak Atun masuk ke dalam rumah emak Rodiah itu karena keadaan sudah ramai.

Atun dan Abdul duduk di barisan paling belakang, mereka sengaja tidak terlalu mencolok agar tidak memancing pembicaraan ibunya ataupun tetangga-tetangga.

Acara segera dimulai setengah terburu-buru, sepertinya kedua belah pihak itu sengaja untuk tidak berlama-lama dan menunda. Ajeng keluar dari kamar Atun dengan pakaian yang sudah rapi sebagai calon pengantin wanita. Sedangkan pengantin laki-lakinya sudah duduk bersiap dengan wajah menunduk.

"Bukannya itu Mas Ammar?" gumam Atun kepada Abdul.

"Sssst." Abdul meminta Atun tidak berbicara karena akad sedang di mulai.

Hingga acara sudah selesai dan kemudian atau persatu para undangan langsung pulang, membawa nasi kotak yang sudah disiapkan oleh pihak laki-laki, yaitu Ammar anak pak lurah yang saat ini sudah menjadi suami Ajeng.

"Selamat ya Mbak." ucap Atun setelah lumayan sepi.

"Makasih." jawab Ajeng singkat, wanita yang berdandan cantik dan seksi itu tidak seacuh Rara, walaupun tidak sehangat saudari yang seharusnya.

"Selamat ya Jeng." Abdul ikut menyalami kakak kedua istrinya itu.

Ajeng mengangguk, tersenyum tipis saja.

"Selamat ya Mar." Abdul kemudian menyalami suami Ajeng itu.

Pria itu tersenyum tipis, ia menerima uluran tangan Abdul namun matanya menangkap wajah Atun.

"Kami sudah menikah." ucap Abdul segera meraih pundak Atun dan memeluknya.

Ammar melirik wajah Abdul dan tersenyum sinis.

"Selamat ya Mas." ucap Atun tersenyum manis, wajahnya tampak sumringah mengetahui kakak iparnya adalah orang yang ia kenal.

"Terimakasih Tun. Lama tak bertemu, sekarang kamu sudah cantik. Ndak ingusan lagi." ucap Amar.

Atun tersipu malu, Ammar adalah teman bermainnya ketika masih kecil. Tentulah pria bernama Ammar mengetahui dan menjadi saksi ingusnya Atun yang turun perlahan dan naik secepat kilat kala itu.