Di pinggiran hutan Jawa yang pekat, terdapat sebuah desa yang tidak pernah muncul dalam peta digital mana pun. Desa Sukomati adalah tempat di mana kematian menjadi industri, tempat di mana setiap helai kain putih dijahit dengan rambut manusia dan tetesan darah sebagai pengikat sukma.
Aris, seorang pemuda kota yang skeptis, pulang hanya untuk mengubur ibunya dengan layak. Namun, ia justru menemukan kenyataan bahwa sang ibu meninggal dalam keadaan bibir terjahit rapat oleh benang hitam yang masih berdenyut.
Kini, Aris terjebak dalam sebuah kompetisi berdarah untuk menjadi Penjahit Agung berikutnya atau kulitnya sendiri akan dijadikan bahan kain kafan. Setiap tusukan jarum di desa ini adalah nyawa, dan setiap motif yang terbentuk adalah kutukan yang tidak bisa dibatalkan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mrs. Fmz, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 17: Tarian Arwah di Halaman Rumah
"Terima kasih telah membebaskan kami, sekarang giliranmu untuk menari di halaman rumah bersama para arwah," bisik suara wanita itu dengan lembut. Aris Mardian tersedak oleh debu reruntuhan saat tanah di sekelilingnya mendadak amblas, melemparkan tubuhnya keluar dari perut bumi menuju hamparan rumput yang basah. Ia mendarat dengan keras di halaman depan rumah tuanya, sementara langit di atas desa tampak berubah menjadi ungu pekat yang mengerikan.
"Sekar! Kamu di mana? Jawab aku!" teriak Aris sambil meraba tanah di sekitarnya yang terasa dingin dan licin.
"Aku di belakangmu, Aris, tapi jangan berbalik dulu sebelum kamu menutup mata!" sahut Sekar Wangi dengan suara yang bergetar hebat karena ketakutan.
Aris mengabaikan peringatan itu dan segera memutar tubuhnya, namun ia langsung mematung melihat pemandangan di halaman rumah tersebut. Puluhan sosok bayangan putih yang terbungkus kain kafan berlumuran tanah tampak berjejer rapi, membentuk lingkaran besar yang mengelilingi mereka berdua. Kaki-kaki tanpa raga itu tidak menyentuh tanah, melainkan melayang rendah sambil melakukan gerakan berputar yang kaku dan serempak.
"Apa yang mereka lakukan, Sekar? Mengapa mereka bergerak mengikuti irama denyut jantungku?" tanya Aris dengan napas yang memburu.
"Ini adalah tarian penjemputan, mereka sedang menjahit takdir kita agar menyatu dengan tanah makam ini," jawab Sekar sambil memegang erat belati peraknya.
Suara gesekan kain mori yang tertiup angin terdengar seperti bisikan ribuan mulut yang sedang meratapi nasib buruk mereka di alam baka. Aris melihat salah satu sosok arwah itu mendekat, memperlihatkan wajah yang tertutup jahitan kasar dengan benang merah yang masih meneteskan darah segar. Sosok itu mengulurkan tangan yang hanya terdiri dari tulang belulang putih, memaksa Aris untuk ikut dalam lingkaran tarian yang terkutuk itu.
"Jangan biarkan tangan itu menyentuh kulitmu, atau jiwamu akan terjahit selamanya di halaman ini!" teriak Sekar sambil melemparkan serbuk melati kering.
"Tapi tubuhku tidak bisa digerakkan, Sekar! Rasanya ada ribuan jarum gaib yang memaku kakiku ke tanah!" balas Aris dengan mata yang melotot karena panik.
Sebagai seorang perancang bangunan, Aris mencoba mencari celah dalam formasi tarian yang melingkar itu untuk menemukan jalur pelarian yang aman. Ia menyadari bahwa setiap gerakan arwah tersebut mengikuti pola geometri yang sama dengan denah rumah tuanya yang sudah terkontaminasi sihir jahat. Aris melihat bahwa titik pusat dari tarian ini bukanlah pada mereka, melainkan pada sebuah pohon kamboja tua yang tumbuh di pojok halaman.
