Tutorial membuat jera pelakor? Gampang! Nikahi saja suaminya.
Tapi, niat awal Sarah yang hanya ingin membalas dendam pada Jeni yang sudah berani bermain api dengan suaminya, malah berakhir dengan jatuh cinta sungguhan pada Axel, suami dari Jeni yang di nikahinya. Bagaimana nasib Jeni setelah mengetahui kalau Sarah merebut suaminya sebagaimana dia merebut suami Sarah? Lalu akankah pernikahan Sarah dengan suami dari Jeni itu berakhir bahagia?
Ikuti kisahnya di dalam novel ini, bersiaplah untuk menghujat.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lady ArgaLa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 16.
Dahi Sarah berkerut. "Uncle Andrew? Hummmm apa Uncle Andrew suami dari Aunty Sonia?"
"Nah, tepat. Kau memang hebat, Sweetie. Ingatanmu sangat tajam," puji Tuan Bryan.
Sarah tertawa kecil. "Memangnya ada apa dengan Uncle, Dad? Dan ... apa hubungannya dengan Sarah?"
"Dia baru saja kembali dari luar negeri, dan ingin bertemu denganmu. Katanya dia dan Sonia begitu rindu denganmu, Nak. Apa kamu mau?"
"Tentu saja, Dad. Atur saja pertemuannya, Sarah akan datang."
"Baiklah, nanti Dady akan mengajarimu lagi. Dady tutup teleponnya ya," pamit Tuan Bryan.
"Baik, Dad."
Sambungan telepon terputus, Sarah bangkit dari tempat duduknya dan berjalan menuju balkon. Melihat suasana sekitar rumah yang tampak damai dan tentram, walau tak setentram hatinya sekarang.
"Hah ... sayangnya waktu tak bisa di ulang," desah Sarah berat.
****
Di kediaman Adam Jeni.
Adam tengah duduk melamun di kursi teras rumahnya, pikirannya terus saja melayang pada pria tua yang mengaku sebagai ayah kandungnya itu. Cerita yang dia katakan sangat masuk akal, mengingat pemilik panti pun menceritakan hal yang sama padanya dulu.
Namun, yang masih mengganjal di benak Adam adalah ... kenapa baru sekarang ayahnya datang kembali menjemputnya? Bukankah itu terlalu lama untuk alasan menyelesaikan perang bisnis?. Adam yang sejak kecil di besarkan dalam dunia anak-anak yang sederhana dan tak pernah di paksa memikirkan hal berat, kini menjadi tak mengerti mengapa semua ini bisa terjadi.
"Hah ... apa yang harus aku lakukan Ya Allah?" desis Adam bingung.
Di satu sisi dia senang kalau pada akhirnya pria tua itu memang benar ayahnya, tapi di sisi lain ada kehidupan yang tak bisa begitu saja dia tinggalkan sekarang. Dia punya tanggung jawab, walau Jeni membencinya tapi tetap saja dia masih istrinya, dan masih berada dalam tanggung jawabnya.
"Melamun aja kerjanya," sindir Jeni sembari duduk tak jauh dari Adam, di tangannya ada sebungkus ciki yang sempat dia bawa dari rumah Sarah sebelumnya.
"Kan semua kerjaan Abang sudah beres , Jen. Duduk sebentar apa salahnya?" sahut Adam tak terpengaruh.
"Kamu nggak marah, Bang?" celetuk Jeni tiba-tiba, karena mengingat pertengkaran mereka sebelumnya walau sebenarnya hanya Jeni yang kebablasan marah-marahnya.
Adam milirik Jeni sekilas, lalu kembali ke lamunannya lagi. "Tidak, marah untuk apa?"
Dahi Jeni mngernyit. "Kok jadi formal begitu? Lagi pula kamu aneh deh, Bang. Biasanya suami itu kalo di bentak sama istrinya pasti dia marah, bisa-bisanya kamu malah bersikap kayak nggak terjadi apa-apa begini? Kamu normal kan, Bang?"
Adam mendesah dan memutar posisi menghadap Jeni. "Jadi Abang harus gimana, Jen? Abang nggak biasa marah-marah, buang-buang tenaga ... lagi pula dengan Abang diam kan pertengkarannya nggak bakal panjang. Kayak sekarang gini ... kita kaya yang baik-baik aja kan? Padahal sebelumnya Abang sudah minta kamu pikirkan mau bercerai atau nggak?"
Jleb
Hati Jeni serasa tertusuk, selama ini bahkan Adam tak pernah sekalipun membahas cerai padanya. Namun hanya dengan sekali ucapannya siang tadi bisa membuat Adam membulatkan tekad jika Jeni menginginkan bercerai darinya.
Jeni bangkit dari duduknya dengan wajah pongah. "Aku pikir-pikir lagi deh."
