Setelah menumbangkan Tuan Tua, James mengira semuanya sudah selesai. Namun, di akhir hidupnya, pria itu justru mengungkapkan kebenaran yang tak pernah James duga.
Dalang di balik runtuhnya keluarga James bukanlah Tuan Tua, melainkan Keluarga Brook yang asli.
Pengakuan itu mengubah arah perjalanan James. Ia sadar ada musuh yang lebih besar—dan lebih dekat—yang harus ia hadapi.
Belum sempat ia menggali lebih jauh, kemunculan lelaki tua secara tiba-tiba:
Edwin Carter, penguasa Pulau Scarlett yang ternyata adalah ayah kandung Sophie.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon BRAXX, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
LUNA WHITECLIFF
Kanvas ring bergetar saat Grim Reaper menghantam Angelo ke bawah dengan brutal.
Pria bertubuh besar itu menggeliat, erangan sakit meluncur dari tenggorokannya. James berjongkok.
Suara James pelan, “Lemah sekali. Aku pikir kau punya nyali. Tapi ternyata... kau hanyalah seorang pecundang. Sama seperti orang-orang yang kau kirim.”
Kerumunan condong ke depan, merasakan ketegangan namun tak mampu mendengar kata-katanya. Yang mereka lihat hanyalah bos mereka yang tak terkalahkan, gemetar di lantai.
Bibir Angelo bergetar. “Si-siapa kau...?”
James memiringkan kepalanya, “Huh? Kau sudah mencoba mengusik propertiku, dan bahkan kau tidak tahu siapa aku?”
Kesadaran menghantam wajah Angelo, matanya membelalak ketakutan. Ia meronta putus asa, mencoba bangkit. Namun sebelum itu terjadi, tangan James mencengkeram tenggorokannya, mengangkatnya dari lantai.
Atmosfer berubah—udara terasa berat, napas tertahan, kerumunan membisu. Semua mata terpaku pada pemandangan mengerikan Angelo yang menendang-nendang tak berdaya, menggantung di cengkeraman Reaper.
“Ampuni aku!” serak Angelo, urat-urat menonjol, ludah menyembur dari bibirnya. “Aku—aku bisa memberimu banyak uang!”
Tatapan James tak bergeming. Dia melemparkannya ke samping, tubuh Angelo menghantam matras. “Siapa yang mau uang kotormu? Atau haruskah aku bertanya—apakah kau masih memiliki uang?”
Angelo terbatuk, suaranya pecah. “Aku... aku punya banyak uang!”
James berdiri tegak, suaranya tajam dan cukup keras untuk didengar seluruh arena. “Sayangnya, uangmu yang banyak itu ilegal. Dan saat kita berbicara sekarang, Departemen Kejahatan Keuangan sudah menggerebek rumahmu.”
Helaan kaget merambat di antara penonton. Bisik-bisik menyebar seperti api.
“Digerebek...?”
“Dia tamat...”
“Siapa Grim Reaper ini...?”
Mata Angelo melebar, tubuhnya gemetar. “Kau hanya menggertak...”
James merunduk mendekat, “Tenang saja, hiduplah dalam delusi bahwa aku menggertak. Aku tahu kau tak akan bisa. Tapi ingat ini—jika kau pernah bahkan sekadar berpikir untuk menyentuh propertiku lagi...”
Senyumnya semakin dalam, mematikan. “Aku akan mencabut jiwamu.”
Arena jatuh ke dalam keheningan total. Tak ada ejekan, tak ada sorak—hanya kekaguman dan ketakutan.
Dari balkon, bibir Alicia melengkung penuh kegembiraan. “Jadi... Dia datang kesini dengan tujuan. Itu keren sekali.”
Di sampingnya, Finn membeku—terpana. Pria yang dia kira hanyalah seorang ketua perusahaan yang kuat ternyata jauh melampaui itu. Untuk pertama kalinya, dia benar-benar mengagumi bosnya.
Alicia berdiri, menarik Finn ke arah pintu. “Ayo. Saatnya pergi.”
Di bawah, James merapikan kancing bajunya, lalu mengalihkan pandangannya ke pembawa acara yang gemetar. “Kenapa tidak kau umumkan pemenangnya? Para penjudi menunggu hasil mereka.”
Pembawa acara hampir menjatuhkan mikrofon, tangannya gemetar. Namun dia berhasil mengangkatnya, “T-Tuan dan Nyonya... pemenang kalian! Juara baru klub pertarungan... Grim Reaper!”
Kerumunan meledak, teriakan, dan tepuk tangan menggelegar.
