Seharusnya di bulan Juni, Arum tidak menampakkan dirinya demi mendapatkan kebahagiaan bersama seseorang yang di yakini bisa mengubah segala hidupnya menjadi lebih baik lagi. Nyatanya, sebelah sayapnya patah. Bukan lagi karena hujan yang terus mengguyurnya.
Sungguh, ia begitu tinggi untuk terbang, begitu jauh untuk menyentuhnya. Dan, begitu rapuh untuk memilikinya...
Langit.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Essa Amalia Khairina, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
KEHANGATAN SATU MALAM
Setelah mereka tiba di rumah Arum, Langit tak serta-merta pamit pulang. Hujan yang baru saja mereka terjang meninggalkan jejak dingin di tubuh mereka—baju yang melekat basah kuyup, rambut mereka pun masih basah.
Berbeda dengan Langit. Kulit Arum pucat menahan gemetar. Ia menggigil, kedua lengannya saling memeluk seiring napasnya yang bergetar tipis.
"Kamu masih merasa kedinginan?" Tanya Langit menangkap getaran itu, tatapannya tertahan sesaat, lalu ia melangkah lebih dekat, memastikan Arum tak semakin disergap dingin yang menyelinap hingga ke tulang. "Kita masuk ke rumah kamu sekarang, ya."
Arum hanya mengangguk pelan. Ia meraih tasnya, jemarinya lalu merogoh ke dalam hingga menemukan sebuah kunci rumah. Dengan tangan yang masih sedikit bergetar, Arum membuka pintu. Engselnya berderit lirih, membiarkan udara hangat dari dalam menyambut mereka. Tanpa banyak kata, Langit pun ikut melangkah masuk, menutup pintu di belakang mereka, seolah mengurung sisa hujan dan dingin di luar.
"Kamu segera mandi air hangat dan ganti bajumu dengan yang hangat, ya." Ujar Langit dengan penuh perhatian. "Aku tunggu disini."
Arum tak menjawab. Ia hanya mengangguk tanpa suara sambil terus menggigit bibir bawahnya, menghalau hawa dingin yang semakin menusuk. Di saat yang sama, ia kemudian berbalik pergi meninggalkan Langit di ruang tamu tanpa permisi.
****
Sudah hampir dua puluh menit berlalu, namun Arum tak juga keluar dari kamarnya. Langit yang semula duduk menunggu, mulai gelisah. Perasaan cemas menyelinap, berbaur dengan kekhawatiran yang kian menebal seiring sunyi rumah itu. Ia pun beranjak dari kursi, langkahnya tertahan ragu sejenak sebelum akhirnya bergerak pelan menyusuri lorong.
Setiap tapak kakinya terasa diperlambat oleh pikirannya sendiri, hingga ia tiba di depan pintu kamar tempat Arum masuk tadi. Ia berdiri di sana, menatap daun pintu yang tertutup rapat, napasnya tertahan, seolah berharap mendengar sedikit saja suara dari baliknya.
Namun yang terdengar, hanya hening yang berkepanjangan.
"Sa-sayang..." Lirih suara Langit. Dengan ragu, lengannya terangkat, mengetuk pintu itu pelan. "Sayang?"
Hening, tak ada jawaban dari dalam.
"Arum?!" Nada Langit setengah meninggi. "Kamu dengar aku? Kalau dengar, jawablah. Apa kamu baik-baik saja di dalam?"
Sama sekali tak ada suara. Bunyi detak jam pun tak terdengar. Wajah langit mulai pucat, bukan karena dingin yang menyergap, tapi juga kekalutan yang membuat seluruh tubuhnya berkeringat dingin.
Lengan yang menggantung di papan pintu, kini menurun. Ia meraih gagang pintu lalu menggoyangkannya ke bawah. Di saat itu juga, ia menyadari bahwa pintu itu tak terkunci.
"Arum?" Sahut Langit lagi. Tanpa sadar dan oleh dorongan cemas, langkahnya mulai masuk ke dalam kamar kekasihnya itu.
Di tepi ranjang, Arum duduk meringkuk dalam balutan selimut tebal. Tubuhnya bergetar halus namun terus-menerus, seakan dingin itu merayap dari ujung kaki hingga ke tulang. Bibirnya pucat—nyaris membiru—terkatup rapat menahan gemetar, sementara napasnya keluar masuk pendek dan tak beraturan. Rambutnya masih lembap, menempel di pelipis dan leher, menegaskan rapuhnya tubuh itu dalam keheningan kamar yang redup.
"Arum!" Sontak, Langit mendekat. Tanpa ragu, ia duduk di sebelah Arum.
"Di-dingin, Mas..." Lirih Arum menggigit bibir bawahnya yang nampak membiru.
