NovelToon NovelToon
Cahaya Yang Padam

Cahaya Yang Padam

Status: sedang berlangsung
Genre:Poligami / Selingkuh / Pernikahan Kilat / Cinta Paksa / Beda Usia / Mengubah Takdir
Popularitas:10.6k
Nilai: 5
Nama Author: NurAzizah504

Cahaya dipaksa menikah dengan pria yang menabrak ayahnya hingga meninggal. Namun, siapa sangka jika pria itu memiliki seorang istri yang amat dicintainya yang saat ini sedang terbaring lemah tak berdaya. Sehari setelah pernikahan paksa itu dilakukan, pertemuan tak sengaja antara Cahaya dan istri pertama suaminya terjadi.

Akankah Cahaya diakui statusnya di hadapan keluarga suaminya? Atau malah Cahaya tetap disembunyikan? Dipaksa padam seolah tak pernah ada dalam kehidupan?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon NurAzizah504, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

16. Ingin Memisahkan Mereka

"Ibu Zahra saat ini baik-baik saja. Beruntung Bapak cepat membawanya ke rumah sakit. Ditambah lagi, sayatannya juga tidak terlalu dalam. Dalam kasus ini, saya berharap istrinya lebih diperhatikan lagi, ya. Soalnya tidak menutup kemungkinan pelaku bunuh diri akan melakukan hal yang sama lagi."

Arif menghela napas panjang. Penjelasan panjang lebar yang dokter katakan terus membayanginya hingga sekarang.

Di ruangan itu, hanya ada Arif dan Zahra. Arif sengaja tidak mengabarkan tentang masalah ini ke Fahri dikarenakan iparnya itu telah berangkat ke luar kota untuk urusan pekerjaan pagi tadi.

"Zahra, kenapa kamu melakukan hal ini?" tanya Arif sambil menggenggam tangan Zahra dengan erat. Manik matanya lantas berpindah ke arah pergelangan Zahra. Di mana perban yang menutup luka sayatan tampak jelas di matanya.

Tak terasa, air mata Arif jatuh seketika. Tangisannya pecah, terisak, hingga sesegukan.

Saat Arif larut dalam tangisnya, Zahra akhirnya membuka mata. Tatapan wanita itu tampak kosong, sebelum menyadari bahwa saat ini, dirinya terkapar di rumah sakit.

"Kenapa aku di sini? Aku mau mati. Aku mau mati!" sentak Zahra sambil menarik tangannya dari genggaman Arif.

"Zahra, apa yang kamu katakan? Apa yang sudah kamu lakukan? Kamu mau ninggalin Abang?"

Ditanya begitu oleh sosok yang begitu dicintai olehnya, Zahra sontak memindahkan bola mata. Air matanya mengalir deras. Membuat Zahra perlu menggigit bibirnya kuat-kuat guna membuat suaranya meredam.

"Zahra ... Sayang ...." Arif memanggil dengan suara yang teramat lirih dan lembut. Sebelah tangannya yang kosong, digunakan hanya untuk mengusap air mata Zahra. "Kenapa kamu ingin pergi dengan cara begitu? Apa yang membuat kamu sampai kepikiran melakukan hal itu, Sayang? Cerita sama Abang, ada masalah apa, hm?"

"Aku pikir, Abang tau penyebabnya. Ternyata enggak, ya?" tanya Zahra masih memalingkan wajahnya.

Hal itu tentu saja membuat Arif kebingungan. Apa karena dirinya Zahra sampai melakukan hal itu? Kalaupun benar, memang ia salah apa?

"Sayang ...."

"Jangan panggil aku 'Sayang', Bang. Aku muak dengarnya. Abang gak sesayang itu sama aku. Akhir-akhir ini, tempat aku di hati Abang sudah tergantikan."

"Maksudnya?"

"Mereka, Bang. Cahaya dan Zaif. Karena mereka, Abang menghancurkan malam indah kita. Karena mereka, Abang mengabaikan aku. Karena mereka, Abang membuat aku selalu merasa sendirian. Abang sibuk dengan keluarga baru Abang. Abang sibuk membantu Cahaya mengurus anaknya. Abang sibuk bersama mereka. Sementara aku, istri pertama Abang yang sudah kehilangan rahimnya, dipaksa bahagia dengan kesendirian. Abang bahkan gak lagi mengunjungi aku di toko seperti yang biasa Abang lakukan. Karena setiap ada waktu luang, Abang selalu pulang ke rumah Cahaya. Jadi, jelaskan sekarang. Untuk apa aku bertahan di dunia ini? Untuk disakiti, hah? Atau untuk melihat kalian bahagia bersama?"