~ ~ ~
Mobil berdengung pelan saat meluncur di lalu lintas Crescent Bay. Alicia duduk di kursi penumpang, tangan terlipat, alis berkerut. “Jadi... apa yang sebenarnya dia lakukan?”
James menatap jalan, suaranya tenang. “Tidak banyak. Dia sudah mengganggu renovasi restoran Mama. Dia mengincar properti itu.”
Rahang Alicia mengencang, suaranya tajam. “Dia pantas dipukuli. Berani-beraninya dia!!”
James meliriknya sekilas, memperhatikan api di matanya, pipinya yang memerah karena marah. Lalu tertawa, “Kau terlihat lebih marah dariku.”
Pipi Alicia makin memerah. Ia menoleh ke luar jendela, bibirnya mengerucut. “Tentu saja. Aku tidak mau ada yang macam-macam dengan restoran Bibi.”
Sejenak, James membiarkan senyum kecil yang tulus muncul sebelum kembali menatap jalan.
“Jadi... Mau ke mana sekarang?” tanyanya santai.
Alicia menghela napas, bahunya terkulai. “Aku benci mengatakannya, tapi... antar aku ke kantor.”
James mengangkat alis. “Mobilmu tepat di belakang kita. Kenapa aku harus mengantarmu kesana?” Nada suaranya terdengar menggoda.
Alicia melirik ke samping, gugup. “Kenapa? Apa kau ingin menyingkirkanku secepat itu?”
James menghela napas ringan, menggelengkan kepalanya. “Baiklah. Aku akan mengantarmu.”
Sisa perjalanan mengalir dengan obrolan ringan—sedikit godaan, tawa Alicia yang tak tertahankan, Finn sesekali ikut berbicara melalui alat komunikasi, meski kebanyakan diam, mengawasi mobil di depan.
Akhirnya, mobil mewah itu berhenti di depan menara kantor Remington. Alicia meraih tasnya, pandangannya bertemu dengan James sejenak sebelum ia turun.
Finn membungkuk sedikit ke arah James, suaranya tegas. “Bos, aku akan memastikan keamanannya.”
James mengangguk tipis. Saat Alicia menghilang ke dalam lobi dengan Finn mengikutinya, James memindahkan gigi.
Dengung mesin kembali stabil saat ia memutar setir. Tujuannya kini—kantornya sendiri.
~ ~ ~
Kantor itu sunyi, tirai setengah tertutup dari cahaya sore. James bersandar di kursinya, mata terpaku pada layar besar di dinding.
Sebuah foto memenuhi layar—seorang gadis berkacamata hitam, topi ditarik rendah, berjalan dengan dua pria yang mengikutinya dari belakang.
“Siapa yang sedang kulihat?" Tanya James.
Di ujung lain sambungan video, Paula muncul, "Dia adalah Luna Whitecliff. Dua puluh delapan tahun. Lulusan Stanford baru-baru ini."
James mengangkat alisnya. "Dua puluh delapan tahun, dan lulusan baru? Apa maksudnya?"
Bibir Paula melengkung samar. "Apa kau ingat, ada satu lulusan Stanford baru lain yang sedang kita pantau..."
Kesadaran menyentak di benak James. "Maksudmu Silvey?"
Paula tersenyum sinis. "Tepat sasaran. Mereka belajar di kelas yang sama. Dan dua puluh delapan adalah usia aslinya—dia masuk dengan dokumen palsu yang kami temukan."
James mencondongkan tubuh ke depan, tatapannya menajam. "Jadi, apa hubungannya dengan Silvey?"
"Tidak ada, secara langsung," Paula mengakui. "Kecuali... mereka sekamar di Stanford, di asrama yang sama."
Nada James merendah, ragu. "Baiklah. Lalu kenapa dia penting bagi kita?"
Jari-jari Paula mengetuk mejanya sebelum dia berbicara. "Dia ditandai oleh agen kita di Pelabuhan Denver beberapa hari lalu. Seperti banyak orang lainnya yang bepergian melalui rute laut Ocean. Kami menyelidiki semua orang itu. Tapi dia menonjol."
James menyipitkan mata. "Apa yang kalian temukan?"
"Dia tiba dengan kapal pribadi," jelas Paula. "Kapal itu terakhir berangkat dari pelabuhan yang sama delapan bulan lalu. Dan sepanjang waktu itu, kapal tersebut tak pernah terlihat bersandar di mana pun."
Mata James berkedip memahami. "Kau mengatakan kalau kapal itu datang dari markas Tuan Tua."