Langit menelan saliva. "Sa-sayang... kamu tunggu. A-Aku akan segera kembali!"
"Mas..."
Langit segera beranjak dari duduknya. Kepanikan yang berusaha ia sembunyikan membuat langkahnya terasa tergesa, nyaris tersandung di ambang pintu saat ia menuju dapur. Ruangan itu sunyi dan dingin, hanya lampu redup yang menyala di atas meja. Tangannya bergetar ketika ia membuka lemari, menggeser perabot tanpa benar-benar ia perhatikan, hingga menemukan sebuah wadah besar. Tanpa ragu, ia mengisinya dengan air, suara guyurannya terdengar lebih keras dari biasanya, seolah menyalurkan kegelisahan di dadanya.
Belum cukup, Langit meraih sebuah teko. Jemarinya kaku saat memutar keran kembali, mengisi teko itu sampai penuh. Beberapa tetes air tumpah ke lantai, namun ia tak peduli. Napasnya memburu, pikirannya berpacu pada satu hal saja—Arum.
Dengan kedua wadah di tangan, Langit berdiri sesaat, menarik napas dalam untuk menahan gemetar di dadanya. Lalu ia melangkah cepat menuju kompor. Wadah besar ia letakkan lebih dulu di atas tungku, disusul teko yang beradu pelan dengan permukaan besi. Jemarinya bergerak tergesa—memutar kenop kompor hingga nyala api menyembur biru, terlalu besar sebelum buru-buru ia kecilkan. Di tengah kepanikan itu, Langit terus melirik ke arah lorong kamar, seakan jarak beberapa langkah saja terasa begitu jauh, sementara air perlahan dipanaskan oleh api yang berdesis cemas.
Langit masih berusaha menenangkan diri sebelum akhirnya ia mematikan kedua kompor itu lalu kembali sambil membawa dia air hangat. Satu air matang untuk diminum Arum nanti, satunya lagi untuk menghangatkan tubuhnya di bawah kaki.
Ia kemudian kembali ke kamar Arum, bersimpuh di hadapan Arum dan mulai melakukan kedua cara itu dengan tangan yang tak lagi setenang sebelumnya. Namun setelah beberapa saat berlalu, dingin yang mencengkeram tubuh Arum tak juga mereda. Getarnya justru kian menjadi, menggila, seolah hawa dingin itu menolak pergi. Langit menatapnya dengan napas tercekat, dada terasa sesak oleh rasa tak berdaya.
“Apa yang harus aku lakukan…,” Gumamnya lirih pada diri sendiri, suaranya nyaris tenggelam oleh ketakutan yang merambat pelan.
Tanpa pikir panjang, Langit segera beranjak. Ia berpindah duduk di sisi Arum, gerakannya cepat namun tetap berhati-hati. Dengan wajah tegang dan napas yang masih tak teratur, kedua tangannya sigap membuka kemeja basah yang melekat di tubuhnya sendiri, disusul kaus yang dingin dan berat oleh air. Ia menyingkirkannya tanpa ragu, hanya menyisakan satu tujuan di benaknya—memberi kehangatan, apa pun caranya, sebelum tubuh Arum benar-benar menyerah pada dingin yang kian kejam.
Arum mendongak perlahan. Bola matanya yang berair bertemu dengan wajah Langit yang tegang, penuh kecemasan yang tak sempat ia sembunyikan. "Ma-Mas... A-apa yang kamu lakukan?"
"Peluk aku, sayang!" Kata Langit.
"A-Apa"
"Aku akan menstabilkan suhu tubuh kamu dengan suhu tubuhku. Semoga dengan cara ini berhasil." Jelas Langit, terselip harap dan kecemasan di antara kata-kata yang ia pilih dengan hati-hati.
Di balik pandangan itu, ada rasa kaget, bingung, sekaligus rapuh yang Arum rasakan—seakan ia baru menyadari betapa dekatnya Langit, betapa nyata kehangatan yang sedang ia butuhkan.
Tanpa menunggu tanggapan, Langit segera menarik tubuh Arum, hingga wanita itu jatuh ke dalam pelukannya.
Tak berhenti di situ, Langit menggesekkan jemarinya pada tubuh Arum, berusaha menghadirkan rasa hangat di sana.
Cukup lama mereka berpelukan. Dalam dekapan itu, Arum masih merasakan sisa-sisa dingin yang menggigit, namun perlahan muncul sesuatu Yang lain—kehangatan yang merambat pelan, halus, menyusup ke sela-sela gemetar tubuhnya. Bukan hanya dari kulit yang saling bersentuhan, melainkan dari detak jantung Langit yang stabil, dari napasnya yang hangat di dekat pelipis Arum. Sedikit demi sedikit, getar itu melemah, napas Arum mulai teratur, dan di tengah kelelahan serta rasa aman yang asing, tubuhnya belajar kembali merasa hangat dan stabil.