Ego Jeni bahkan terlalu tinggi hanya untuk mengakui kalau dia masih membutuhkan Adam sebagai tulang punggungnya dan juga kedua orang tuanya. Jeni melangkahkan kaki menuju kamar dan menutup pintunya rapat-rapat.
"Hah, andai saja sekarang aku udh jadi istrinya Mas Bima. Dan dia udah bisa menguasai semua harta warisan istrinya yang culun itu, pasti sekarang aku nggak perlu bergantung sama Bang Adam terus begini. Pasti hidup aku bakalan bahagia banget kalo nikahnya sama Mas Bima. Duh kapan ya semua itu kejadiannya?" gumam Jeni sambil naik ke pembaringan dan menutupi seluruh tubuhnya dengan selimut tebal.
Sedangkan Adam yang masih tetap di posisinya kembali terpikirkan akan ucapan pria tua di kedainya tadi.
"Hah ... kalau nanti aku bercerai dengan Jeni dan kembali ke rumah orang tua kandungku. Apa nasibku akan berubah? Apa Jeni bakalan menyesal bercerai dari aku?"
Pikiran Adam terus melayang, pada kemungkinan-kemungkinan yang bisa saja terjadi dalam waktu-waktu ke depan.
****
Pagi menyambut, embun dan kabut masih menghiasi bumi saat Adam keluar dari rumahnya dengan seember cucian yang siap di jemur.
"Bismillah," gumam Adam mengangkat ember cucian itu ke tempat jemurnya.
"Ya ampun, Bang Adam. Pagi-pagi buta begini udah beresan nyuci, duh suami idaman banget sih, Bang? Jadi pengen punya satu deh, eh. Soalnya suami saya aja masih ngorok tuh di rumah, boro-boro mau bantu-bantu, tidur aja masih harus di pok-pokin," celetuk salah satu tetangga Adam yang adalah seorang ibu muda yang baru mempunyai satu anak balita.
Adam mengangguk dan tersenyum ramah. "Iya, Bu. Udah kebiasaan di panti dulu soalnya."
"Duh, Bang. Beruntung banget sebenarnya si Jeni itu dapet suami kayak kamu. Udah rajin, penyabar, nggak neko-neko, bisa-bisanya yang modelan begini malah di ajak berantem tiap hari. Gak tau aja dia kalo Bang Adam sampe cerai dari dia yang ngantri buat dapetin Bang Adam lagi itu pasti udah kayak penonton konsernya blekping," ujar si ibu-ibu menggebu-gebu.
"Ah, Ibu bisa aja. Ya udah saya pamit masuk dulu ya, Bu. Mau nyiapin dagangan soalnya," pamit Adam sambil membawa ember cuciannya yang sudah kosong.
Saat menaiki teras Adam melihat sudut lantai terasnya tampak berdebu, jadi dengan cekatan dia mengambil pel dan mulai membersihkannya.
"Kang Adam," sapa seorang gadis manis yang Adam kenal sebagai anak kepala desa di tempat tinggalnya. Gadis berjilbab itu tampak tersipu saat Adam balas menatapnya dan tersenyum.
"Eh, Neng Euis."
Gadis yang di panggil Euis itu hanya menunduk malu dan bergegas menjauh dengan wajah merah padam.
"Wah enaknya, pagi-pagi udah tebar pesona," sindir Jeni yang sangat tumben sekali sudah bangun sepagi itu.
Jeni duduk di kursi teras sedangkan Adam hanya diam tak menanggapi sindirannya.
Adam masuk ke dalam rumah, dan tak berapa lama keluar kembali membawa sebuah termos besar berisi bahan jualannya.
"Abang berangkat dulu," ucapnya datar sambil membawa termos itu ke motor bututnya yang terparkir di halaman.
Jeni hanya mengangkat sebelah alisnya acuh.
****
Sesampainya di tempatnya biasa berjualan Adam gegas menurunkan termos dan mulai bersiap membuat gerai nasi gorengnya, saat tiba-tiba seseorang menepuk pundaknya perlahan.
"Bang!"
Adam terjingkat dan langsung berbalik. "Eh, Eneng rupanya."
Senyum manis Sarah terkembang dan mengangguk samar.
"Tumben pagi-pagi udah di sini, Neng?" tanya Adam sambil tetap sibuk mengurus gerobaknya, membersihkannya agar tampak higienis di mata pelanggan.
"Saya ... mau belajar masak nasi gorengnya boleh, Bang? Janji deh nggak saya sebarin ke siapa-siapa dan nggak bakal buka gerai juga," canda Sarah mengangkat kedua jari telunjuk dan jari tengahnya.
Adam tergelak. "Ya kenapa atuh memangnya kalo mau buka gerai sendiri? Ya silahkan saja, saya mah nggak melarang. Kalo mau belajar hayuk lah saya ajarin."
"Kalau begitu, Abang nggak perlu jualan hari ini ya. Semua dagangan Abang saya borong, kita belajar di rumah saya."