"Tepat sekali." Nada Paula tegas. "Tapi masih ada lagi. Tampaknya keberadaan Luna di Stanford bukan sekadar untuk urusan akademis. Teori kami menyebutkan... Dia berada di sana untuk mengawasi Silvey Brook."
Rahang James mengeras. "Seperti pengawal?"
Paula menggeleng. "Tidak. Seperti mata-mata. Teori yang lebih mungkin adalah Kyle Brook sendiri yang mengirimnya."
James mengembuskan napas pelan, ragu. "Itu masih sekadar teori."
"Kemungkinan besar itu kebenarannya," sanggah Paula. "Tapi..." ia mengetuk sebuah tombol, dan foto lain meluncur ke layar. "Ada hal lain yang perlu kau lihat."
Mata James terpaku pada gambar baru—seorang pria tua berkacamata yang mengenakan jas laboratorium, janggut abu-abu tertata rapi.
"Siapa ini? Seorang dokter?"
"Dr. Mason Whitecliff," kata Paula. "Dia meninggal tujuh belas tahun lalu. Di Crescent Bay. Dan ya—dia bekerja untuk proyek penelitian Ayahmu."
Ekspresi James mengeras. Suaranya merendah. "Maksudmu dia terlibat dalam penelitian obat? ...Tunggu. Whitecliff?" Matanya menyipit. "Apa hubungannya dengan Luna?"
Suara Paula tetap tenang. "Luna adalah putri Mason."
Keheningan memenuhi ruangan sejenak.
James bersandar, mata terkunci pada layar, ekspresinya tak terbaca. "Lalu kenapa dia bekerja untuk pria yang mungkin membunuh Ayahnya?"
"Itulah pertanyaannya," jawab Paula lembut. "Dan hanya dia yang bisa menjawab."
Jari-jari James mengetuk meja sekali, "Lalu apa yang harus kita lakukan sekarang?”
"Angkatan Laut sudah menyita markas Tuan Tua," jelas Paula. "Tapi mereka tidak menemukan bukti yang kuat. Untuk saat ini, kami membuntutinya. Dia menaiki penerbangan ke Citadel City."
Bibir James sedikit melengkung. "Menarik. Dan Silvey?"
"Kita sudah menangani detektif swasta itu—Zed," jawab Paula. "Silvey tahu tentang Kyle. Menurut Zed, dia memiliki ambisi besar. Tapi sebagai putri di keluarga itu... ambisi tersebut sia-sia."
James mengembuskan napas, hampir tertawa getir. "Jadi Kyle berikutnya dalam garis pewarisan."
"Ya," konfirmasi Paula. "Dan aku akan terus memberitahumu perkembangannya."
James bersandar, tatapannya melembut sesaat. "Mama menanyakan kabarmu. Telepon ia kapan-kapan."
Paula berkedip, lalu tersenyum. "Oh... baik. Aku akan meneleponnya sekarang."
Panggilan berakhir.
Layar menjadi hitam, menyisakan James menatap pantulan dirinya. Matanya tajam, penuh pikiran dan gelisah.
Ia bergumam pelan. "...Gadis ini."
Citadel City – Malam
Cahaya lampu kota masuk melalui jendela-jendela gedung tinggi apartemen Silvey Brook. Ia baru saja meletakkan segelas anggurnya ketika bel pintu berbunyi.
Dia melangkah perlahan, lalu membuka pintu.
Dan terlihatlah seorang gadis berdiri dengan koper di sisinya—tubuh ramping, kacamata hitam, topi ditarik rendah menutupi rambut gelapnya.
Mata Silvey berbinar terkejut, "Layla! Akhirnya kau datang juga... aku sudah menunggumu! Masuklah, masuk!"
Luna—yang di sini dikenal sebagai Layla bagi Silvey—membiarkan bibirnya melengkung menjadi senyum sopan. Dia mendorong koper masuk.
"Rasanya seperti masa kuliah lagi," kata Silvey sambil tertawa saat ia melepaskan pelukannya. "Kau selalu menghilang saat aku butuh bantuan berkemas. Masih sama, ya?"
Luna tertawa pelan, "Ada beberapa hal yang tak pernah berubah."
Mereka duduk di ruang tamu, lalu Silvey menuangkan satu gelas lagi, menyodorkannya ke tangan Luna.
"Untuk awal yang baru," kata Silvey ceria. "Aku senang sekali kau ada di sini, Layla."
Luna mengangkat gelas, menyentuhkannya ringan, "Untuk awal yang baru.”
Semangat buat Author..