Langit kemudian melepaskan dekapannya. Matanya tanpa di duga begitu dekat dengan wajah Arum, nyaris tak ada jarak di antara mereka. Wajah Arum yang semula pucat, kini nampak memunculkan lagi warna aslinya.
Perlahan, aroma parfum Langit menyusup ke inderanya—hangat, lembut, dan menenangkan. Semakin dekat jarak di antara mereka, semakin lekat wangi itu mengelilingi Arum.
Kehangatan itu tak hanya meresap ke tubuhnya, tetapi juga ke perasaan yang membuatnya terbuai dalam rasa aman yang sulit ia jelaskan.
Langit semakin dekat ke arah Arum. Dekat yang membuat wajahnya turun ke bawah. Detik berikutnya, tanpa permisi, ia mulai melumat lembut bibir kekasihnya itu.
Awalnya ada keraguan yang membuat Arum menolak. Namun, sapuan hangat itu membuat kelopak matanya mulai terpejam, menikmati sensasi hangat yang kini mulai menjalar ke seluruh tubuhnya yang perlahan tersingkap oleh gerakan tangkas hingga kini, mereka sama-sama terbuka.
"Mas..." Lirih Arum.
Langit tak menanggapi. Ia mulai menuntun Arum untuk berbaring di atas ranjang. Geraknya lembut, penuh kehati-hatian. Mula-mula, Langit kembali melumat hangat bibir Arum hingga mengajak wanita itu hanyut ke dalam kenikmatan yang tak dapat mereka tolak.
Langit mulai berada di atas Arum. Bibirnya melepas ciuman itu, dan kini mulai menjelajahi setiap kulit mulus Arum tanpa sedikit pun yang terlewat.
"Mas..." Lirih Arum. Suara itu lolos dari bibirnya. Bukan tanda penolakan, ia justru mulai menikmatinya. Tubuhnya yang polos bahkan mengangkat ke arah Langit, seakan tak bisa menahan sesuatu yang semakin membuatnya terbuai di malam ini.
Sedetik berikutnya, dalam satu gerakan cepat, Langit menanggalkan seluruh pakaiannya hingga kini keduanya sama-sama bulat.
Langit menangkap pinggul Arum. Sesuatu yang membuatnya ingin bergerak di bagian bawah hingga keduanya menikmati gesekan lembut dan hangat itu.
Arum kembali memejamkan matanya, kemudian kembali menatap Langit yang ternyata sedari tadi mengunci gerak wajah dan reaksi tubuhnya. Refleks, jemari Arum meraih rahang Langit yang kini basah oleh keringat.
Langit semakin mempercepat gerakannya. Tanpa ingin menyakiti, namun perlahan membuat Arum seolah menahan kesakitan yang membuat air matanya berhasil merembas.
“Sebentar lagi… sayang, kamu akan menjadi milikku. Semua akan baik-baik saja,” Bisik Langit di dekat telinga Arum. "Percayalah..." Suaranya rendah, penuh kekhawatiran yang ditahan, seolah ia sedang menggenggam harapan terakhir agar kehangatan itu benar-benar bekerja.
“Ah—” Arum memekik lolos, ia terisak pelan. Ada sisa rasa perih yang tertinggal di tubuhnya, namun di sela-selanya muncul Kelegaan yang samar.
Ternyata, dingin itu belum sepenuhnya pergi, tetapi kini bercampur dengan rasa hangat yang perlahan tumbuh, membuatnya bertahan—dan tanpa sadar, ia mulai menerima dekapan itu sebagai tempat paling aman saat ini.
Detik berikutnya, Langit mempercepat gerakannya—bukan dengan tergesa, melainkan lebih pasti. Perlahan, Rasa perih yang sempat membuat Arum meringis berganti menjadi kehangatan yang menenangkan. Tubuhnya mulai merespons, tegangannya luruh sedikit demi sedikit, hingga yang tersisa hanyalah rasa lega yang samar, nikmat, dan nyata.
“Mas…” Desah Arum lirih. Matanya kini terangkat, menatap wajah Langit yang menegang—rahangnya mengeras, napasnya tertahan, seolah sedang menahan sesuatu yang bergolak di dalam dirinya.
“Ah…” Langit menghela tanpa sadar, kemudian. Campuran antara rasa lega dan getar yang tak ia pahami sebelumnya.
Sementara itu, dalam dekapan Langit, sesuatu membuat perut Arum terasa ikut menjalar hangat dan sesak oleh perasaan yang sulit ia uraikan—antara rasa aman dan terjaga.
****