"Zahra ...."

"Aku capek, Bang .... Aku lelah! Aku cemburu! Aku marah! Abang bisa gak, sih, mengerti perasaan aku sehari aja? Sebagai istri yang gak sempurna, aku selalu merasa ketakutan, Bang. Daripada ditinggalkan, baik lebih aku yang pergi duluan."

"Gak, Zahra. Jangan ngomong begitu. Abang sayang sama kamu. Abang gak mau kamu pergi tinggalin Abang."

"Kalau Abang gak mau, kenapa sulit sekali untuk Abang kembali ke pelukan aku? Bukan cuma Cahaya dan Zaif yang butuh Abang, tapi aku juga."

"Iya, iya. Abang salah karena mengabaikan kamu. Abang benar-benar minta maaf, Zahra. Tapi, Abang mohon jangan lakukan hal itu lagi. Jangan pernah berpikir buat pergi dengan cara begitu. Abang gak sanggup kalau harus kehilangan kamu. Setelah ini, Abang janji akan lebih memperhatikan kamu lagi. Bahkan Abang sudah membeli tiket liburan sebagai hadiah untuk ulang tahun pernikahan kita. Nanti kita pergi bersama. Hanya berdua. Kita perbaiki semuanya, ya."

Tidak ada sepatah kata pun yang keluar dari bibir Zahra. Lagi dan lagi, Zahra memalingkan wajahnya.

"Sayang Abang, kenapa? Masih belum mau maafin Abang?" tanya Arif mengelus pipi Zahra perlahan.

"Aku butuh pembuktian, Bang. Abang ceraikan Cahaya, ya? Aku cuma mau kita berdua. Aku gak akan lagi menuntut hak atas Zaif. Aku cuma mau Abang. Itu aja."

Kini giliran Arif yang mengunci mulutnya. Memang wajar jika Zahra meminta hal demikian. Namun, bukankah baru semalam ia berkata akan mengusahakan perasaannya kepada Cahaya?

"Kenapa, Bang? Gak bisa, ya? Abang udah ada rasa ke Cahaya?"

"Bukan, Zahra, bukan. Tapi, bagaimana dengan Zaif kalau Abang dan Cahaya berpisah? Abang gak mau kalau sampai Zaif merasakan apa yang Abang rasakan dulu, Zahra. Permintaan ini terlalu sulit buat Abang."

Sejenak, Zahra menarik salah satu sudut bibirnya ke atas. "Memang gak salah kalau aku mau mati. Aku tersiksa atas pernikahan kalian, Bang. Aku bahkan gak bisa lagi meyakinkan diriku sendiri bahwa suatu saat nanti, Abang akan merasa nyaman dengan Cahaya. Abang akan membutuhkan dia. Berbagi cerita suka atau duka. Kalian akan bahagia melihat tumbuh kembang Zaif. Perlahan-lahan, akan ada rasa cinta. Hingga akhirnya ... aku terlupakan begitu saja."

"Apa yang kamu takutkan gak akan terjadi, Zahra. Abang gak akan seperti itu."

"Apa jaminannya, Bang? Hati dan perasaan mudah terbolak-balikkan. Apalagi kalau kalian keseringan bersama. Cepat atau lambat, kalian akan saling membutuhkan. Rasa itu bisa hadir kapan saja."

"Abang akan selalu menjadikanmu rumah. Dulu, sekarang, nanti, dan selamanya."

"Aku gak percaya. Sekarang pun, aku cuma ibarat rumah singgah. Di tempat aku, Abang gak bisa menemukan buah hati. Sunyi. Sepi. Sementara Cahaya ...."

Zahra tercekat, berakhir gagal walau sekadar untuk melanjutkan kalimatnya. Untuk kesekian kali, ia menangis hari ini. Zahra benar-benar terluka.

Besoknya, Dokter yang memeriksa Zahra kembali masuk. Dan, dikarenakan keadaan Zahra sudah membaik, ia akhirnya diperbolehkan untuk pulang.

"Kamu mau makan apa? Atau ada sesuatu yang pengen kamu beli?" tanya Arif saat dalam perjalanan pulang.

"Gak ada. Aku cuma pengen cepat pulang."

Sederhana memang. Namun, entah mengapa, Arif sedih mendengarnya.

