--- **“Luna adalah anak angkat dari sebuah keluarga dermawan yang cukup terkenal di London. Meskipun hidup bersama keluarga kaya, Luna tetap harus bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidup dan biaya sekolahnya sendiri. Ia memiliki kakak perempuan angkat bernama Bella, seorang artis internasional yang sedang menjalin hubungan dengan seorang pebisnis ternama. Suatu hari, tanpa diduga, Luna justru dijadikan *istri sementara* bagi kekasih Bella. Akankah Luna menemukan kebahagiaannya di tengah situasi yang rumit itu?”**
--- Cerita ini Murni karya Author tanpa Plagiat🌻 cerita ini hanya rekayasa tidak mengandung unsur kisah nyata🌻
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon flower, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 15 Cemburu
Skip waktu.
Malam hari, Bryan ternyata pulang sangat larut hingga membuat Luna tertidur di sofa karena menunggunya pulang. Bryan melangkahkan kakinya memasuki kamar dan melihat istrinya sudah tertidur. Ada rasa bersalah yang langsung menyelimuti hatinya.
Dengan perlahan, Bryan mendekati sofa dan berjongkok di samping Luna. Ia memperhatikan wajah istrinya yang tampak kelelahan, seolah menegaskan betapa lamanya Luna menunggu. Tanpa suara, Bryan meraih selimut tipis dan menutupkan ke tubuh Luna agar tidak kedinginan.
“Mia Cara… seharusnya kau tidak menungguku,” ucapnya pelan, meski tahu Luna tak akan mendengar.
Bryan kemudian mengangkat Luna dengan hati-hati, berusaha agar tidak membangunkannya, lalu membawanya ke tempat tidur. Setelah meletakkannya perlahan, ia menatap Luna selama beberapa detik campuran rasa sayang dan penyesalan memenuhi pikirannya.
Ia menghela napas pelan sebelum akhirnya duduk di sisi ranjang, menatap langit-langit. Hari yang panjang itu berakhir dengan satu kesadaran, Luna selalu menepati janjinya, sementara ia sering pulang terlambat. Bryan mengusap kening Luna sebagai permintaan maaf yang tak terucap, lalu berbaring di sebelahnya, membiarkan kehangatan kehadiran istrinya meredakan lelahnya.
.
.
.
.
.
keesokan paginya, cahaya matahari perlahan menembus tirai kamar. Luna bergerak kecil, matanya perlahan terbuka. Ia sedikit terkejut saat menyadari dirinya sudah berada di atas tempat tidur, bukan di sofa tempat ia menunggu semalam.
Luna menoleh dan mendapati Bryan masih tertidur di sebelahnya, wajahnya menunjukkan kelelahan yang belum sepenuhnya hilang. Melihat itu, Luna hanya bisa mengembuskan napas pelan, ia tahu suaminya pasti bekerja keras hingga larut. Ketika Luna hendak bangun, Bryan menggeliat kecil dan membuka mata. Pandangannya langsung tertuju pada istrinya.
“Kau sudah bangun, Mia Cara?” tanyanya dengan suara serak khas orang yang baru membuka mata. Luna tersenyum tipis. “Iya. Mio Caro memindahkanku ke tempat tidur, ya?”
Bryan mengangguk pelan, terlihat sedikit bersalah. “Kau tertidur saat menungguku. Maaf sudah membuatmu menunggu lama.” Luna hanya menggeleng lembut. “Tidak apa-apa. Yang penting Mio Caro pulang dengan selamat.”
Ucapan itu membuat Bryan terdiam sejenak, dadanya terasa hangat oleh perhatian sederhana sang istri. Ia bangun dan duduk di tepi ranjang. “Aku akan berusaha pulang lebih cepat hari ini,” ucap Bryan, lebih seperti janji pada dirinya sendiri.
Luna tersenyum, kemudian bangkit menuju kamar mandi untuk bersiap. Bryan memandang punggung istrinya yang menjauh, dan untuk pertama kalinya sejak beberapa hari terakhir, ia merasakan ketenangan yang tidak dibuat-buat.
Setelah beberapa jam berlalu, Luna sudah bersiap untuk pergi ke kampus. Ia mengenakan pakaian rapi, tas selempang sudah berada di bahunya, dan rambutnya ia ikat sederhana. Sementara itu, Bryan baru selesai mandi dan masih mengenakan piyama, rambutnya sedikit basah dan menetes di ujung.
Bryan keluar dari kamar mandi dan mendapati Luna sedang memeriksa jadwal kuliahnya di ponsel. Ia mengangkat alis pelan. “Mia Cara, kau sudah siap berangkat?” Luna menoleh dan tersenyum kecil. “Iya, Mio Caro. Jadwalku pagi ini cukup padat.”
Bryan mendekat sambil mengeringkan rambutnya dengan handuk. “Kau sempat sarapan?”Luna mengangguk pelan. “Sudah. Aku tidak ingin terlambat.”