"Sekar, pusat kekuatannya ada di pohon kamboja itu! Kita harus memutus akar yang menjalar di bawah kaki para arwah ini!" seru Aris sambil menunjuk ke arah pohon.
"Aku akan mengalihkan perhatian mereka, kamu lari dan tancapkan jarum emas itu ke batang pohonnya!" jawab Sekar dengan penuh tekad.
Sekar mulai merapal mantra pelindung sambil berlari ke arah yang berlawanan, menarik perhatian beberapa arwah agar mengejarnya ke arah pagar besi. Aris mengambil kesempatan itu untuk merangkak menuju pohon kamboja, meskipun rasa sakit di tanda merah tangannya semakin menjadi-jadi dan menyiksa batinnya. Setiap kali ia bergerak, tanah di bawahnya seolah-olah mencoba menghisap telapak tangannya masuk ke dalam lubang yang penuh dengan ulat sutra.
"Kembalilah ke dalam pelukan tanah, wahai keturunan yang telah merusak segel kami!" suara geraman terdengar dari arah batang pohon kamboja.
"Aku tidak akan membiarkan kalian mengambil nyawaku untuk menebus dosa yang tidak pernah aku perbuat!" teriak Aris sambil menghujamkan jarum emas ke kulit pohon.
Seketika itu juga, pohon kamboja tersebut mengeluarkan teriakan melengking yang menyerupai jeritan manusia yang sedang dikuliti hidup-hidup secara perlahan. Cairan merah kental menyembur keluar dari lubang tusukan jarum, membasahi seluruh tubuh Aris hingga ia merasa sangat lengket dan berbau anyir. Lingkaran arwah yang sedang menari mendadak pecah, dan sosok-sosok putih itu mulai terbakar oleh api biru yang muncul dari dalam tanah.
"Aris, cepat menjauh dari pohon itu! Tanahnya mulai runtuh kembali!" jerit Sekar dari kejauhan sambil mencoba menghindari kobaran api.
Aris mencoba menarik jarum emasnya kembali, namun tangannya justru tersedot masuk ke dalam batang pohon yang kini terasa lunak seperti daging busuk. Ia melihat wajah ibunya muncul sejenak di balik kulit pohon, memberikan tatapan penuh permohonan sebelum akhirnya menghilang ditelan oleh kegelapan kayu. Aris berteriak kesakitan saat merasakan tulang lengannya mulai berderak akibat tekanan dari dalam batang pohon kamboja yang sedang menutup itu.
"Lepaskan aku! Ibu, tolong lepaskan tangan anakmu ini!" ratap Aris dengan sisa kekuatan yang ia miliki.
Tiba-tiba, sebuah suara guntur yang sangat keras menggelegar di langit, diikuti oleh jatuhnya sumpah yang diucapkan oleh suara kakek buyutnya dari balik awan. Seluruh halaman rumah itu mendadak sunyi, dan api biru yang membakar arwah menghilang secara seketika meninggalkan bau belerang yang sangat tajam. Aris berhasil menarik tangannya keluar, namun ia mendapati bahwa jarum emas itu kini telah menyatu dengan tulang pergelangan tangannya secara permanen.
"Takdirmu sudah terkunci, Aris, sekarang kamu harus bersiap untuk mengucapkan sumpah di atas darah ibu," bisik suara gaib yang bergema di telinganya.
Sekar berlari menghampiri Aris yang sedang terduduk lemas dengan pergelangan tangan yang mengeluarkan cahaya keemasan redup di balik kulitnya. Mereka melihat ke arah pintu masuk rumah tua itu, di mana kini telah berdiri sesosok pria tinggi dengan gunting berkarat yang sangat besar. Pria itu menatap mereka dengan pandangan yang penuh dengan amarah yang meluap-luap seolah-olah ingin mencacah nyawa mereka menjadi potongan kain kafan.
Pria itu menatap mereka dengan pandangan yang penuh dengan amarah yang meluap-luap seolah-olah ingin mencacah nyawa mereka menjadi potongan kain kafan.