Sesampainya di rumah, Arif senantiasa mengerahkan semua usaha terbaiknya untuk Zahra. Ia memasaki banyak makanan kesukaan Zahra, mengajaknya mengobrol, bahkan sampai menonton film-film favorit Zahra di dalam kamar. Intinya, Arif ingin menebus banyak hal. Dia sadar, terlalu banyak waktu yang telah Zahra lalui dalam kesendirian.

Tepat setelah Zahra berhasil memejamkan mata, panggilan dari Cahaya pun masuk ke ponselnya.

Arif memutuskan untuk keluar kamar terlebih dahulu supaya Zahra tidak terjaga. Setelah panggilan diangkat, suara Cahaya lantas terdengar.

"Saya nginap di sini malam ini. Kebetulan, Zahra juga baru keluar dari rumah sakit."

"Ya, Tuhan ... kapan, Pak? Kok, gak kasih kabar apa pun ke aku?"

"Kemarin. Dan, sekarang Zahra baik-baik aja," jawab Arif memilih untuk tidak menjelaskan hal yang sebenarnya.

"Oh, iya, Pak. Aku mau ngabarin kalau besok Paman Bahar dan Bibi Wati mau ke sini. Boleh, 'kan?"

"Ya, bolehlah. Kalau ada waktu luang, saya juga bakalan ke sana buat ketemu mereka."

Kemudian Arif menanyakan kabar Zaif. Maklum, hampir dua hari mereka tidak bertemu. Panggilan pun diakhiri lantaran Zaif yang mulai menangis akibat mendengar suara Arif. Anak itu, menginginkan sosok ayahnya.

...****************...

"Masak apa, Ra? Wangi banget," tanya Arif yang tiba-tiba datang dan memeluk Zahra dari arah belakang.

"Ayam kecap."

"Wah, enak, tuh. Gak sabar pengen makan."

Zahra tersenyum simpul. Tanpa menoleh, ia melanjutkan kegiatan memasaknya.

Akhir-akhir ini, Zahra seketika berubah menjadi wanita pendiam. Arif sendiri tak heran mengapa hal itu bisa terjadi. Ini salahnya. Dan, tentu saja, mati-matian Arif akan mengembalikan Zahra-nya menjadi wanita baik seperti sediakala.

"Bang, nanti Bang Fahri bakalan ikut sarapan di sini. Tapi, aku mohon, jangan kasih tau apa pun ke Bang Fahri tentang kejadian itu," ungkap Zahra penuh harap.

"Iya, Sayang. Kamu tenang aja," balas Arif sambil mengecup bibir Zahra sekilas.

Di tempat lain, Cahaya tengah menyiapkan aneka makanan dan minuman bersama Mbok Tun di dapur. Mumpung Zaif lagi tidur, makanya Cahaya turut membantu meskipun wanita paruh baya itu telah melarangnya.

Bel rumah akhirnya dibunyikan. Saat Cahaya membuka pintu, tampaklah sosok Bahar yang tengah tersenyum ke arahnya.

"Paman!" Cahaya berseru riang lalu memeluk Bahar dengan erat. "Cahaya rindu Paman. Maaf, kalau Cahaya gak pernah lagi berkunjung ke desa."

"Iya, Nak. Tidak apa-apa. Paman juga minta maaf karena gak pernah mengunjungimu."

Cahaya tersenyum, sama sekali tidak mempermasalahkan tentang hal itu. "Oh, iya, di mana Bibi? Bukannya Bibi juga ikut, ya?"

"Bibi di sini. Tadi ke samping sebentar, lihat-lihat tanaman hias," jelas Wati yang lantas menyerahkan tangannya saat Cahaya hendak bersalaman dengannya.

"Bibi sehat?" tanya Cahaya hati-hati.

"Seperti yang kamu lihat. Bibi sehat dan tidak kekurangan satu apa pun. Sudahlah, ayo kita masuk ke dalam. Gak sabar Bibi pengen lihat isi rumah kamu."

"Bu ...." Bahar melirik tajam guna menegur Wati agar tidak bersikap seperti itu. Namun, bukan Wati namanya kalau langsung mendengarkan apa kata suaminya.

"Iya, ayo kita masuk, Bibi, Paman."

Begitu Wati berhasil melangkahkan kakinya ke dalam, ia berseru takjub tanpa henti. Apalagi saat tahu bahwa di rumah Cahaya juga ada ART.

