Ryan merasa istrinya berubah setelah kepulangannya dari luar kota. Diana yang biasanya pendiam dan lugu, kini dia berubah menjadi sosok yang sedikit berani.
Ryan tidak tahu bahwa istrinya yang sesungguhnya telah meninggal dunia, di bunuh orang tuanya sendiri.
Lantas siapa sosok Diana palsu yang sengaja masuk ke dalam kehidupan Ryan? Dan apakah tujuannya berpura-pura menjadi istrinya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon meliani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Dicari-cari Kesalahannya
Dengan sangat berat hati, Ryan meninggalkan pekerjaannya yang masih mentah itu untuk segera pulang ke rumah. Namun pada saat ia sampai di depan lobby, Ryan dikejutkan dengan kedatangan seseorang perempuan yang sangat dia cintai. Yaitu wanita yang dia anggap Diana. Perempuan itu sedang berada di depan meja resepsionis dan menanyakan di mana ruangannya.
“Apa sebelumnya Ibu sudah ada janji dengan beliau?” tanya Sang Resepsionis. “Kalau belum ada janji tidak bisa Ibu. Beliau tidak akan bersedia menemui tamu secara mendadak. Sebab beliau sangat sibuk dan biasanya tidak mau diganggu.”
“Emangnya perlu, ya? Buat janji dulu kalau aku mau ketemu suamiku?” tanya perempuan itu terlihat berani dan percaya diri.
Membuat Ryan yang melihatnya dari jauh merasa heran sekaligus bangga terhadap istrinya yang sekarang. Diana yang sekarang sangat menantang baginya. Tak mudah ditindas, cekatan dan cerdik tentunya.
Aneh memang. Padahal dulunya Ryan lebih menyukai perempuan yang kalem. Ternyata sekarang, dia juga menyukai karakter ini. Apakah tergantung orangnya seperti apa?
“Suami?” ulang Sang Resepsionis seolah tak percaya.
“Apa perlu aku teleponin suamiku sekarang? Hmmm?” Diara menghubungi Ryan sebagai pembuktian. Dan alangkah terkejutnya, dia mendengar dering ponsel milik Ryan semakin dekat.
“Loh, Mas? Kamu di sini?” dia membelalak pada saat Ryan mendekat dan merangkulnya. Membuat seorang wanita yang berstatus sebagai resepsionis yang ada di sini pun ketar-ketir.
“Ya, tadinya aku mau pulang karena Ibu meneleponku. Eh, malah ketemu kamu di sini,” jawab Ryan.
Waw, wanita ular itu meneleponnya? Hmm, sudah kuduga. Pasti dia ngadu yang nggak-enggak tentang aku. Dia pikir aku bodoh apa? Aku udah punya siasatnya sebelum bertindak, wahai wanita Ular!
“Ada apa? Tumben nyusul, biasanya nggak pernah,” tanya Ryan lagi.
“Kangen sama suamiku, lah.”
Ryan tersenyum. Senang sekali dikangenin sama istrinya. Keduanya berangkulan untuk menjauhi tempat tersebut. Diara menyempatkan diri untuk menoleh ke perempuan tadi. Dia pun juga tersenyum puas. Gimana sudah percaya kan, sekarang? Batinnya.
“Kamu makin seger kelihatannya. Bikin aku pengin,” bisik Ryan saat mereka masuk ke dalam mobil.
“Eh, iyakah? Aku makin cantik?”
“Iya, kulitmu terlihat lebih cerah dan segar. Mungkin karena perawatan yang baru saja kamu lakukan.”
“Makanya aku lama di salon, kan? Belum lagi belanja ini,” Diara menunjukkan paper bag nya. “Aku tadi sempet ke supermarket. Biasalah, beli keperluan cewek. Ada deodoran, pelembab, lotion, dan lain-lain.”
Ryan mengangguk tanda pria itu percaya pada setiap kata-katanya.
Lihatlah wanita ular, aduanmu tak akan mempan merobohkanku karena apa? Karena aku lebih licik darimu. Kita lihat, siapa yang menang setelah ini. Bukankah kamu tahu, kejahatan selamanya tak akan menang?
Sesampainya di rumah, Ryan dan Diara mendapati Nurul berada di ambang pintu. Raut wajahnya tampak terkejut sekaligus heran pada saat melihat bersama siapa putranya pulang. Sangat kentara meskipun wanita itu segera mengubah ekspresinya menjadi datar.
“Assalamualaikum,” ucap keduanya bersamaan.
“Waalaikumsalam,” jawab wanita itu terdengar dingin.
“Bu, Diana lama karena dia ternyata menyusulku ke sana. Katanya kangen,” ujar Ryan tersenyum memberikan laporan karena dia paham, ibunya butuh penjelasan.
Sambil melirik ke paper bag yang ada di tangan Diara, Nurul mengatakan, “Ngapain sih, ke salon-salon sama belanja segala. Jadi orang itu harus hemat. Jangan pemborosan! Iya sekarang suamimu lagi maju, kita kan nggak tahu ke depannya Ryan mau gimana. Roda kehidupan itu berputar. Bisa aja nanti gantian kita yang di bawah. Jadi harus irit, biar kalau ada apa-apa kita punya simpanan.”
Diara menghela napas. Terus saja dicari-cari kesalahannya ya, ampun. Pengen banget lihat orang lain jatuh. Beginilah kalau orang udah dengki. Semua yang dilihatnya nampak taik.
“Berapa sih, biaya ke salon, Bu? Paling nggak nyampe sejuta pun. Aku ikhlas memberikannya karena memang sudah kewajibanku untuk memberikannya nafkah. Dan nafkah itu bukan hanya mencukupi kebutuhan rumah tangga saja, tapi ada dua hal lain yang harus aku penuhi, yaitu kebutuhan istri dan kebutuhan batin. Kebutuhan istri ya, itu tadi. Untuk merawat dirinya sendiri.”
“Alah! Pake gitu-gitu segala. Orang kampung mah, yang penting perut kenyang.”
“Nggak pantas Ibu bilang begitu,” sahut Ryan sangat marah setelah mendapat jawaban seperti itu. Benar-benar wanita yang tak berperasaan.
Diara terdiam. Sebegitu tersiksanya menjadi Diana selama ini memiliki mertua yang demikian nyinyirnya. Tetapi hebatnya—Diana tak pernah mengeluh atau menunjukkan dirinya bahwa dia terluka. Di mata keluarga, selama ini gadis itu terlihat baik-baik saja dan selalu mengatakan bahwa mertuanya adalah wanita paling baik di dunia. Cih, paling keji di dunia mah, iya.
Apa mungkin lantaran takut di olok-olok keluarga karena salah dalam memilih membuat Diana lantas diam?
Apa dia tak paham, apa yang akan menjadi konsekuensinya nanti?
Dan sekarang, bukankah semuanya sudah terbukti?