Bryan terlihat hendak mengatakan sesuatu, tapi terhenti sejenak. Dengan suara sedikit pelan ia berkata, “Kalau begitu biarkan aku mengantarmu.” Luna sedikit terkejut melihat Bryan yang masih memakai piyama. “Tapi… Mio Caro aku pergi bersama Lisa"
Langkah Bryan langsung terhenti. Ia menoleh perlahan, namun kali ini tatapannya tidak lagi lembut. Alisnya sedikit mengerut, dan rahangnya menegang tanda jelas ia tidak menyukai apa yang baru saja didengarnya.
“Dengan sahabatmu?” ulang Bryan, suaranya tetap tenang tetapi dingin, berbeda dari biasanya. Luna menelan ludah, merasa sedikit tertekan. “Iya… dia sudah menjemput di bawah. Kami memang—”
“Kau menunggu aku semalam,” potong Bryan tajam, “tapi hari ini kau pergi dengan orang lain?” Nada bicaranya tidak keras, tetapi cukup untuk membuat Luna menunduk. Bryan menghela napas panjang, namun bukannya mereda, ia justru terlihat semakin kesal. Ia meletakkan kunci mobil ke meja dengan sedikit lebih keras dari biasanya.
“Aku pulang larut, dan kau tetap menunggu. Tapi saat aku ingin mengantarmu, kau memilih orang lain? Bahkan tanpa memberitahuku lebih dulu?” Luna menggenggam tali tasnya erat-erat. “M-maaf… aku tidak bermaksud—”
“Tidak bermaksud?” Bryan menatapnya dengan mata yang tajam namun penuh kekecewaan. “Aku suamimu, Luna. Hal sederhana seperti ini seharusnya kau sampaikan.”
Suasana menjadi hening. Luna ingin menjelaskan, tetapi kata-kata terasa sulit keluar. Bryan akhirnya mengalihkan pandangannya, mencoba menahan emosinya, tetapi suaranya tetap terdengar marah dan terkontrol. “Pergilah. Jangan membuat sahabatmu menunggu.” Luna terdiam, hatinya terasa berat. Luna kemudian melangkah menuju pintu tanpa berani menatap Bryan lagi.
Saat pintu tertutup, Bryan masih berdiri di tempat yang sama. bahunya naik turun pelan, menahan amarah dan rasa cemburu. Ia mengusap wajahnya keras, lalu berkata lirih pada dirinya sendiri,
“Kenapa harus seperti ini di pagi hari…”
Ia berjalan menuju jendela besar ruangannya, menatap kota yang mulai ramai. Namun pikirannya jauh dari pemandangan itu. Ia justru memikirkan Luna. cara Luna menunduk, cara bahunya tampak menegang, dan cara ia menghindari tatapannya. Bryan meremas jemari tangannya. "Seharusnya aku tidak meninggikan suaraku...."
****
Di atas motor, angin pagi menerpa wajah mereka. Biasanya Luna selalu berceloteh ringan setiap kali dibonceng Lisa, namun hari ini ia hanya diam, memeluk tasnya sambil menatap lurus ke depan. Lisa, yang menyetir motor dengan kecepatan stabil, sesekali melirik melalui spion kecil di helmnya. Ekspresi Luna terlihat lesu.
“Lu kenapa?” tanya Lisa akhirnya, suaranya tercampur dengan hembusan angin. Luna menggeleng pelan. “Nggak apa-apa.”
Jawaban itu terdengar terlalu cepat, terlalu ringan untuk dianggap benar. Lisa menautkan alis. Ia sudah cukup lama mengenal Luna untuk tahu kapan sahabatnya sedang menutupi sesuatu. Cara Luna menundukkan kepala, cara bahunya sedikit menegang—semua itu tanda yang jelas. Mereka berhenti sejenak di lampu merah. Lisa menoleh sedikit. “Lu yakin nggak apa-apa? Muka lu murung banget dari tadi.”
Luna menghela napas pelan, suaranya hampir tenggelam oleh suara kendaraan lain. Ia tidak ingin Lisa tahu bahwa pikirannya masih tertinggal pada suaminya yang tiba-tiba marah. Ia sendiri belum mengerti reaksi Bryan. Kenapa dia harus marah? Lisa adalah sahabatnya sejak lama, seorang perempuan pula, bukan seseorang yang perlu dicurigai. °Kenapa dia marah seakan aku pergi dengan laki-laki lain…?°
Ia tidak menemukan jawabannya. “Beneran nggak apa-apa, Lis. Aku cuma… mikir aja.” Luna berusaha tersenyum, meski hanya terlihat samar di balik kaca helm.
Lisa meliriknya sekali lagi sebelum lampu berubah hijau. Ia tidak percaya, tapi ia juga tahu kapan harus memberi ruang. “Ya udah. Tapi kalo nanti mau cerita, bilang ke gue. Jangan dipendem sendirian.” Motor kembali melaju. Udara terasa lebih dingin daripada biasanya, atau mungkin itu hanya perasaan Luna.
Di sepanjang perjalanan, Luna menatap jalanan tanpa fokus. Pikirannya kembali ke penthouse, ke cara Bryan menahan amarahnya, ke kata-kata singkat yang terasa menusuk. Setiap suara mesin motor justru mengingatkannya pada bisikan hatinya s
endiri °Kenapa aku merasa bersalah… padahal aku nggak salah apa-apa° batin Luna.
.
.
.
.
🌻🌻🌻🌻🌻