"Lihat, betapa beruntungnya kamu karena dinikahi Arif. Makanya kalau orang tua bilang itu nurut, jangan membantah kayak waktu itu. Sekarang kamu jadi kaya raya. Gak miskin kayak masih di desa."

Cahaya hanya mengangguk patah-patah mendengarkan perkataan Wati. Sementara Bahar cukup menghela napas saja.

"Nak Arif lagi gak di rumah, ya?"

"Oh, Pak Arif-nya masih di toko, Paman. Tapi, katanya nanti juga bakalan pulang."

"Kalau cucu Bibi kamu sembunyikan di mana?"

Pertanyaan sarkas itu lantas membuat Cahaya meminta tolong kepada Mbok Tun untuk membawa Zaif kepadanya. Saat bayi yang nyaris berusia satu tahun itu terlihat, senyum di bibir Wati merekah terang.

"Pak, cucu kita tampan sekali. Sini, Nak, sama Nenek."

Interaksi baik itu membuat Cahaya menyunggingkan senyum lebar. Setidaknya, Bibi Wati masih bersikap normal pada putranya.

Bahar juga ikutan gembira dan meminta gantian menggendong Zaif. Tak lama kemudian, Arif akhirnya pulang.

Arif sendiri mengobrol cukup banyak dengan Bahar di teras. Entah apa saja yang mereka bicarakan, Zahra tak tahu itu.

"Istri pertamanya Arif, bagaimana, Ya?" tanya Wati. Dalam pelukannya, Zaif tertidur lelap.

"Baik, Bi. Tapi, setelah tau tentang pernikahan kami, dia mulai gak suka sama Cahaya."

"Hm, wajar, sih, itu. Soalnya gak semua istri rela dimadu," jelas Wati dengan ekspresi serius. "Kalau sama istri pertamanya, Arif udah punya anak berapa?"

"Gak ada, Bi. Memang Kak Zahra sempat mengandung, tapi keguguran akibat menolong Cahaya. Akhirnya, rahim Kak Zahra diangkat. Dan, Kak Zahra jadi gak bisa hamil lagi."

Cerita itu terputus sewaktu Arif dan Bahar masuk ke dalam. Baiknya, Wati pun tak lagi bertanya.

Menjelang sore, Bahar dan Wati pamit pulang. Cahaya sudah memaksa mereka untuk menginap. Namun, mereka beralasan bahwa adik-adik sepupu Cahaya tidak mau ditinggal di rumah tanpa keberadaan orang tuanya.

Alhasil, Cahaya tak lagi memaksa. Bahar dan Wati pun diantara sampai terminal oleh supir pribadi Cahaya. Tak lupa, Cahaya juga memberikan sejumlah uang untuk mereka. Jika Bahar mati-matian menolaknya, Wati dengan senang hati menerimanya. Bahkan Wati juga meminta salah satu tanaman hias milik Cahaya yang berada di samping rumah.

Selang waktu setelah mereka pergi, Arif juga pamitan untuk kembali ke toko. Dia berjanji akan pulang saat jam makan malam nanti.

Sesuai dengan janji yang telah dikatakan, Arif sungguhan pulang tepat ketika jam makan malam tiba. Setelah mandi dan berganti pakaian, ia pun bergabung bersama Cahaya di meja makan.

Keduanya saling mengobrol dan bercanda ringan. Sebuah momen yang langka, yang ingin Cahaya abadikan dalam ingatan.

"Pak, aku boleh nanya sesuatu gak?" tanya Cahaya saat keduanya berada di dalam kamar.

"Boleh. Mau nanya apa?"

"Aku penasaran sama orang tua Bapak. Semenjak kita nikah, aku gak pernah liat mereka."

Arif sempat terdiam selama beberapa saat. Setelah memastikan detak jantungnya kembali normal, barulah ia buka suara. "Orang tua saya bercerai saat saya masih bayi. Saya gak diasuh oleh mereka, tapi dititipkan sama nenek saya yang saat ini sudah tiada. Dan, jangankan kamu, saya aja gak pernah ketemu sama mereka. Mereka cuma rutin kirimin saya uang. Yang saya tau, mereka sama-sama udah berkeluarga dan pindah negara."

"Kalau sekarang, Bapak masih komunikasi sama mereka?"

"Gak lagi. Mereka menghilang tiba-tiba."

"Bapak gak ada niatan buat mencari keberadaan orang tua Bapak?"

"Buat apa? Toh, mereka juga gak mau tau sama keadaan saya. Saya cuma gak mau menyakiti diri saya sendiri, Ya. Biarkan saja seperti ini. Kalau mereka masih hidup, semoga mereka bahagia. Tapi, kalau gak lagi, semoga mereka diampuni oleh Yang Maha Kuasa."

Cahaya mengangguk lemah. Tidak menyangka bahwa kehidupan Arif ternyata semenyakitkan ini.

"Karena alasan itu, saya mati-matian menolak berpisah dengan kamu, Cahaya. Kalau kita berpisah, mungkin saja saya akan mengulang kisah Arif dalam diri Zaif. Saya gak mau itu terjadi. Zaif harus bahagia. Zaif harus mempunyai orang tua lengkap sampai ia dewasa."

Melihat sisi rapuh Arif, tangan Cahaya tergerak untuk mengusap pipi Arif dengan perlahan. "Kalau Bapak gak berulah, saya janji kisah Bapak gak akan terulang lagi. Saya juga menginginkan hal yang sama, Pak. Ingin Zaif bahagia."

Sementara itu, Zahra tampak uring-uringan di rumahnya sendiri. Hatinya panas saat tahu jika malam ini, Arif lagi-lagi menyempatkan diri ke rumah Cahaya.

"Ini gak bisa dibiarkan. Aku harus bergerak untuk memisahkan mereka."

1
Shadiqa Azkia
10 iklan keu cek dah
NurAzizah504: Maksh banyak, hehee /Joyful/
total 1 replies
Taufiqillah Alhaq
vote untukmu
NurAzizah504: Makasih /Smile/
total 1 replies
Teteh Lia
🌹🌹 buat bang Fahri.
NurAzizah504: Wahh, terima kasih banyak, Kak /Smile/
total 1 replies
Teteh Lia
syukurlah,,,
tapi masih harus waspada, pak Arif masih kelayaban susun rencana licik
NurAzizah504: Jgn sampai lengah pokoknya /Good/
total 1 replies
Teteh Lia
blokir aja nomornya. ish...bener2 si amel 😤
NurAzizah504: Minta dikata2in emg /Sob/
total 1 replies
Teteh Lia
sekalian bikin pak Arif tambah terbakar.
NurAzizah504: Panas panas /Joyful/
total 1 replies
Teteh Lia
Pak Arif... anda masih waras kan ya?
NurAzizah504: Enggak. Udh gila dia /Blush/
total 1 replies
🎀
kata-kata yang bagus Cahaya
NurAzizah504: Sekalian menyadarkan mereka /Grimace/
total 1 replies
🎀
harus Cahayaa, nggak usah berharap sama arif
NurAzizah504: Yang ada makan hati tiap hari /Proud/
total 1 replies
🎀
oh no kesalahan fatal
NurAzizah504: /Shy//Shy/
total 1 replies
🎀
menyesal kamu kalo ternyata itu anakmu 😡
NurAzizah504: Biar nangis darah sekalian /Grimace/
total 1 replies
Muliana
Semoga keluarga Cahaya baik-baik aja,, kasihan Cahaya, jika kembali menderita
NurAzizah504: Aamiin, semoga saja, ya /Sob/
total 1 replies
Syaiful Amri
semoga zahra sudah benar2 berubah jadi baik
NurAzizah504: Iya, semoga, ya. Capek soalnya jadi org jahat mulu /Sob/
total 1 replies
Xiao Lianhua
cahaya juga sakit kok ra, tapi kamu bahkan ga mikir. pas tau rasanya sesakit itu pun, kamu masih ga mikir😞
NurAzizah504: Egois bukan, sih, namanya /Sob/
total 1 replies
Xiao Lianhua
nyiksa itu kamu namanyaa
NurAzizah504: Maunya enak sendiri /Sob/
total 1 replies
Xiao Lianhua
astaghfirullahaladzim sakit banget😭😭
NurAzizah504: /Sob//Sob/
total 1 replies
Xiao Lianhua
ishh apalahh
NurAzizah504: apalah dia /Panic/
total 1 replies
Tini Timmy
semoga zahra gk ada niat buruk ya/Chuckle/
NurAzizah504: Aamiin /Sob/
total 1 replies
Tini Timmy
zahra ini ya
NurAzizah504: Lagi dan lagi /Frown/
total 1 replies
Muliana
Arif, kamu yang memulainya kamu dalang dari sebalik segala masalah. Kamu sadar gak sih?
Kalo gak sadar juga sini biar aku khok ulei kah pakek palei
NurAzizah504: Bereh that komen /Sob//Facepalm/
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!